Thursday 16 May 2013

Kebijakan Fiskal Pada Awal Pemerintahan Islam



Lahirnya kebijakan fiskal di dalam dunia Islam dipenngaruhi oleh banyak faktor salah satunya karena fiskal merupakan bagian dari instrumen ekonomi publik. Untuk itu faktor-faktor seperti sosial, budaya dan politik inklud di dalamnya. Tantangan Rasulullah sangat besar dimana beliau dihadapkan pada kehidupan yang tidak menentu baik dari kelompok internal maupun kelompok eksternal. Kelompok internal yang harus diselesaikan oleh Rasulullah yaitu bagaimana menyatukan antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin pasca hijrah dari mekah ke Madinaha (Yastrib). Sementara tantangan dari kelompok eksternal yaitu bagaimana Rasul mampu mengimbangi rongrongan dan serbuan dari kaum kafir Kuraiys. Akan tetapi Rasulullah mampu mengatasi berkat pertolongan Allah SWT.
Di sisi lain Rasulullah harus melakukan pembenahan di sektor ekonomi. Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut dimana kondisi alam yang tidak mendukung ditambah kondisi ekonomi masyarakat yang masih lemah maka salah sumber daya alam yang bisa diandalkan adalah pertanian. Sektor pertanian yang menjadi satu-satunya harapan tersebut terkelola dengan cara-cara tradisional sehingga terkesan apa adanya.
Banyaknya problematika yang dihadapi oleh beliau tentunya diperlukan kejeniusan, ketegaran dan kesabaran seorang pemimpin sehingga kebijakan yang dibuatnya bersifat menguntungkan semua pihak. Di dalam sejarah Islam keuangan publik berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat Muslim dan pembentukan negara Islam oleh Rasulullah Saw pasca hijrah, kemudian diteruskan oleh Khulafaul Rasyidun.
A.          Masa Pemerintahan Rasulullah s.a.w
       Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah Saw sangat berat. Sebagai seorang perintis sebuah keberadaan negara Islam tentunya dimulai dari serba nol. Mulai dari tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial maupun budaya semuanya ditata dari awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan jiwa seorang pejuang dan jiwa seorang yang ikhlas dalam menata sebuah rumah tangga pemerintahan, menyatukan kelompok-kelpompok masyarakat yang sebelumnya terkenal dengan perpecahan yang mana masing-masing kelompok menonjolkan karakter dan budayanya. Di sisi lain Rasulullah s.a.w. harus  mengendalikan depresi yang dialami oleh kaum muslimin melaui strategi dakwahnya agar ummat muslim mempunyai keteguhan hati (beriman) dalam berjuang, mentata perekonomian yang carut marut dengan menyuruh kaum muslimin bekerja tanpa pamrih dan lain sebagainya.
       Upaya Rasulullah s.a.w dalam mencegah terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin maka beliau mempersatukan kaum Anhsor (sebagai tuan rumah) dengan kaum Muhajirin (sebagai kelompok pendatang). Rasulullah menganjurkan agar kaum Anshor yang notabene memiliki kekayaan dapat membantu saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Maka hasil dari upaya tersebut terjadilah akulturasi budaya antara kaum Anshor dengan kaum Muhajirin sehingga kekuatan kaum Muslim bertambah.
       Untuk mengantisipasi kondisi keamanan yang selalu mengancam maka Rasulullah saw. mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim oleh beliau sendiri dengan sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari kepemimpinan beliau maka lahirlah berbagai macam kreativitas kebijakan yang dapat menguntungkan bagi kaum muslim. Kebijakan utama beliau adalah membangun masjid sebagai pusat aktivitas kaum muslimin. Istilah  yang populernya penulis sebut dengan istilah Madinah Muslims Center (MMC). Menurut Sabzwari[1], terdapat tujuh kebijakan yang dihasilkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara, diantaranya ialah :
1.             Membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya.
2.             Merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah.
3.             Meciptakan kedamaian dalam negara.
4.             Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
5.             Membuat konstitusi negara.
6.             Menyusun sistem pertahanan Madinah.
7.             Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.
