A. RIWAYAT HIDUP ABU UBAID
Nama
lengkap Abu Ubaid adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi
al-Azadi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada 150 H di Harrah, Khurasan, di
propinsi Khurasan yakni Barat Laut Afghanistan dari ayah keturunan
Byzantium dari suku Azad.
Beliau
belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20 an pergi berkelana ke
Kufah. Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir,
hadis dan fikih dimana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi
mengikuti dari paham tengah campuran. Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar
dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik
yakni gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur,
menunjuknya sebagai qadi atau hakim di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia
tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H,setelah berhaji ia tinggal
di Mekkah sampai wafatnya Beliau meninggal pada tahun 224 H[1].
Karya Abu
Ubaid yang fenomenal adalah Kitab Al Amwal, yang dianggap lebih kaya dibanding
Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada masalah Keuangan
Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas permasalahan administrasi
pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian adalah sektor terbaik dan utama
karena menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara[2].
B.
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN DAN CORAK
PEMIKIRAN
Abu Ubaid
merupakan seseorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqah) terkemuka
dimasa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai
kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik[3].
Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa parsi ke bahasa
Arab juga menunjukan bahwa abu ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut[4].
Karena
sering terjadi pengutipan kata-kata amr dalam kitab
al-amwal,tampaknya,pemikiran-pemikiran abu ubaid dipengaruhi oleh abu amr Abdurrahman
ibn amr al-awza’I, serta ulama-ulama suriah lainya semasa ia menjadi qadi di
tarsus[5].
Berbeda halnya
dengan abu yusuf, abu ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan system
pemerintah serta penanggulanganya. Namun demikian, kitab al-amwal dapat
dikatakan lebih kaya dari pada kitab al-kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan
pendapat para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. fokus perhatian abu ubaid
tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika
poltik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolaannya. Sebagai
contoh, abu ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributive dari
sisi “apa” daripada “bagaimana”.
Bardasarkankan
hal tersebut, abu ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim
terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah yang menetapkan revitalisasi sistem
perekonomian berdasarkan al.quran dan hadist melalui reformasi dasar-dasar
kebijakan keuangan dan institusinya.
C.
ISI, FORMAT DAN METODOLOGI KITAB
AL-AMWAL
Kitab
al-amwal dibagi ke dalam beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional
isinya.
Pada bab
pendahuluan membahas hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah. Pada bab
selanjutnya merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan tentang berbagai
jenis pemasukan Negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta
berbagai landasan hukumnya dalam al-quran dan sunah. Bagian ketiga pertama dari
kitab al-amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Bagian ke
empat sesuai dengan perluasan wilayah islam di masa klasik. Bagian ke lima
membahas tentang distribusi pendapatan fai, Bagian ke enam kitab tersebut
membhas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima.
Jadi
secara singkat tampak bahwa al-amwal memfokuskan perhatiannya pada masalah
keuangan public sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas
permasalahan administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-amwal menekan
beberapa isu mengenai perpajakan dan hokum pertanahan serta hokum administrasi
dan hokum international .
D.
PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID
1.
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid
dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan
keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini akan membawa
kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki
pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara, jika
kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan
berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada
masa kuatnya Dinasti Abbasiyah. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara
alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran
Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada
kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari
tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan
zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban
agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Abu Ubaid dalam pembahasannya secara
tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara
harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan umum.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[6].
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[6].
la membela pendapat bahwa tarif
pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi
ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan
pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek
muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga
menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj,
jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek
harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Namun, betapapun hasil
ijtihad tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut
diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
2.
Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota.
Pembahasan
mengenai dikotomi badui ke masyarakat kota dilakukan Abu Ubaid, menegaskan
bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan.
a. Ikut terhadap keberlangsungan Negara
dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim.
b. Memelihara dan memperkuat pertahanan
sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
c. Menggalakkan pendidikan dan
pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan
penyebaran) keunggulan kualitas isinya.
d. Melakukan kontribusi terhadap
keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed
finalties).
e. Memberikan contoh universalisme
Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.
Singkatnya
disamping keadilan Abu Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi
pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan
oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada
kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, mereka tidak berhak menerima
tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap
penerimaan. Namun hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat
invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid
memperluas pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan
kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan
walaupun kecil yang berasal dari pendapatan tersebut, yang mungkin karena
menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban
publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak
perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan[7]
Dari semua
ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap
perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat
perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan hubunngan sosial berorientasi
urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur yang mendasar dari
stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di
atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kebudayaan perkotaan
unggul dan dominan dibanding kehidupan berpindah-pindah. Dari apa yang dibahas
sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara
hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
3.
Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
Abu Ubaid
rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap
kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak
ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan
perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid. Menurutnya, kebijakan
pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap
kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan
kesuburannya atau diperbaiki sebagai pendorong untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai pendorong
untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian
akan dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan
tanah gurun yang termasuk dalam tanah pribadi, jika tidak ditanami dalam
periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama.
Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah
diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa. Adalah tidak cukup dalam
kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan
menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja, menurut Abu Ubaid
sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang
minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada tanam pribadi. Semua ini
hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk
pelayanan masyarakat[8]
4.
Pertimbangan Kebutuhan.
Setelah
merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima
zakat. Abu Ubaid sangat kurang setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa
pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung
untuk meletakkan suatu batas tertinggi terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu
Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya
serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, Abu
Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib
zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya
pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu
a. kalangan kaya yang terkena wajib
zakat,
b. kalangan menengah yang tidak terkena
wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat,
c. kalangan penerima zakat (mustahik).
Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara
umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi
setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat
(pajak) yang dibagi kepada pengumpulnyaatau pengelola atas kebijakan
Imam.
5.
Fungsi Uang.
Abu Ubaid
mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai
standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media
pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan
dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai uang logam, ia merujuk pada
kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan
komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas
maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya
akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau
sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak
menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia
secara terkandung didalamnya mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas
tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah
zakatnya.
Salah satu
cirri khas kitab al-amwal di antara kitab-kitab yang membahas tentang keuangan
public (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran yang
biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan
harta atau benda dalam satu bab khusus.
[1] Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah
Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum, (Jakarta: Departemen Agama, 1992).
[2] http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/
[3] Hans
Gottschalk. Abu Ubaid al-Qosim bi Sallam: Studie zur Geschichte der Arabischen
Biographic. Dalam Der Islam, 23, (1936), hlm, 264
[4] Ibid,
hlm 92 dan 96
[5] Ibid,
hlm 272
[6] H. Adiwarman Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004) 251-252.
[7] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. 253-254.
[8] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. 255-256