Tuesday 26 November 2013

ISLAM DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI


Ketika berbicara mengenai ekonomi islam maka akan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Al-qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah sebagai penjelasan dari Al-qur’an yang di dalamnya terdapat penjelasan praktis menyeluruh termasuk di dalamnya penjelasan tentang prinsip-prinsip ekonomi.Pemikiran merupakan hasil dari pikiran manusia. Sedangkan ajaran-ajaran Al-qur’an dan sunnah menuntun manusia untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan pemikiran mereka termasuk dalam masalah ekonomi. Inilah yang menjadikan sumber dari pemikiran ekonomi masyarakat Islam. Cendekiawan muslim menerima ajaran-ajaran ekonomi Al-qur’an sebagai dasar dan titik awal. Kemudian mereka menggunakan akal pikiran mereka dengan meberapkan prinsip-prinsip yang berasal dari sumber-sumber dasar untuk memecahkan beberapa masalah yang muncul dalam ekonomi. Dan mereka tidak pernah ragu untuk mengambil manfaat dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber dasar.
Konsep dan teori Ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon ilmuwan terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu tertentu, jadi Pemikiran Ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.Fokus perhatian Rasul dan Khulafa’ ar-Rasyidin dalam bidang ekonomi adalah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadailan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan.Inilah obyek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
M. Nejatullah Siddiqi meguraikan sejarah ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut.
A.    Fase Pertama (abad 1 –5 H)
Dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Perkembangan pemikiran ekonomi yang terkait dengan mashlahah (utility) difokuskan pada manfaat yang akan diperoleh manusia jika manusia mengaplikasikannya dalam kehidupan berekonomi dan sebaliknya, yang terkait dengan mafsadah (disutility) fokus pada kerugian yang akan ditimbulkan jika manusia mengaplikasikan dalam berekonomi.
Sedangkan kontribusi yang diberikan oleh tasawwuf terhadap pemikiran ekonomi adalah keajegannya dalam menjadi mitra yang baik dan saling menguntungkan, melarang kerakusan dan menolak akan kekayaan duniawi yang berlebihan. Sementara itu, para filosof muslim dengan tetap berasaskan pada Al-qur’an dan Sunnah dalam pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (366-322 SM) yang memfokuskan pembahasan ekonomi padasa’adah dalam arti luas.[1]
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain :[2]
a.       Zaid bin Ali.
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa tranksaksi secara kredit meruapakan transaksi yang wajar dan dibenarkan selama transaksi tersebut dilakukan karena saling ridha diantara kedua belah pihak.
b.      Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang pedagang dari Kufah.yang ketika itu merupakan pusat aktifitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya,salah satu transaksi yang sangat popular adalah salam ,yaitu menjual barang akan dikirim kemudian sedangkan pembayaran di lakukan secara tunai pada waktu yang di sepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan.Ia menghilangkan perselisihan ini dengan cara merinci lebih khusus apa yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad,seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c.       Abu Yusuf
Abu Yusuf telah meletakkan prinsip – prinsip yang jelas, yang berabad – abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi  sebagai canons of taxation.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian,ia menyarankan agar petugas pajak di beri gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan tindak penindasan.
Abu Yusuf menentang penetapan harga, dan menyarankan pengendalian harga (tas’ir).
Kekuatan utama Abu Yusuf adalah masalah keuangan publik.Terlepas dari prinsip – prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban Negara islam terhadap kesejahteraan rakyatnya.Ia memberikan saran tentang cara – cara meperoleh sumber belanjaan jangka panjang ,seperti mebangun jembatan dan bendungan serta saluran – saluran besar dan kecil
d.      Muhammad bin Hasan Al – Syaibani.
Risalah kecilnya yang berjudul al – kitab fi ar – Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga.Iajuga menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. Al syaibani mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijaroh (sewa-menyewa), tijaroh (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shinaa’ah (industri)[3],cukup menarik untuk di catat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang terbaik,padahal masyarakat  lebih tertarik berdagang dan berniaga pada saat itu.Dalam risalah yang lain yakni kitab al-asl,Al-saibani telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi hasil.
