Wednesday 2 April 2014

Muzarah , Mukhobarah , dan Muzaqah



. MUZARA’AH
  1.  Pengertian
Mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah  yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal  (al-hazdar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.1
Menurut istilah muzara’ah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri.2
a)                   Menurut Hanafiyah
 عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبِعْضِ الْخَارِجِ مِنَ الْأَرْضِ
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
b)                  Menurut Hanabilah
 أن يد فع صا حب الأرض الصّالحةالمزارعة أر ضة للعامل الّذى يقوم يزرعها وبد فع له الحبّ
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit”
c)                   Menurut dhahir nash, as-Syafi,I
 اكتراء العا مل ليزرع الأرض ببعض ما يحرخمنها
“seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut”3

          2. Dasar hukum muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
 إن النّبيّ ص م لم يحرّم المزارعة ولكن امران يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له ارض فليز رعها أوليمنحها اخاه فإن أبي فليمسك ارضه (رواه البخارى)
“sesungguhnya Nabi SAW, menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”

          3. Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya
Menurut Hanafiah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukuk-rukun muzara’ah menurut Hanafiah ada 4, yaitu:
a)      Tanah
b)       Perbuatan pekerja
c)       Modal, dan
d)      Alat-alat untuk menana.

Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
a.       Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
c.       Hal yang Berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman,yaitu:
1)      Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentase ketika akad).
2)       Hasil adalah milik bersama,
3)       Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
4)      Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
5)      Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
a.    Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami.
b.    Hal yang berkaitan dengan waktu
c.    Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.

4.      Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai yaitu:
a.       Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
b.      Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal
c.       Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.

B. Mukhabarah
     1. Pengertian
Mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
     2. Dasar Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Menurut Al-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn al-Dhahak
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw, telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa dan Rasulullah Saw bersabda itu tidak mengapa.”
Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Thawus ra. Bermukhabarah, Umar ra. Berkata; dan aku berkata kepadanya; ya Abdurahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh – sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW, tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata bila seseorang memberi menfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi.”
Menurut pengarang kitab Al-minhaj, bahwa Mukhabarah yaitu mengerjakan tanah ( menggarap ladang atau sawah ) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula bermuzaraah, yaitu mengelola tanah yang benihnya dari pengolaan tanah. Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadis shahih, antara lain hadis dari Tsabit bin Dhahak.
Demikian dikemukakan dasar hukum muzaraah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang kitab Al-Manhaj. Ada yang mengharamkan muzaraah saja, seperti al-syafi’I berpendapat bahwa akad al-muzara’ah sah apabila muzara’ah mengikut kepada akad musaqah. Misalnya, apabila terjadi akad musaqah (pengelolaan perkebunan) dengan pengairan, kemudian ada tanah kosong diantara pepohonan yang tidak mungkin tidak akan terkena pengairan dari musaqah atau tanah kosong di salah satu sudut area tanah itu, maka tanah itu boleh dimanfaatkan untuk muzara’ah, artinya akad al-muzara’ah ini tidak berdiri sendiri tetapi mengikut pada akad musaqah, bila tidak demikian maka akad al-muzara’ah tidak boleh. Berdasarkan beberapa hadits di atas  ada ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut di atas ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.

C. MUSAQAH
  1. Pengertian
Merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu orang yang bekerja pada pohon tamar, anggur(mengurusnya), atau pohon lain supaya mendapatkan kemasalahatan dan mendapatkan bagiantertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut Syafi’iyah,
أن يعا مل شخص يملك نخلا أو عنبا سخصا أخر على أن يبا شر ثا نيهما النّحل او العنب
بالسّقى والتّر بية والحنظ ونحوذلك وله فى نظير عمله جزاءمعيّن منالثمر الّذى يحرج منه
Musaqah berarti memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”4

            2.  Dasar Hukum Musaqoh
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أعطى خيبر بشطر مايخر ج منها من ثمر او زرعوفي رواية دفع إلى اليهود خيبر وأرضها على ان يعملوها من أموالهم وأنّ لر سول الله ص مشطرها
“Memberikan tanah khaibar dengan bagian separuhbdari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian. Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkanvtanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk di olah dan modal dari hartanya, penghasilan separuhnya untuk Nabi”



      3.  Rukun dan syarat muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.5
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:6
a.       Pemilik tanah
b.      Petani penggarap
c.       Objek al-muzaraah
d.      Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisa
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
a.       Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
c.       Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
d.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
e.       Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
f.       Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah
Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
c.       Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
d.      Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
e.       Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

