Tuesday 12 November 2013

bank syariah


A.    Pengertian Bank Syari’ah
Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalissinya pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbangkan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.
Antonio dan perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam. Bank Syari’ah adalah
1.      Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2.      Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah  secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[1]
B.     Falsafah Operasional Bank Syari’ah
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama yang harus dihindari.[2]
1.      Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
a.       Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)
b.      Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur meliputi Penggandakan secara otomatis hutang / simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130)
c.       Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
d.      Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569 s.d 1572)
2.      Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqqrah ayat 275 dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang / jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[3]
C.    Kegiatan Usaha Bank Syari’ah
Bank syari’ah yang terdiri dari bank umum syari’ah (BUS), uni usaha syari’ah (UUS), dan bank pembiayaan rakyat syari’ah (BPRS), pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana masyarakat di samping penyediaan jasa-jasa keuangan lainnya.
Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah adalah:
1.      Penghimpun dana
a.       modal inti
b.      simpanan dan investasi
2.      Penyaluran dana
a.       Pembiayaan berdasarkan pola jual beli dengan akad murabahah, salam atau istishna’
b.      Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau Musyarakah
c.       Pembiayaan berdasarkan akad qardh
d.      Pembiayaan penyewa barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan  akad Ijarah atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik.
e.       Pengambilan utang berdasarkan akad Hawalah
f.       Pembiayaan multijasa
3.      Jasa keuangan perbankan
a.       Letter of credit (L/C) Impor syari’ah
b.      Bank garansi syari’ah
c.       Penukaran valuta asing[4]
D.    Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No
Bank Syari’ah
Bank Konvensional
1
Investasi, hanya untuk proyek dan produk yang halal serta menguntungkan
Investasi, tidak mempertimbangkan halal atau haram asalkan proyek yang dibiayai menguntungkan
2
Return yang dibayar dan/atau diterima berasal dari bagi hasil atau pendapatan lainnya berdasarkan prinsip syari’ah
Return baik yang dibayar kepada nasabah penyimpan dana dan return yang diterima dari nasabah pengguna dana berupa bunga
3
Perjanjian dibuat dalam bentuk akad sesuai dengan syariah islam
Perjanjian menggunakan hukum positif
4
Orientasi pembiayaan, tidak hanya untuk keuntungan akan tetapi juga falah oriented, yaitu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
Orientasi pembiayaan, untuk memperoleh keuntungan atas dana yang dipinjamkan.
5
Hubungan antara bank dan nasabah adalah mitra
Hubungan antara bank dan nasabah adalah kreditor dan debitur
6
Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah
Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, dan Komisaris
7
Penyelesaian sengketa, diupayakan diselesaikan secara musyawarah antara bank dan nasabah, melalui peradilan agama
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri setempat
Tabel : Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional[5]
E.     Fungsi Bank Syariah
1.      Penghimpun dana masyarakat
Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad al wadiah dan dalam bentuk investasi dengan menggunakan akad al mudharabah[6]
2.      Penyaluran dana ke masyarakat
Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Bank syariah akan mendapatkan return atas dana yang di salurkan. Return atau pendapatan yang diperoleh bank atas penyaluran dana ini tergantung pada akadnya.[7]

3.      Pelayanan jasa bank
Pelayanan jasa bank syariah ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang diberikan antara lain jasa pengiriman uang (transfer), pemindahbukuan, penagihan surat berharga, garansi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.[8]

Gambar 1 : Fungsi bank syariah dalam memperoleh keuntungan
Pada gambar 1, menunjukkan bahwa fungsi bank sebagai penghimpun dana masyarakat akan mengeluarkan biaya ( bonus dan bagi hasil). Fungsi bank dalam menyalurkan dana kepada masyarakat, akan memperoleh pendapatan berupa bagi hasil, margin keuntungan, dan pendapatan sewa. Fungsi dalam menawarkan produk jasa, bank syariah akan memperoleh pendapatan berupa fee.[9]

Gambar 2 : Bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan
Pada gambar 2, menunjukkan bahwa bank syariah berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan, yang tugasnya yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana (surplus unit) pada satu sisi, dan sisi lain, bank syariah juga menyalurkan dana kepada masyarakat yang sedang membutuhkan dana (defisit unit).[10]
F.     Struktur Organisasi Bank Syari’ah
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi yang membedakan bank syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah.
a.       Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
Peran utama para ulama dalam dewan pengawas syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensioanl. Karena itu, diperlukan garis panduan yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh dewan syariah nasional.
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Mekanisme kerja DPS dapat digambarkan sebagai berikut.
b.      Dewan Syariah Nasional (DSN)
Fungsi utama dewan syariah nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah islam. Untuk keperluan pengawasan, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum islam.
Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan memberi fatwa produk-produk baru yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah tersebut harus diajukan oleh manjemen setelah direkomendasikan oleh DSN pada lembaga yang bersangkutan.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang darigaris panduan yang telah ditetapkan. Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DPS dapat mengusul kepada otoritas yang berwenang.[11]
G.    Produk-produk Bank Syari’ah
a.      Prinsip jual beli (Ba’i)
Prinsip jual beli diadakan sehubung diadanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti :
a.       Al Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Al murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[12]
b.      As Salam
Salam adalah pembeliaan barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.[13]
c.       Al  Istishna
Transaksi Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.[14]
b.      Prinsip Sewa (Ijarah)
1)      Al Ijarah
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
2)      Al Ijarah Al Muntahia Bit Tamlik
Al Ijarah Al Muntahia Bit Tamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.[15]
c.       Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
1)      Al-Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[16]
2)      Al-Mudarabah
Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.[17]
3)      Al-Muzara’ah
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
Muzara’ah              : benih dari pemilik lahan
Mukhabarah           : benih dari penggarap[18]
4)      Al-Musaqah
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[19]

d.      Prinsip Jasa
1)      Al Wakalah
Al Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalamhal-hal yang diwakilkan.[20]

2)      Al Kafalah
Al Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[21]
3)      Al Hawalah
      Al Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.[22]
4)      Ar Rahn
      Ar Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.[23]
5)      Al Qardh
      Al Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, Qardh dikategorikan dalam aqad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[24]





DAFTAR PUSTAKA
‘Ajjaj al-Khatib,Muhammad. 1989. Ushul al Hadits wa Musthalahu. Bairut :          Daral Fikri
Sadeli Ed.. Hasan. Ensiklopedi Indonesia. jilid I
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio. 1997. Apa dan Bagaimana        Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Muhammad. 2000. Lembaga Keuangan umat kontemporer. Yogyakarta: UII Press
Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta :   BPFE-Yogyakarta
Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Kencana
Drs. Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Antonio, M. Syaf’ii. 2001. Bank syariah. Jakarta : Gema Insani Press
 


[1] Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997), Hlm.1
[2]  Muhammad, Lembaga Keuangan umat kontemporer,(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm.63
[3] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah,(Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2005), hlm. 16
[4] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010), Hlm. 72-73
[5] Drs. Ismail, Perbankan syariah, (Jakarta : Kencana prenada media group, 2011),  hlm. 38
[6] Ibid hlm. 39
[7] Ibid hlm. 40-41
[8] Ibid hlm. 42
[9] Ibid hlm. 45-46
[10] Ibid hlm. 47
[11] M. Syaf’ii antonio, Bank syariah, ( jakarta : gema insani press, 2001), hlm. 31 - 33
[12] Ibid hlm. 101
[13] Ibid hlm. 108
[14] ibid hlm. 113
[15] Ibid hlm. 117 - 118
[16] Ibid hlm. 90
[17] Ibid hlm. 95
[18] Ibid hlm. 99
[19] Ibid hlm. 100
[20] Ibid hlm. 120
[21] Ibid hlm. 123
[22] Ibid hlm. 126
[23] Ibid hlm. 128
[24] Ibid hlm. 131