Sunday 14 July 2013

pemikiran abu ubaid


A.     RIWAYAT HIDUP ABU UBAID
Nama lengkap Abu Ubaid adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada 150 H di Harrah, Khurasan, di propinsi Khurasan  yakni Barat Laut Afghanistan dari ayah keturunan Byzantium dari suku Azad.
Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20 an pergi berkelana ke Kufah. Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih dimana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran. Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik yakni gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur,  menunjuknya sebagai qadi atau hakim di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H,setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya Beliau meninggal pada tahun  224 H[1].
Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah Kitab Al Amwal, yang dianggap lebih kaya dibanding Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada masalah Keuangan Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas permasalahan administrasi pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian adalah sektor terbaik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara[2].



B.     LATAR BELAKANG KEHIDUPAN DAN CORAK PEMIKIRAN
Abu Ubaid merupakan seseorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqah) terkemuka dimasa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik[3]. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa parsi ke bahasa Arab juga menunjukan bahwa abu ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut[4].
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata amr dalam kitab al-amwal,tampaknya,pemikiran-pemikiran abu ubaid dipengaruhi oleh abu amr Abdurrahman ibn amr al-awza’I, serta ulama-ulama suriah lainya semasa ia menjadi qadi di tarsus[5].
Berbeda halnya dengan abu yusuf, abu ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan system pemerintah serta penanggulanganya. Namun demikian, kitab al-amwal dapat dikatakan lebih kaya dari pada kitab al-kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. fokus perhatian abu ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika poltik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolaannya. Sebagai contoh, abu ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributive dari sisi “apa” daripada “bagaimana”.
Bardasarkankan hal tersebut, abu ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan al.quran dan hadist melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya.




C.    ISI, FORMAT DAN METODOLOGI KITAB AL-AMWAL
Kitab al-amwal dibagi ke dalam beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional isinya.
Pada bab pendahuluan membahas hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah. Pada bab selanjutnya merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan tentang berbagai jenis pemasukan Negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam al-quran dan sunah. Bagian ketiga pertama dari kitab al-amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Bagian ke empat sesuai dengan perluasan wilayah islam di masa klasik. Bagian ke lima membahas tentang distribusi pendapatan fai, Bagian ke enam kitab tersebut membhas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima.
Jadi secara singkat tampak bahwa al-amwal memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan public sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas permasalahan administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-amwal menekan beberapa isu mengenai perpajakan dan hokum pertanahan serta hokum administrasi dan hokum international .

D.    PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID
1.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara, jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan umum.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[6].
la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Namun, betapapun hasil ijtihad tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
2.      Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota.
Pembahasan mengenai dikotomi badui ke masyarakat kota dilakukan Abu Ubaid, menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan.
a.       Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim.
b.      Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
c.       Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya.
d.      Melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties).
e.       Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.

Singkatnya disamping keadilan Abu Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. Namun hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan tersebut, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan[7]
Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan hubunngan sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur yang mendasar dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kebudayaan perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan berpindah-pindah. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
3.      Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai pendorong untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai pendorong untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam tanah pribadi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa. Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada tanam pribadi. Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat[8]
4.      Pertimbangan Kebutuhan.
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat kurang setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan  ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu
a.       kalangan kaya yang terkena wajib zakat,
b.      kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat,
c.       kalangan penerima zakat (mustahik).
Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnyaatau  pengelola atas kebijakan Imam.
5.      Fungsi Uang.
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai uang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara terkandung didalamnya mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Salah satu cirri khas kitab al-amwal di antara kitab-kitab yang membahas tentang keuangan public (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau benda dalam satu bab khusus.


[1]  Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar    Hukum, (Jakarta: Departemen Agama, 1992).
[2] http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/

[3] Hans Gottschalk. Abu Ubaid al-Qosim bi Sallam: Studie zur Geschichte der Arabischen Biographic. Dalam Der Islam, 23, (1936), hlm, 264
[4] Ibid, hlm 92 dan 96
[5] Ibid, hlm 272
[6] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 251-252.

[7] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 253-254.
[8] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 255-256