Secara umum,Pandangan-pandangan Al – syaibani yang tercermin dari berbagai karyanya cenderung berkaitan dengan aktifitas perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu.
e.       Ibnu Miskawaih
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkaid dengan aktifirtas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang .Ia manyatakan bahwa manusia mahluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri,untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia bekerja sama  dan saling membantu dengan sesamanya.Oleh karena itu ,mereka akan menuntut kompensasi yang pantas. Dalam hal ini dinar akan menjadi suatu penilaian dan penyeimbang di antara keduanya. Ia menegaskan bahwa logam yang dapat di jadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat di terima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak rusak, dikehendaki orang dan fakta orang menyukainya.
B.     Fase Kedua (abad 11 – 15 H).
Fase ini dikenal dengan fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.Para cendikiawan Muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis Nabi.Pada saatyang bersamaan,di sisi lain,mereka menhadapi realitas politik yang di tandai oleh dua hal: pertama, disentregrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbagi kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak Rakyat, kedua Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa di kalangan para pengusaha diiringi dengan dekadensi Moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dengan si miskin[4]. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain :
a.       Al-Ghozali.
Fokus utama perhatian al-Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat dan tabi’in serta pandangan para sufi terdahulu seperti Junaid al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishr dan Harist bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT.Seluruh aktivitas kehidupannya, termasuk ekonomi, harus dilaksanakn sesuai dengan syari’ah Islam.Ia tidak boleh bersidat kikir dan di sisi lain tidak boleh bersifat boros.
Al-Ghazali berpendapat bahwa penguasa harus menjamin kesejahteraan dan kenyamanan warganya, apabila ada diantara rakyatnya  yang kekuarangan dan kurang mampu dalam membiayai kehidupannya, maka para penguasa hendaknya memberikan pertolongan. Dalam hal pajak, al-Ghazali menoleransi pengenaan pajak jika pengeluaran utnuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang telah tersedia.Bahkan, jika hal yang demikian itu terjadi maka Negara diperkenankan melakukan pinjaman.
b.      Ibnu Taimiyah.
Focus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral dan bagaiamana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syari’ah Islam. Ia juga mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi individu dalam konteks hidup bermasyarakat, seperti akad dan upaya menaatinya, harga yang wajar dan adil, pengawasan pasar, keuangan Negara, dan peranan Negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam transaksi ekonomi, focus perhatian Ibnu Taimiyah tertuju pada keadilan yang hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesediaan menyepakati dari semua pihak.
c.       Al-Maqrizi.
Al-Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan.Selain kelangkaan pangan secara alami oleh kegagalan hujan, Al-Maqrizi Mengidentifikasikan tiga sebab dari peristiwa ini ,yaitu korupsi dan administrasi yang buruk,beban pajak yang berat terhadap para pengarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.Al-Maqrizi menegaskan bahwa uang emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang yang dapat di jadikan standar nilai sebagaimana yang telah di tentukan syariah,sedangkan penggunaan fulus sebagai mata uang dapat menimbulkan kenaikan harga-harga.Menurut Al-maqrizi,fulus dapat di terima sebagai mata uang jika di batasi penggunaanya,yakni hanya untuk transaksi yang bersekala kecil.
C.    Fase ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini di kenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluatkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing mashab.Namun demikian, terdapat sebuah garakan pembruan selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan al-hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini antara lain diwakili oleh shah wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani (w.1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M) dan Muhammad Iqbal (w. 2357 H/1938 M).