D. Hikmah dari MUZARA’AH ,MUKHABARAH DAN MUSAQAH
1.      Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Seseorang dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling meringankan dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak ( sapi, kerbau dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak memiliki sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat digunakan sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat digunakan untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari muzara’ah dan mukhabarah adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tanah dan binatang dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati

2.      Hikmah Dibolehkannya Musaqah
Ada beberapa hikmah dari dibolehkannya praktik musaqah, terutama dalam perawatan lahan pertanian yang menjadi objek musaqah tersebut. Dengan adanya akad musaqah, lahan tersebut tidak menjadi lahan yang terlantar karena adanya orang yang mengelola dan merawatnya. Dengan demikian, ada pemeliharaan tanah bagi pemilik dan ada keuntungan bagi penggarap. Hal ini melahirkan kerja sama yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, sehingga seperti telah dijelaskan di atas, merupakan bentuk kerja sama dalam kebaikan apabila dilandasi dengan niat yang baik. Ali Ahmad al-Jurjawi menjelaskan bahwa terdapat dua hikmah dalam transaksi musaqah, yaitu:
a.       Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga bisa mencukupi kebutuhannya.
b.      Saling tukar menukar manfaat di antara manusia.
Selain itu, ada pula beberapa faedah lain dari kebolehan musaqah ini, yaitu pohon-pohon di kebun tersebut dapat hidup dan menghasilkan, karena penggarap telah berjasa merawat dan mengelolanya. Jika pohon-pohon tersebut dibiarkan begitu saja tanpa dirawat, tentunya ada kemungkinan pohon-pohon tersebut akan mati dalam waktu singkat. Faedah lain adalah adanya ikatan rasa cinta kasih sayang antara sesama manusia, sehingga umat dapat menjadi umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan bersama.
Setiap lahan pertanian tentunya memerlukan perawatan dan pemeliharaan. Tanpa perawatan dan pemeliharaan, lahan tersebut hanya akan menjadi lahan tidur karena tidak terurus dan tanamannya tentu tidak akan memberikan hasil. Apalagi lahan perkebunan yang tidak dirawat juga akan dipenuhi semak belukar yang dapat menjadi sarang babi hutan atau tikus yang dapat menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian lain di sekitarnya.

      3. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.




DAFTAR PUSTAKA
1.      [1] Abdurrahman al-jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm,1.            
2.      [2] Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Disalin dari kitab: Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, ter. Team Tashfiyah LIPIA, (Jakarta: Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, 2007)            
3.      [3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm 153-155.            
4.      [4] Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).
5.      H. Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bnandung, 1994
Drs. Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas terbuka, 1992
DR. (He) Drs. H.S Sholahuddin, Fiqhul Islam, Biro Penerbit Jurusan Syariah STAIN Cirebon, 2000
6.      Suhendi, Hendi . fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Grafindo persada. 2008
7.      Syafe’i, Rachmat . fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia. 2001
8.      Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
9.      Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2010.
10.  Anwar, Moh., Fiqih Islam:Mua>’amalah, Muna>kahat, fara>id dan Jina>yah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, Bandung:al-Ma’arif, 1988.
11.  Dahlan,Abdul Azizi et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
12.  Ghazali, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, Cet. ke-1, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010.
13.  Haroen, Nasroen, Fiqh Mu’amalah, Cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama,2007
14.  Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
15.  Muslich, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, Jakarta:Mizan, 2010.
16.  Nabhani, Taqiyuddin an-, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Cet.ke-9, Surabaya: Risalah Gusti, 2009.
17.  Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta:Sinar Grafika,1996.
18.  Qaradlawi, Yusuf al-,  al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, cet ke-13, Beirut:al-Maktab al-Isla>m,1980.
19.  Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf Prima Yasa, 1995.
20.  Rasul, Ali Abd ar-, al-Maba>di’ al-Iqtis}a>d fi al-Isla>m, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980.
21.  Sahrani, Sohari dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
22.  Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
23.  Syariffudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor:Kencana, 2003.
24.  Thayyar, Abullah bin Muhammad ath-, Ensiklopedia Fikih Muamalah dalam pandangan 4 Mazhab, alih bahasa Miftahul Khairi, Yogyakarta:Maktabah al-Hanif, 2009.
25.  Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989
26.  Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6, Cet ke-4, Damaskus: Da>r al-Fikr, 2004
27.  Zuhdi, Masjfuk, Masa<il Fiqhiyah, Cet.ke-10, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.