Pengertian Jual Beli
1. Menurut
bahasa
Jual beli
secara bahasa merupakan masdar dari kata diucapkan bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata karena
masing-masing dari dua orang yang melakukan
akad meneruskannya untuk mengambil
dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعا ن.
Jual beli
diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’
adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual
beli secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan
memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah :
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)”[1].
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’
: “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”[2].
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab
al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik”[3].
d. Menukar barang dengan barang atau
barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang
lain atas dasar saling ridha[4].
Dari beberapa
definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian
tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain :
a. Jual beli
dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar
b. Tukar menukar
tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni
kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c. Sesuatu yang
tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjualbelikan.
d.
Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni
kedua belah pihak memiliki sesuatu
yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan
abadi.
B. Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas
bahwa Imam Bukhari ra berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan
pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam
musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, “mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah
2 : 275)
Mereka berkata, “sesungguhnya jual
beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum
syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh
berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka
katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan
riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat
di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta
sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni
melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta
cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.
Sekalipun pada lahiriyahnya seperti
memakai cara-cara yang sesuai syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa
sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi dengan
cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)
“kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah
kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi
berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di
antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui
oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
2.
As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh
Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadits di
atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang
lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli
harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli
harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi,
dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul
Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang
Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 :
198) dan Nabi Saw bersabda,
“Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”.
(Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang
yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan
syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama
telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah
(dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya
tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak
menjalankan kewajiban ibadahnya.
Allah Swt
berfirman,
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475].
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
(Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam
telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin
wajib bersegera memenuhi
panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli
dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan
atau melakukan perbuatan haram.
Allah Swt
berfirman,
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5
: 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih
bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu
seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan
barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
C. Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat :
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan
kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah
sebelum ijab dan qabul dilakukan
sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk
perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang
kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin
syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak
dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul
al-Salam, hal. 4).
2.
Orang-orang yang berakad (subjek) - البيعا ن
Ada
2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut
pandangan syara’.
4. Ada
nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini
yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store
of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account)
dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).
D. Syarat-syarat Jual Beli
1. Akad
(ijab qabul)
- Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja
setelah penjual menyatakan ijab
atau sebaliknya.
- Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat,
diantaranya sebagai berikut :
a. Madzhab
Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab
qabul) yang diucapkan”. (Al-Jazairi, hal. 155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i :
1) Berhadap-hadapan
2) Ditujukan pada seluruh badan yang
akad
3) Qabul diucapkan oleh orang yang
dituju dalam ijab
4) Harus menyebutkan barang dan harga
5) Ketika mengucapkan shighat harus
disertai niat (maksud)
6) Pengucapan ijab dan qabul harus
sempurna
7) Ijab qabul tidak terpisah
8) Antara ijab dan qabul tidak
terpisah dengan pernyataan lain
9) Tidak berubah lafazh
10) Bersesuaian antara ijab dan qabul
secara sempurna
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
12) Tidak dikaitkan dengan waktu
b. Madzhab
Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu :
1) Berada di tempat yang sama
2) Tidak terpisah
3) Tidak dikatkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan
sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad
c. Imam Malik berpendapat :
“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara
dipahami saja”. (al-Qurthubi, hal. 128)
Syarat
shighat menurut madzhab Maliki :
1) Tempat akad harus bersatu
2) Pengucapan ijab dan qabul tidak
terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh
ada pemisah yang mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
d. Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
1) Qabul harus sesuai dengan ijab
2)
Ijab dan qabul harus bersatu
e. Pendapat kelima adalah penyampaian akad dengan perbuatan atau
disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
“Aqad bi al-mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan
tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah
diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan
uangnya sebagai pembayaran”. (al-Jazairi, hal. 156)
2. Orang
yang berakad (aqid)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
a. Madzhab
Syafi’i
1) Dewasa atau sadar
2) Tidak dipaksa atau tanpa hak
3) Islam
4) Pembeli bukan musuh
b. Madzhab
Hambali
1) Dewasa
2) Ada keridhaan
c. Madzhab
Maliki
1) Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2) Keduanya merupakan pemilik barang
atau yang dijadikan wakil
3)
Keduanya dalam keadaan sukarela
4) Penjual harus sadar dan dewasa
d. Madzhab
Hanafi
1) Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan
harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal
secara umum terbagi 3 :
a)
Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
b)
Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak
sah talak oleh anak kecil
c)
Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan
yaitu aktifitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizin wali.
2) Berbilang
Sehingga
tidak sah akad yang dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang yang terdiri dari
penjual dan pembeli.
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :
a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan
syubhat.
b. Bermanfaat
menurut
syara’.
c. Tidak
ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku pergi, kujual motor
ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi
waktunya, seperti
perkataan, “Kujual motor ini kepadamu selama 1 tahun” maka penjualan tersebut
tidak sah karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh
yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
e. Dapat
diserahkan cepat atau lambat
f. Milik
sendiri
g. Diketahui (dilihat)
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Imam
Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai (harga) adalah
dinar emas dan dirham perak.
Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam
mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk
seluruh bentuk simpanan harta kekayaan. Emas dan perak adalah benda yang
disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini untuk menilai harta dan kekayaan.