[1]ibid
[2] Ibid., hlm. 12
[3]Pembahasan lebih lanjut lihat Lectures on Islamic Economic, Papers and Proceedings on an International Seminar on “Teaching Islamic Economics for University Teachers”, edited by Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awan, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, IDB, 1992), hlm. 72
[4]Ibid., hlm. 75

Thursday 14 November 2013

TRADISI DAN PRAKTEK EKONOMI MASA KHULAFA AL-RASYIDIN



Masa Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah at-Tamimi terpilih sebagai Khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama dan kepala negara kaum muslimin. Selama dua tahun pemerintahannya, Abu bakar as-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri seperti kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Setelah musyawarah dengan para sahabat, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui perang riddah.[1] Sukses menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Sayangnya, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat islam, abu bakar melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Ia sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Kemudian hasil dari pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal yang langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin.
Dengan demikian, selama masa pemerintahannya harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama. Seluruh kaum muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat seluruh kaum muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada agregat demand dan agregat supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasonal, disamping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dan miskin.

B.     Masa Pemerintaha Umar ibn al-Khattab
Berdasarkan hasil musyawarah antara Abu bakar dengan para pemuka sahabat lainnya, ia menunjuk Umar ibnu Khattab sebagai Khalifah Islam II. Setelah diangkat sebagai Khalifah, Umar ibn al-Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mukmin (komandan orang-orang yang beriman).
Dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya, Umar ibn al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah arab, palestina, syiria, sebagian besar wilayah persia, dan mesir.[2] Pada masa pemerintahanya, Umat ibn Khattab memiliki beberapa rencana dalam hal pembangunan ekonomi, namun dalam prosesnya rencana tersebut ada yang berhasil direalisasikan dan ada yang tidak, berikut uraianya:
1.             Pendirian Lembaga Baitul Mal
Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini, memerlukan perhatian khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan efisien.
Pada tahun 16 H, bangunan lembaga Baitul Mal pertama kali didirikan dengan madinah sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabangnya di ibukota provinsi. Untuk menangani lembaga tersebut, Khalifah Umar ibn al-Khattab menunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara dengan Abdurrahman ibn Ubaid al-Qari sebagai wakilnya.[3]
Bersamaan dengan reorganisasi lembaga Baitul Mal, sekaligus sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam,yakni fungsi negara Islam, yakni jaminan sosial, Khalifah Umar ibn-Khattab membentuk sistem diwan yang menurut pendapat terkuat, mulai dipraktekan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. [4] Dalam rabgka ini, ia menunjuk sebuah komite nassab ternama yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan kepentingan dan kelasnya. Daftar tersebut disusun secara berurutan dimulai dari orang-orang yang mempuyai hubungan pertalian dengan Nabi Muhammad Saw, kelompok al-Sabiqun al-Awwalun, hingga seterusnya. [5]  Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga mendapat tunjangan.
Dengan kata lain, Khalifah Umar bin Khattab menerapakan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Namun demikian, di kemudian hari, Khalifah Umar ibn al-Khattab menyadari bahwa cara itu keliru karena membawa dampak negatif pada kehidupan masyarakat. Ia bertekad akan mengubah kebijakannya tersebut apabila masih diberi kesempatan hidup. Akan tetapi, Khalifah Umar telah tewas terbunuh sebelum rencananya berhasi direalisasikan.
Untuk mendistribusikan harta tersebut, Khalifah Umar mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti: Departemen pelayanan militer, Departemen kehakiman dan eksekutif, Departemen pendidikan dan pengembangan islam, dan Departemen jaminan sosial.
2.             Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Khalifah Umar ibn al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu Pendapatan zakat dan ‘ushr (pajak tanah), Pendapatan khums dan sedekah, Pendapatan kharaj, fai, jizyah dan sewa tanah, dan Pendapatan lain-lain.
Selain hal-hal tersebut, Khalifah Umar ibn al-Khattab juga menerapkan beberapa kebijakan ekonomi lainnya, seperti:
a.       Kepemilikan Tanah, dalam memperlakukan tanah-tanah taklukannya, Khalifah Umar Ibn al-Khattab tidak mrmbagi-bagikannya kepada kaum muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar Kharaj dan jizyah.
b.      Zakat. Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkan kuda, karet, dan madu sebagai objek zakat karena, pada masanya, ketiga hal tersebut telah lazim diperdagangkan, bahkan secara besar-besaran sehingga mendatangkan keuntungan bagi para penjualnya.
c.       ‘Ushr. Khalifah Umar ibn al-Khattab menerapakan pajak ‘ushr kepada para pedagang yang memasuki wilayah kekuasaan Islam.
d.      Mata Uang. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar in al-Khattab, bobot mata uang dinar seragam, yaitu sama dengan satu mitsqal atau 20 qirat atau 100 grain barley. Sedangkan bobot dirham tidak seragam dan karenanya menimbulkan kebingungan masyarakat. Atas dasar itu, Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkan bahwa dirham perak sebesar 14 qirat atau 70 grain barley. Dengan demikian, rasio antara satu dirham dengan satu mistqal adalah tujuh persepuluh.

