Sunday 4 October 2015

Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional di Indonesia

A.    Pengertian Asuransi
Asuransi pada awalnya merupakan konsep persiapan yang dibuat sekelompok orang yang menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila sesuatu kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mendefinisikan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Sedangkan dalam pasal 246 KUHD, disebutkan bahwa “asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[2] 
Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi yaitu bahaya yang dipertanggungkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Bahaya yang dipertanggungkan sifatnya tidak pasti terjadi. Premi pertanggungan pun tidak mesti sesuai dengan yang tertera dalam polish. Jumlah uang santunan atau ganti rugi sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
B.     Operasional Asuransi
Operasional perasuransian secara umum meliputi beberapa operasional antara lain sebagai berikut : [3]
1.      Aqad
-          Aqad juga merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Demikian halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (Takaful)
-          Syarat dalam transaksi jual beli adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang dijual belikan, pada asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang diperoleh, yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal.
-          Dengan demikian aqad jual beli dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah karena tidak jelas (Gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polish (pada Product Saving) atau berapa besar yang diterima pemegang polish (pada Product Non Saving)
2.      Gharar
a.       Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling kita takuti. Apabila tidak lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar.  Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa aqad jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.
b.      Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak adanya kejelasan masud alaih (sesuatu yang di-aqad-kan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan meningal). Karena tidak lengkapnya rukun dari aqad maka terjadi gharar oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa aqad dalam jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini cacat secara hukum.
c.       Dalam asuransi yang menggunakan prinsip syari'ah mengganti aqad tadi dengan niat tabarru’, yaitu suatu niat tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah.  
3.      Tabarru’
a.       Tabarru’ berasal dari kata tabarra, yatabarru, tabarruan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru’ merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan dana yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang mendapat musibah.
b.      Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang terkena musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama Takaful untuk saling tolong-menolong.   
4.       Maisir
a.     Islam menghindari adanya ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui informasi oleh peserta tentang berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang akan dikonsumsinya.
b.    Dalam mekanisme asuransi syari'ah keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah. Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam mekanisme asuransi konvensional, masisir sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5.      Riba
a.       Keberadaan asuransi syari'ah yang paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan dalam asuransi konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari praktek yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional menginventasikan dananya dengan bunga.
b.      Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian pula dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan didepan. Sedangkan Takaful menyimpan dananya di bank berdasarkan syari'ah dengan sistem mudharabah
6.      Dana Hangus
            Dalam asuransi konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka premi yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
C.     Hukum Per-Asuransi-an
Ada berbagai pendapat mengenai hukum dari perasuransian, setidaknya ada 2 pandangan besar mengenai hukum dari asuransi yaitu :
1.      Haram, diantara para ulama yang mengatakan bahwa asuransi adalah haram antara lain Yusuf al Qardawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al Qadili, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nezatullah Siddiqi, mereka mengatakan bahwa dalam sistem operasional perasuransian terdapat tiga unsur yang diharamkan dalam Islam, yaitu; gharar, maisir dan riba. [4] Walupun demikian sebagian dari  mereka 
2.      Boleh, para ulama yang membolehkan adanya asuransi mengatakan bahwa jika dalam asuransi tersebut tidak mengandung unsur gharar, maisir dan riba maka transaksi –asuransi- yang dilakukan tetap sah
D.    Perbedaan Asuransi Syari'ah (asuransi yang diperbolehkan) dengan Asuransi Konvensional (yang masih diragukan kebolehannya)
1.      Keberadaan dewan pengawas syariah (DPS) dalam asuransi syari'ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebajikan investasi serta kebajikan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syari'at islam.
2.      Prinsip asuransi syari'ah adalah takafuli (tolong menolong) sedangkan prinsip asuransi konvensional tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.      Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari'ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.      Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5.      Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6.      Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi knvensional, jika tidak ada klaim, nasabah tidak mendapatkan apa-apa.[5]
Perbedaan asuransi syari'ah dan asuransi konvensional dapat dilihat dalam tabel berikut ini[6]
Keterangan
Asuransi Syari'ah
Asuransi Konvensional
Pengawasan Dewan Syari'ah (PDS) 7
Adanya Dewan Pengawas  Syari'ah. Fungsinya mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana
Tidak ada
Aqad
Tolong menolong (Takafuli)
Jual beli
Investasi dana
Investasi dana berdasarkan  syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah)
Investasi dana berdasarkan bunga
Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, perusahaan bebas menentukan investasinya.
Pembayaran klaim
Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan) seluruh peserta ; sejak awal telah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.
Dari rekening dana perusahaan
Keuntungan (profit)
Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip bagi hasil
Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan

