A. Pengertian Asuransi
Menurut
pasal 246 Welboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa
yang dimaksud dengan auransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang
meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah
uang premi (nasabah) sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan
diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum
jelas akan terjadi.[1]
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan
yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang
tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat
perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kerusakan dan sebagainya
ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau
kecelakaan lainnya dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang
ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.[2]
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa asuransi memiliki tiga unsur,
yaitu (1) pihak tertanggung yang membayar uang premi kepada pihak
penanggung, (2) pihak penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah
uang kepada pihak yang tertanggung, dan (3) suatu peristiwa yang semula
belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan pengertian asuransi sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada
dasarnya adalah suatu perjanjian kerugian. Penanggung mengikatkan diri
untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian.
b. Perjanjian
asuransi atau pertanggungan adalah pertanggungan bersyarat. Kewajiban
mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang
tidak tertentu atas nama diadakan pertanggungan itu terjadi.
c. Perjanjian
asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti
rugi yang diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.
d. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertangungan.[3]
B. Macam-macam Asuransi
Asuransi
yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini
terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini macam-macam asuransi itu.
a. Asuransi Timbal Balik
Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah selanjutnya.
b. Asuransi Dagang
Asuransi dagang ialah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk
memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota kelompoknya yang
telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian
tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran)
yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman
semasyarakat.
c. Asuransi Pemerintah
Asuransi
pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja
yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan
yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih
kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada
penderita di waktu kerugian itu terjadi.
d. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan
Adalah
asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas
kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi
telinga, asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu.
Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.[4]
e. Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan seseorang meninggal
terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi
tujuan asuransi jiwa ini, yaitu menjamin biaya hidup anak atau keluarga
yang ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia atau untuk
memenuhi keperluan hidupnya dan keluarganya, bila ditakdirkan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir.
f. Asuransi Kebakaran
Asuransi
kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh
kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan asuransi menjamin risiko yang
terjadi karena kebakaran. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak
(perjanjian) antara pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan
asuransi. [5]
C. Pendapat Ulama tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena
tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara eksplisit. Para imam
mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan
para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai
asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi
baru dikenal di dunia timur pada abad XIX M. Dunia barat sudah mengenal system asuransi sejak abad XIV M, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d. IX M.
Di kalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitua:
a. Mengharamkan
asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini,
termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang
diungkap dalam kitabnya fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Yusuf
al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya antara lain:
· Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
· Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;
· Mengandung unsur riba;
· Mengandung
unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah
dibayarkan;
· Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);
· Asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;
· Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan.
b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakannya sebagai berikut:
· Tidak ada nash al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi
· Kedua pihak yang berjanji dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggungjawab masing-masing;
· Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
· Asuransi
mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan;
· Asuransi
termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama
bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan
asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil;
· Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah;
· Dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;
· Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
· Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat
ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan
untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan
pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.
d. Menganggap
bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dali-dalil syar’i yang
secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila
hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam
dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi
asuransi . umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan
perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[6]
Bahkan menurut Yusuf al-Qardhawi sendiri bahwa dalam bentuk
asuransi jiwa jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas
berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad
perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling
mengetahui, namun kemanfaatannya itu tidak
berbobot. Kerelaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan
halalnya perbuatan tersebut karena muamalah ini tidak menegakkan
prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan
kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak
lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.
Yusuf
al-Qardhawi memberikan alternatif asuransi, yaitu dengan kemungkinan
terbukanya asuransi digolongkan sebagai yayasan dana bantuan dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Setiap
anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan,
harus disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian
dari uang terkumpul diambil sejumlah uang guna membantu orang yang
sangat memerlukan.
2. Bila uang itu diputar harus dijalankan menurut aturan syara’.
3. Tidak dibenarkan orang menyetorkan sejumlah kecil uang dengan harapan mendapatkan imbalan yang berlipat apabila terkena musibah. Akan tetapi, ia diberi uang jariyah sebagai ganti atas kerugian itu atau sebagiannya menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.
4. Sumbangan sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali.[7]
D. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Konvensional
no
|
Prinsip
|
Asuransi Konvensional
|
Asuransi Syariah
|
1.
|
Konsep
|
Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. |
Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. |
2.
|
Asal Usul
|
Dari masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional. |
Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah. |
3.
|
Sumber Hukum
|
Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya. |
Bersumber dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah. |
4.
|
“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’)
|
Tidak sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah. |
Bersih dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’. |
5.
|
DPS (Dewan Pengawas Syariah)
|
Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah. |
Ada, yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah |
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
Perbedaan tersebut adalah:
- Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
- Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
- Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
- Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
- Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
- Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
- Pembagian keuntungan
pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan.
Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.DAFTAR PUSTAKAProjodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.http://asuransisyariahdankonvensional.blogspot.co.id/2010/03/asuransi-syariah-dan-konvensional.html[1] Wiryono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Munas, 1986), hal 1.[2] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 57.[3] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal 174.[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 308.[5] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 228.[6] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 60.[7] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 232.