          Namun yang paling utama dibangun oleh Rasulullah s.a.w. adalah masjid karena dengan adanya masjid menandakan perjungan beliau tidak hanya berada pada tataran duniawi saja akan tetapi berdimensi akhirat. Jika ini ditafsirkan dengan akal (tafsir bil ra’yi) maka sesungguhnya terdapat sesuatu ajaran yang cukup dalam dimana Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar ideologi perjuangan yang selalu bergandengan antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat. Sebagai mediasinya adalah dibangunlah masjid.
Perjuangan dalam tataran ideologi sudah dibenahi, maka rasulullah s.a.w. melangkah pada tahap berikutnya yaitu dengan mereformasi bidang ekonomi dengan berbagai macam kebijakan beliau. Seperti diulas panjang di atas bahwa kondisi ekonomi dalam keadaan nol. Kas negara kosong, kondisi gegrafis tidak menguntungkan dan aktivitas ekonomi berlajan secara tradisional. Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini maka Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya yang terkenal dengan Kebijakan Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu dengan meletakkan dasar-dasar ekonomi.
B.           Kebijakan Fiskal Pada Masa Rasulullah
                   Diantara kebijakan tersebut adalah:
a)      Memfungsikan Baitul Maal[2]
Baitul maal sengaja dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat pengumpulan dana atau pusat pengumpulan kekayaan negara Islam yang digunakan untuk pengeluaran tertentu. Karena pada awal pemerintahan Islam sumber utama pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan dijelaskan secara mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara Islam).
         Pendirian Baitul Maal ini masih banyak sumber yang berbeda pendapat, ada yang mengatakan didirikan oleh Rasulullah s.a.w. dan ada sumber yang mengatakan bahwa secara resmi baitul maal didirikan oleh Sayidina Umar ibn Khaththab r.a. Di dalam buku Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab dikatakan bahwa salah satu keberhasilan beliau adalah mampu mendirikan Baitul Maal[3]. Namun disisi lain secara implisit fungsi akan Baitul Maal sudah dibentuk oleh Rasulullah s.a.w terbukti dengan membangun masjid bersama kekayaan fungsi di dalamnya (Muslims Centre). Akan tetapi secara eksplisit pendirian Baitul Maal dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab r.a. Kesimpulannya, tidak ada perbedaan yang mendasar dari semua pendapat, hanya saja dikompromikan kapan fungsi secara implisit dari Baiyul Maal dan kapan pendirian secara eksplisit.
         Untuk itu fungsi dari Baitul Maal disini adalah sebagai mediasi kebiajakan fiskal Rasulullah s.a.w. dari pendapat negara Islam hingga penyalurannya. Tidak sampai lama harta yang mengendap di dalam Baitul Maal, ketika mendapatkannya maka langsung disalurkan kepada yang berhak menerimanya yaitu kepada Rasul dan kerabatnya, prajurt, petugas Baitul Maal dan fakir miskin.
b)      Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
         Salah satu kebijakan Rasulullah s.a.w dalam pengaturan perekonomian yaitu peningkatan pendaptan dan kesempatan kerja dengan mempekerjakan kaum Muhajirin dan Anshor[4]. Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme distrubusi pendapatan dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap output yang akan diproduksi. Disi lain Rasullah membagikan tanah sebagai modal kerja. Kebijakan ini dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. karena kaum Muhajirin dan Anshor keahliannnya bertani dan hanya pertanian satu-satunya pekerjaan yang menghasilkan. Kebijakan beliau sesuai dengan teori basis, yaitu bahwa jika suatu negara atau daerah ingin ekonominya maju maka jangan melupakan potensi basis yang ada di negara atau daerah tersebut.
c)      Kebijakan Pajak.