C.    Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan yang berlangsung selama 12 tahun, ia berhasil melakukan ekspansi kewilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan didaerah Khurasan dan Iskandariah. Pada enam tahun pertama, Khalifah Ustman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn al-Khattab. Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya umar ibn al-khattab. Dalam pengelolaan zakat, ia mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing.
Memasuki enam tahun kedua, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekecauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.

D.    Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah diangkat sebagai Khalifah Islam IV oleh segenap kaum muslimin, Ali bin Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan Umar ibn al-Khattab.
Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang belangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengna ketidakstabilan politik, adanya beberapa pemberontakan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menumbulkan api permusuhan  dengan kelurga Bani Umayah yang dimotori Muawiyah ibn Abi Sofyan. Ali ibnu Abi Thalib juga membenahi sistem administrasi Baitul Mal, baik tingkat pusat maupun daerah sehingga semua berjalan dengan baik. Sedangkan dalam pembenahan Baitul Mal, ia menerapkan prinsip pemerataan. Khalifah Ali memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya didalam Islam. Selain itu Khalifah Ali melakukan percetakan mata uang koin atas nama negara Islam.[6] Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu, kaum muslimin telah menguasai tekhnologi peleburan besi dan percetakan koin. Namun demikian, uang yang dicetak kaum muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena pemerintahan Ali ibn Abi Thalib yang singkat seiring dengan terbunuhnya sang Khalifah pada tahun keenam terakhir pemerintahannya


DAFTAR PUSTAKA

DR. Euis Amalia, M. Ag. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Gratama Publishing:Depok, 2002.


[1] Badri yatim, sejarah peradaban islam: dirasah islamiyah II, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1994), cet. Ke-2 h.36.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Segi berbagai Aspeknya, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1985), Cet. Ke-5, Jilid 1, h. 58.
[3] Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattab (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997) Cet ke-3 h.150
[4] Ibid., H 155
[5] Ibid,. hal 156.
[6] Kadim as-Sadr, Fiscal Polities in Early Islam,op. cit., h.153.

lafadz dari segi kejelasan dan ketidakjelasan artinya



A.    Lafazh Yang Terang Artinya
Para ulama berbedapendapat dalam menilai tingkatan dilalah lafazhdari segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash.[1]
Pembagian lafazh ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan atau dinasakh, sebagaimana berikut ini :
·         Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Zhahir
Menurut Al Bazdawi lafazh zhahir adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar melalui bentuk lafazh itu sendiri.
Abu Zahra berpendapat bahwa lafazh zhahir menurut ulama hanafiah adalah al-kalam alladzi yadullu ‘ala ma’nan bayyinin wadhihin wa lakin lam yasqi al-kalam li ajli hadzal ma’na (pembicaraan yang menunjukkan makna yang jelas lagi terang, tetapi pembicaraan tidak digiring kepada makna terang ini). Petunjuk lafazh terhadap makna ini tidak dimaksudkan pada makna yang pertama, tetapi petunjuk mengarah kepada makna lain. Misalnya, dapat dikemukakan contoh berikut ini :
واحل الله البيع و حرم الربوا
Artinya : “Dan Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bai’ dan al riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di takhsish.Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.[2]
2.      Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara zhahir dengan nash, dengan memberikan definisi nash sebagai berikut :Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275 surat al-Baqarah (2) diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan nash lebih terang dar segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan “asal” sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh nash.[3]
3.      Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas.Sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis.
Kejelasan petunjuk lafazh mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir dan lafazh nash. Karena pada petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a.       Menurut asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contoh :

والذين يرمون المخصنات ثم لم يا توا با ر بعة شهداء فا جلدوهم
ثما نين جلده
         
“Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b.      Asalnya lafazh itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Contoh :

المستحاضة تتوضا لكل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap menunaikan sholat.
Kemudian datang hadits lain yang berbunyi :

المستحاضة تتوضالوقت كل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap kali masuk waktu sholat.
4.      Muhkam
Lafazh muhkan adalah lafazh yang menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan jelas serta qath'i dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh sekalipun pada masa Nabi Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau.[4]
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
a.       Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
b.      Muhkam Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.

