Wednesday 2 April 2014

SISTEM PEMBIAYAAN MUDHARABAH (BAGI HASIL) ANTARA PERBANKAN SYARI’AH DENGAN LITERATUR FIQH MUAMALAH

I. PENDAHULUAN
Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing(PLS). Mereka berpendapat bahwa Bank Islam akan menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang luas kepada para peminjam dengan prinsip berbagi-risiko, tidak seperti pembiayaan
berbasis bunga dimana peminjamnya menanggung semua risiko.
Namun dalam praktiknya, bank-bank Islam umumnya telah menyadari bahwa PLS, seperti yang dibayangkan para teoritisi, tidak dapat digunakan secara luas dalam Perbankan Islam dikarenakan risiko-risiko yang ditanggungkan kepada Bank. Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni pada Perbankan Islam dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

II.  POKOK-POKOK MASALAH
  1. Apa definisi dari mudharabah?
  2. Bagaimana perpektif fiqh mengenai mudhrabah?
  3. Bagaimana perspektif perbankan syariah mengenai mudharabah?
III. ANALISIS
A. Mudharabah dalam literatur fiqih
1.  Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha[1].
Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan[2] : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor[3].
2.  Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Secara eksplisit dalam al-Qur’an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali[4], namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang[5]. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd(w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus[6]. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalamSurah al-Muzzammil ayat 20 :
…وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya : “….dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah….”.
(Al-muzammil : 20)

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُم
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu….”. (al-Baqarah : 198).
Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).

3.  Rukun dan Syarat Mudharabah
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. SedangkanJumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah[7] memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
Keterangan :
a.  Modal
Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor[8].
Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah[9]. Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batasbatas klausul kontrak mudharabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.
b.  Manajemen
Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh membagimudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu). [10].
c.  Jangka Waktu
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhabHanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian. [11]
d.  Jaminan
Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan yang bersifat ‘gadai’ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i[12].
e.  Pembagian Laba dan Rugi
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya.
B. Mudharabah dalam Perbankan Islam
Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah.
Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah.
Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus.
Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini[13]. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari
barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.
a.  Modal
Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk
tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain.
Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak[14], sebuah kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.
b.  Manajemen
Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus mematuhisyarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.
c.  Jangka Waktu
Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo
kontrak.
d.  Jaminan
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak[15].
e.  Pembagian Laba dan Rugi
Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko, tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi.
Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak.
Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.
Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun investasi bebas risiko manapun.
IV. KESIMPULAN.
1. mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang
2. Mudharabah seperti yang dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu kontrak dimana seorang yang terampil bisamenggunakan keterampilannya dengan uang dari investor dalam rangka menghasilkan untung. Mudharabah tidak berdasarkan teks syari’ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam. Mudharabahyang dikembangkan dalam fiqih adalah suatu kontrak dimana mudharib memiliki kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan mudharabah dalam rangka menghasilkan laba. Karena mudharib merupakan pihak yang lebih lemah didalam kontrak yang per definisi, memberikan keterampilannya sebagai modal pada mudharabah, para Fuqaha tidak membolehkan adanya tuntutan jaminan terhadap mudharib.
3.      Di bawah perbankan Islammudharabah kemudian digunakan dalam kongsi-kongsi dagang berjangka pendek, yang di situ tidak ada transfer dana kepada pihak mudharib. Tidak ada kebebasan bertindak, karena semua bagian-bagian yang terperinci tentang bagaimana mudharabah harus dijalankan sudah ditetapkan di dalam kontrak. Peran mudharib terbatas pada melaksanakan atas kontrak. Konsep umum mudharabah (yaitu suatu bentuk pembiayaan modal usaha atau penyaluran kredit kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk menjalankan dagang atau bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mugkin dapat atau mungkin tidak dapat diwujudkan) tidak tampil menjadi sesuatu yang menonjol atau yang cukup tampak dalam mudharabah perbankan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank kaum Neo-Revivalis. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  2. Abdul Majid, Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, (Bandung : IAIN SGD. 1986)
3.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Diponegoro. 2003.)
  1. M. Hasbi Ash Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 1997.)
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. Studi Islam Jilid III Muamlah. (Jakarta : PT. Grafindo Persada. 1993.)
  1. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Jakarta : Serambi 2001).
  2. Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani 2001)
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, (Bandung : IAIN SGD. 1987)
  4. DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  5. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001)
  6. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)





[1] Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95. yang dikutip dari M. Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut:Darun-Nafs, 1985).
[2] As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid 22. hal. 18. dikutip dari DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 175-176.
[3] Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al- Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud,Money, Interest and Qiradh, hal. 66; El-asyker, The Islamic Bussines Enterprise, hal. 75. Dikutip dari Abdullah Saeed,Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunnga Bank kaum Neo-Revivalis, hal. 77.
[4] Al-Qur’an 2:273; 3:156; 4:101; 5:106; 73:20.
[5] Asad, The Message, hal. 92, 905.
[6] Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid II, hal. 178.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV, hal. 839.
[8] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 73
[9] Ibid, hal. 29
[10] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 26 dst.
[11] Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 181
[12] Ibid, hal. 179
[13] FIBE, Contract of Mudharabah, Abdullah Saeed, Op. Cit, hal. 83
[14] JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.
[15] FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

Sumber : http://mujahidinimeis.wordpress.com/category/ekonomi-syariah/