Walaupun,
karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat, namun tujuan utama dan
akhirnya adalah menguasai emas dan perak. Semua benda lain senantiasa terkait
perubahan harga pasar, namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah
ukuran keuntungan, harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3 yaitu :
a. Penyimpan
Nilai
(Store of Value)
Yaitu uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap (stabil).
b.Satuan
Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu uang harus bisa berfungsi
sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit of Account)
untuk menimbang atau menilai suatu barang atau jasa.
Allah Swt menjadikan uang dinar dan
dirham sebagai hakim dan penengah di antara harta benda lainnya sehingga harta
benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham (menjadi
satuan nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
c. Alat Tukar (Medium of Exchange)
Yaitu uang harus bisa berfungsi
sebagai alat tukar (Medium of
Exchange) untuk melakukan transaksi
perdagangan barang atau jasa.
Uang dinar dan dirham menjadi
perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya. Karena uang tidak dapat
memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat bila
dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal
222)
E. Hukum dan
Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual
beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi 2 macam :
1. Jual beli
yang sah (shahih)
Jual beli yang
shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun
syaratnya.
2. Jual beli yang
tidak sah
Jual beli yang
tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun
sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain menurut
jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat
jual beli menjadi 3 yaitu :
1. Jual beli
shahih
Adalah jual
beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan
menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli
batal
Adalah jual
beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak sesuai dengan
syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan
oleh orang gila atau anak kecil.
3. Jual beli
fasid (rusak)
Adalah jual
beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai
dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang
mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam
masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa batal dan
fasad adalah sama.
F. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam
Berkenaan
dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya sbb:
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah
sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang
baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik.
Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih
sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya,
seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih
sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah kecuali
dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli
anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut
ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah
jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk
melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga
pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt
berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang
buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi
sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut
ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat
membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama
Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli
tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu
keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama
Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada
keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli
fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut
ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud
terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit.
Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat
ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah,
harus ditangguhkan.
Adapun menurut
ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan
ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula
ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum,
menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur
selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya
dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari
sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama
Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak
bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli
malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar
dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan
batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih
telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara
pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di
satu tempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang
tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang
dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
Adalah jual
beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun
harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih
apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula
dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang
menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai
shighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama
Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.3)
berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni dengan shighat
lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu tersembunyi dan
tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli
dengan isyarat bagi orang yang uzur.
Jual beli
mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah tetapi sebagian ulama
Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal
itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani
membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati
ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat
berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua.
Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat
tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati
keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama
dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati
aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat
dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih
sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah
sebab tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini
dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika lebih baik,
seperti meninggalkan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan
ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang
dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut
jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum,
ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad,
yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih
sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang
tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh
orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada
larangan dari syara’.
Selain itu, ada
beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan
oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama
sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli
barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan
yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli
gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang
dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam
air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
Menurut Ibn
Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10 macam :
1) Tidak dapat
diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya
2) Tidak diketahui
harga dan barang
3) Tidak diketahui
sifat barang atau harga
4) Tidak diketahui
ukuran barang dan harga
5) Tidak diketahui
masa yang akan datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan datang”.
6) Menghargakan
dua kali pada satu barang
7) Menjual barang
yang diharapkan selamat
8) Jual beli
husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli
9) Jual beli
munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempari seperti seseorang
melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual
beli
10) Jual beli
mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat
tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak
mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah
membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah
membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati
bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau yang disimpan di
tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama
zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati
larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua manusia boleh
memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama
Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal
sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat
dilihat
Menurut ulama
Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan
sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah
membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
1) Harus jauh
sekali tempatnya
2) Tidak boleh
dekat sekali tempatnya
3) Bukan
pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
4) Harus meringkas
sifat-sifat barang secara menyeluruh
5) Penjual tidak
boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah
melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk
barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya,
ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas
makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum
terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang,
akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun
jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat
membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian,
ada beberapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya
berikut ini :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan
riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah tetapi batal menurut jumhur
ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama
Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas nilainya, sedangkan
menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas dari hadits Bukhari
dan Muslim bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing
dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat
pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju (pasar) sehingga orang
yang mencegatnya akan mendapat keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
hal itu makruh tahrim.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi
laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah
pada waktu adzan pertama. Sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib
sudah berada di mimbar (adzan kedua).
Ulama Hanafiyah
menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah menghukumi shahih haram.
Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak sah
menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih tetapi makruh. Sedangkan menurut
ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu
dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah
sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar, kemudian datang
orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan
harga yang tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama
Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju ini
dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula
menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama
Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang
melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika
hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
G. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
1. Pemenuhan kebutuhan hidup dengan adanya saling tukar menukar (pengganti)
2. Melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam sehingga bisa meredam
perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan dan penipuan. (Nailul
Authar 5/151)
H. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba
1. Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
2. Dalam aktifitas jual beli, antara untung dan rugi
bergantung kepada kepandaian dan
keuletan individu. Sedangkan
dalam riba hanya bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan dalam
semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi
kemandegan, penurunan dan kemalasan.
3. Dalam jual beli terdapat 2
kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba hanya ada untung dan menutup
pintu rugi.
4. Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat untuk satu
pihak saja bahkan saling menzalimi
atau merugikan.