Monday 4 November 2013

JUAL BELI

Pengertian Jual Beli
1. Menurut bahasa
Jual beli secara bahasa merupakan masdar dari kata diucapkan bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعا ن.
Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual beli secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”[1].
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”[2].
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik”[3].
d. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha[4].
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain :
a.    Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar
b.    Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c.    Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d.   Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B. Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari ra berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.
Sekalipun pada lahiriyahnya seperti memakai cara-cara yang sesuai syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
C. Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat :
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul al-Salam, hal. 4).
2. Orang-orang yang berakad (subjek) - البيعا ن
Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).
D. Syarat-syarat Jual Beli
1. Akad (ijab qabul)
- Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.
- Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut :
a. Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab qabul) yang diucapkan”. (Al-Jazairi, hal. 155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i :
1) Berhadap-hadapan
2) Ditujukan pada seluruh badan yang akad
3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
4) Harus menyebutkan barang dan harga
5) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
7) Ijab qabul tidak terpisah
8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9) Tidak berubah lafazh
10) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
12) Tidak dikaitkan dengan waktu
b. Madzhab Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu :
1) Berada di tempat yang sama
2) Tidak terpisah
3) Tidak dikatkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad
c. Imam Malik berpendapat :
“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”. (al-Qurthubi, hal. 128)
     Syarat shighat menurut madzhab Maliki :
1) Tempat akad harus bersatu
2) Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah yang mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
d. Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
1) Qabul harus sesuai dengan ijab
2) Ijab dan qabul harus bersatu
e. Pendapat kelima adalah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
Aqad bi al-mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran”. (al-Jazairi, hal. 156)
2. Orang yang berakad (aqid)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
a. Madzhab Syafi’i
1)      Dewasa atau sadar
2)      Tidak dipaksa atau tanpa hak
3)      Islam
4)      Pembeli bukan musuh
b. Madzhab Hambali
1)      Dewasa
2)      Ada keridhaan
c. Madzhab Maliki
1)      Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2)      Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3)      Keduanya dalam keadaan sukarela
4)      Penjual harus sadar dan dewasa
d. Madzhab Hanafi
1) Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi 3 :
a)        Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
b)        Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil
c)        Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan yaitu aktifitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizin wali.
2) Berbilang
Sehingga tidak sah akad yang dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang yang terdiri dari penjual dan pembeli.
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :
a.       Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan syubhat.
b.      Bermanfaat menurut syara’.
c.       Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d.      Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini kepadamu selama 1 tahun” maka penjualan tersebut tidak sah karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
e.       Dapat diserahkan cepat atau lambat
f.       Milik sendiri
g.      Diketahui (dilihat)
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai (harga) adalah dinar emas dan dirham perak.
Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk seluruh bentuk simpanan harta kekayaan. Emas dan perak adalah benda yang disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini untuk menilai harta dan kekayaan.
Walaupun, karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat, namun tujuan utama dan akhirnya adalah menguasai emas dan perak. Semua benda lain senantiasa terkait perubahan harga pasar, namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah ukuran keuntungan, harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3 yaitu :
a. Penyimpan Nilai (Store of Value)
Yaitu uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap (stabil).
b.Satuan Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit of Account) untuk menimbang atau menilai suatu barang atau jasa.
Allah Swt menjadikan uang dinar dan dirham sebagai hakim dan penengah di antara harta benda lainnya sehingga harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham (menjadi satuan nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
c. Alat Tukar (Medium of Exchange)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai alat tukar (Medium of Exchange) untuk melakukan transaksi perdagangan barang atau jasa.
Uang dinar dan dirham menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya. Karena uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)

E. Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi 2 macam :
1. Jual beli yang sah (shahih)
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya.
2. Jual beli yang tidak sah
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi 3 yaitu :
1. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal
Adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
3. Jual beli fasid (rusak)
Adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.
F. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya sbb:
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu tempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang yang uzur.
Jual beli mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10 macam :
1)      Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya
2)      Tidak diketahui harga dan barang
3)      Tidak diketahui sifat barang atau harga
4)      Tidak diketahui ukuran barang dan harga
5)      Tidak diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan datang”.
6)      Menghargakan dua kali pada satu barang
7)      Menjual barang yang diharapkan selamat
8)      Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli
9)      Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
10)  Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
1)   Harus jauh sekali tempatnya
2)   Tidak boleh dekat sekali tempatnya
3)   Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
4)   Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
5)   Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya berikut ini :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan mendapat keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh tahrim.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama. Sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib sudah berada di mimbar (adzan kedua).
Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah menghukumi shahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih tetapi makruh. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga yang tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
G. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
1. Pemenuhan kebutuhan hidup dengan adanya saling tukar menukar (pengganti)
2. Melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam sehingga bisa meredam perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan dan penipuan. (Nailul Authar 5/151)
H. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba
1.      Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
2.      Dalam aktifitas jual beli, antara untung dan rugi bergantung kepada kepandaian dan keuletan individu. Sedangkan dalam riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan, penurunan dan kemalasan.
3.      Dalam jual beli terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba hanya ada untung dan menutup pintu rugi.
4.      Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat untuk satu pihak saja bahkan saling menzalimi atau merugikan.


[1] Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133
[2] Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal 2
[3] Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559
[4] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah