Sunday 8 December 2013

Musaqah Muzaro’ah dan Mukhobaroh


A.    Musaqah
1.      Pengertian Musaqah
Secara etimologi kalimat musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus. Secara terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
a.       Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.
b.      Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
1)      Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun
2)      Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati
3)      Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah
4)      Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar
5)      Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya.
c.       Menurut Syafi’iyah yang di maksud dengan al-musaqah ialah : “Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.
d.      Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah itu mencakup dua masalah :
1)      Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
2)      Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.

2.      Dasar Hukum Musaqah
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama Fiqh, Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail: bahwa akad Al-musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagaian hasil yang akan dipanen dari kebun.
Dalam hal ini ditegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artinya: “Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan dipanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. (H.R. al-Bukhori dan Muslim).
Jumhur ulama fiqh mengatakan: bahwa akad Al-musaqah itu dibolehkan. Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.       Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.      Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
c.       “Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).


3.      Rukun-rukun Musaqah:
a.       Obyek Musaqah
b.      Pekerjaan yang berhubungan dengan musaqah
c.       Sifat Pekerjaan yang ada dalam musaqah
Para ulama sepakat bahwa musaqah dibolehkan menggunakan segala sesuatu yang telah disepakati dari bagian-bagian buah. Mereka juga sepakat bahwa tidak diperbolehkan dalam musaqah untuk mensyartkan adanya manfaat tambahan, seperti salah seorang dari keduanya mensyaratkan kepada mitranya tambahan dirham ataupun dinar.[2]
d.      Tenggang Waktu
Adapun pensyaratan waktu dalam musaqah ada dua macam yaitu: waktu yang disayaratkan agar dibolehkannya musaqah dan waktu yang merupakan syarat sahnya akad dan hal tersebut terbatas jangka waktunya.
Adapun waktu yang disayaratkan agar akadnya dibolehkan: para sahabat sepakat bahwa musaqah dibolehkan sebelum nampaknya kelayakan buah.[3]

4.    Syarat-syarat musaqah:
a.       Ahli dalam akad
b.      Menjelaskan bagian penggarap
c.       Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil bersama.
d.      Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e.       Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

5.      Habis waktu Musaqah
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:
a.       Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b.      Meninggalnya salah seorang yang akad
c.       Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat musaqah selesai jika habis waktu.



B.     Muzara’ah dan Mukhabarah
1.      Pengertian Muzara’ah
Menurut etimologi, muzara`ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Muzara’ah adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau pengelolaan kebun dan sejenisnya. Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada petani agar diusahakan, dan hasil dari pertanian itu dibagi antara kedua belah pihak. Muzara’ah berasal dari kata az-zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan menumbuhkan.
Sedangkan Muzara’ah menurut ulama fiqih salaf dimuka, adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari hasil pertanian yang sedang diusahakan. Kebanyakan fuqaha menyatakan bahwa perjanjian muzara’ah  hukumnya tidak boleh, sebab petani penggarap belum jelas akan mendapatkan hasil dari pekerjaannya itu.  
Dari arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa muzara’ah adalah bentuk kerjasama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan tersebut.

2.      Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.[4]

3.      Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
Dalam menentukan dasar hukum muzaroah dan mukhobaroh ini para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama melarang paroan tanah ataupun ladang. Dasar hukum yang digunakan adalah:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)[5]
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).[6]
Ulama’ tersebut berpendapat bahwa Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil.
Adapun Menurut Imam Syafi’i, Hukum muzaraah adalah bathil atau tidak sah dikarenakan bibit dari pertanian tersebut dari pemilik tanah dan pekerjanya mendapatkan separuh dari hasil panen. Menurut beliau muzaraah ini bisa sah dengan syarat Pemilik tanah yang sekaligus pemilik benih tadi mendapatkan 2/3 dari hasil panen atau lebih dan pekerjanya mendapatkan 1/3.[7]

4.    Yang tidak diperbolehkan dalam Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.”[8]

5.    Syarat Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah dan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat  atau lebih dari hasilnya.[9]

6.    Habis Waktu Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
a.       Habis mujara’ah.
b.      Salah seorang yang akad meninggal.
c.       Adanya uzur.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Adzim bin Baidawi, op cit.
Ahmad bin Muhammad Ad-Dzibbi, Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, (Beirut, Dar Kutub Al-Imamiyah, 2004.
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta, Gema  Insani, 2005).
Abdul Adzim bin Badawi, Al-wajiz, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2007).
Ibid.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2007).

 




[1] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2007), hlm. 483
[2] Ibid, hlm. 490
[3] Ibid, hlm. 491
[4] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta, Gema  Insani, 2005), hlm. 480
[5] Abdul Adzim bin Badawi, Al-wajiz, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2007), hlm. 582
[6] Saleh al-Fauzan, op cit, hlm. 480
[7] Ahmad bin Muhammad Ad-Dzibbi, Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, (Beirut, Dar Kutub Al-Imamiyah, 2004), hlm. 92
[8] Abdul Adzim bin Baidawi, op cit, hlm. 583
[9] Saleh al-Fauzan, op cit, hlm. 480