Pengaruh kejelasan lafadz terhadap buku
1.      Pertentangan antara zhahir dan nash
Contonhnya : Friman Allah dalam surat An nisa’ (4) : 24 yang artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian itu, bahwa kamu mencari istri-istri denganhartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. Ayat ini bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nisa (4) : 3 yang artinya  “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka hendaklah cukup satu saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki.”
Dengan demikian terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua yaitu pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini petunjuk yang dapat diambil adalah yang kedua sebab petunjuk yang kedua termasuk petunjuk nash dan petunjuk nash lebih kuat dari pada petunjuk dhahir.

2.      Pertentangan antara muhkam dengan nash
Misalnya, Firman Allah dalam surat An Nisa (4) : 3 yang artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4”.
Ayat ini bertentangan dengan surat Al Ahzab (33) : 53 yang artinya: “dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya.”
Ayat pertama termasuk petunjuk nash, secara petunjuk nash ayat ini menunjukkan dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasuk janda Rasulullah dengan syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua petunjuknya muhkam ayat ini mengharamkan mengawini janda Rasulullah.Dengan demikian kedua ayat ini ta’arud (pertentangan).Maka harus diambil dilalah ayat yang kedua karena dilalah ayat ini muhkam.  
3.      Pertentangan antara nash dengan mufassar
Misalnya : diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata Fatimah binti Abu Hubais datang kepada Rasulullah kemudian berkata “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan sholat. Rasulullah menjawab, “tidak, karena mustahadah bukan darah haid.Jauhi sholat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap sholat dan sholatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini darisegi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua karena termasuk mufassar.
4.      Pertentangan antara mufassar dengan muhkam
Misalnya : Firman Allah dalam Al Qur’an surat At Thalaq (65) : 2 bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nur (24) : 4. Ayat pertama termasuk lafazh mufassar. Ayat ini menunjukkan diterimanya kesaksian yang adil daripada siapa saja.Ayat yang kedua termasuk muhkam.ayat     ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini, menurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat kedua.

·         Menurut Ulama Mutakallimin (Syafi'iyah)
Menurut ulama mutakallimin, kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya, lafazh zhahhir dan lafazh nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan Imam al-Syafi'I adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain. Tetpai dalam perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir ini dibedakan pengertiannya yaitu "nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil".

B.     Lafazh Yang Tidak Terang Artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin) membaginya menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
·         Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafazh yang petunjuknya tidak jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafazh yang membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan tersebut.[5]
Contoh lafazh khafi ini adalah lafazh السارق (pencuri) dalam firman Allah, surat al-maidah (5) : 4
السارق والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafazh   السارقitu cukup jelas yaitu orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi". Namun lafazh "pencuri" itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok, pencuri barang kuburan dan lain sebagainya.
2.      Musykil
Musykil adalah suatu lafazh nash yang bentuknya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya ialah harus dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari luar yang terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafazh quru' yang terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228.

والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
Lafazh quru' disini termasuk lafazh musytarak, yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan haidh.Akibatnya, petunjunya menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki dari dua arti tersebut.Oleh karena itu, dalam pengamalan lafazh musykil harus dikaji secara menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan pegangan.
3.      Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak dirinci.Menurut istilah adalah lafazh yang tidak dapat dipahami maksudnya. Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I (al-Sarakhsi, 1372 H, 1 : 168)
Contohnya : lafazh sholat, secara bahasa berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibdaha khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas tangan mereka”.

4.      Mutasyabih  
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah, sehingga tidak dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. (al-Syarakhsi, 1372 H, 1 : 169)
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam al-Qur'an seperti يس, كهيعص, الر,الم   dan sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya.[6]
2.      Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena Allah SWT Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh :
ويبغى وجه ربك ذو الجلال والا كرام

“Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia”.


·         Menurut Ulama Mutakallimin
Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafazh ditinjau dari segi ketidakjelasannya.Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam.Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
 




[1]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005), hlm. 219
[2]Ibid, hlm.220
[3]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 6

[4]Ibid, hlm. 11-12
[5]H. Amir Syarifuddin, Op Cit. hlm.13
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pnegantar Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 308