Daftar Pustaka

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2004
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi. Yogyakarta: EKONSIA, Kampus Fakultas Ekonomi UII. 2003
Suwitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada 1997
 
sumber : http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2014/04/asuransi-syariah-dan-asuransi.html

[1] Gemala Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 181
[2] Bisa anda lihat di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246 Tentang perasuransian
[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74
[4]  Gharar artinya transaksi yang dilakukan masih belum jelas, sedangkan Maisir adalah transaksi yang dijalankan mengandung unsur judi, Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[5]  Warkum Suwitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
[6] Gemala Dewi, SH., LL.M., Op.cit, hal. 138

ASURANSI SYARI'AH DAN KONVENSIONAL

A. Pengertian Asuransi
Menurut pasal 246 Welboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan auransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (nasabah) sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.[2]
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa asuransi memiliki tiga unsur, yaitu (1) pihak tertanggung yang membayar uang premi kepada pihak penanggung, (2) pihak penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak yang tertanggung, dan (3) suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan pengertian asuransi sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada dasarnya adalah suatu perjanjian kerugian. Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian.
b. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah pertanggungan bersyarat. Kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama diadakan pertanggungan itu terjadi.
c. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi yang diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.
d. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertangungan.[3]
B. Macam-macam Asuransi
Asuransi yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini macam-macam asuransi itu.
a. Asuransi Timbal Balik
Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah selanjutnya.
b. Asuransi Dagang
Asuransi dagang ialah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat.
c. Asuransi Pemerintah
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi.
d. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan
Adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.[4]
e. Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa ini, yaitu menjamin biaya hidup anak atau keluarga yang ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia atau untuk memenuhi keperluan hidupnya dan keluarganya, bila ditakdirkan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir.
f. Asuransi Kebakaran
Asuransi kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan asuransi menjamin risiko yang terjadi karena kebakaran. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan asuransi. [5]
C. Pendapat Ulama tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia timur pada abad XIX M. Dunia barat sudah mengenal system asuransi sejak abad XIV M, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d. IX M.
Di kalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitua:
a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya antara lain:
· Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
· Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;
· Mengandung unsur riba;
· Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan;
· Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);
· Asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;
· Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan.
b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakannya sebagai berikut:
· Tidak ada nash al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi
· Kedua pihak yang berjanji dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggungjawab masing-masing;
· Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
· Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan;
· Asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil;
· Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah;
· Dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;
· Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
· Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.
d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dali-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi . umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[6]
Bahkan menurut Yusuf al-Qardhawi sendiri bahwa dalam bentuk asuransi jiwa jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling mengetahui, namun kemanfaatannya itu tidak berbobot. Kerelaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.
Yusuf al-Qardhawi memberikan alternatif asuransi, yaitu dengan kemungkinan terbukanya asuransi digolongkan sebagai yayasan dana bantuan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Setiap anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan, harus disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang terkumpul diambil sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
2. Bila uang itu diputar harus dijalankan menurut aturan syara’.
3. Tidak dibenarkan orang menyetorkan sejumlah kecil uang dengan harapan mendapatkan imbalan yang berlipat apabila terkena musibah. Akan tetapi, ia diberi uang jariyah sebagai ganti atas kerugian itu atau sebagiannya menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.
4. Sumbangan sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali.[7]
D. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Konvensional
no
Prinsip
Asuransi Konvensional
Asuransi Syariah
1.
Konsep
Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung.
Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.
2.
Asal Usul
Dari masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun
1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.
3.
Sumber Hukum
Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.
Bersumber dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah
atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan,
Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah.
4.
“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’)
Tidak sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah.
Bersih dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’.
5.
DPS (Dewan Pengawas Syariah)
Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah.
Ada, yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
  1. Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
  2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
  3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
  4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
  5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
  6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
  7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
    DAFTAR PUSTAKA
    Projodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.
    Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
    Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.
    Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
    Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
    http://asuransisyariahdankonvensional.blogspot.co.id/2010/03/asuransi-syariah-dan-konvensional.html
      


    [1] Wiryono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Munas, 1986), hal 1.
    [2] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 57.
    [3] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal 174.
    [4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 308.
    [5] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 228.
    [6] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 60.
    [7] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 232.