         Kebijakan pajak ini adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah muslim berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak proposional). Misalnya jika terkait dengan pajak tanah, maka tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bisa didasarkan atas zonenya.
d)      Kebijakan Fiskal Berimbang
         Untuk kasus ini pada masa pemerintahan Rasulullah s.a.w dengan metode hanya mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain[5]
e)      Kebijakan Fiskal Khusus
         Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan memberikan pijaman kepada orang-orang tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan insentif. 
C.          Masa Pemerintahan Khulafaul Rasyidin
       Pada periode ini terbagi menjadi empat dekade sesuai dengan kekhalifhan pasca meninggalnya Rasulullah saw yaitu :
a.      Masa Kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq r.a
         Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapat kepercayaan pertama dari kalangan muslim untuk menggantikan posisi Rasulullah saw setelah beliau wafat. Konon ada beberapa kreteria yang melekat pada diri Abu Bakar sehingga kaum muslimin mempercayai puncak kepemimpinan Islam diantaranya adalah terdapat ketaatan dan keimanan beliau yang luar biasa, faktor kesenioran diantara yang lain sehingga wibawa menjadi penentu. Juga faktor kesetiaan dalam mengikuti dan mendapingi Rasulullah dalam berdakwah menyadarkan kaum muslim bahwa beliau memang pantas menjadi pengganti raululllah saw. Pemilihan tersebut berlangsung secara alami tanpa ada interpensi dari Rasulullah saw.
         Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitiannya dalam mengelola dan menghitung zakat. Tebukti dengan ketelitian dan kehatia-hatiannya beliau mengangkat seorang amil zakat yaitu Anas.
         Pada awal kepemimpinannya beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan beliau mengatakan kepada ummatnya bahwa perdagangan beliau tidak mencukupi untuk memenuhi kebtuhan keluarganya. Tentunya dengan adanya beban sebagai kepala negara akan mengurangi aktivitas dagangnya karena sibuk mengurus negara.
         Kesulitan beliau diketahui oleh khalayak ramai terutama oleh Siti Aisyah dan dengan kesepakatan bersama selama kepemimpinan beliau baitul maal mengeluarkan kebutuhan khalifah Abu Bakar yaitu sebesar dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan yang lain mencapai 6.000 dirham pertahun.
         Namun yang menarik dari kepemimpinan beliau adalah ketika beliau mendekati wafatnya, yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan kekayaan kepada negara karena melihat kondisi negara yang belum pulih dari krisis ekonomi. Beliau lebih mementingkan kondisi rakyatnya dari pada kepentingan inividu dan keluarganya. Gaji yang selama ini diambil dari baitul maal yang ketika dikalkulasi berjumlah 8.000 dirham, mengganti dengan menjual sebagain besar tanah yang dimikinya dan seluruh penjualannya diberikan untuk pendanaan negara. Sikap tegas seperti ini belum kita temukan di negara kita tercinta ini. Bahkan yang terjadi sebaliknya, yaitu dipenghujung jabatannya justru mengeluarkan kebijakan yang dapat menguntungakan dirinya. Enggan mempublikasi kekayaan pribadi ketika KPK memeriksanya.
         Berkaitan dengan kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw. Hanya ada beberapa kebijakan fiskal beliau yang cukup dominan dibandingkan yang lain yaitu pemberlakuan kembali kewajiaban zakat setelah banyak yang membangkangnya. Kebijakan berikutnya adalah selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat sehingga tidak ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
b.      Masa Kekhalifahan ‘Umar Ibn Khaththab ra
         Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan. Khalifah adalah penanggung jawab rakyat, sedangkan rakyat adalah sumber pemasukan kekayaan negara yang manfaatnya kembali kepada mereka dalam bentuk jasa dan fasilitas umum yang diberikan negara.
         Apa yang telah diterapkan oleh Umar Ibn Khaththab pada masa dahulu adalah serupa dengan apa yang diterapkan oleh pemerintahan Amerika sekarang, dimana pemimpin negara langsung memeriksa kantor strategi pertahanan negara. Juga kepala negara mengikuti proses restrukturisasi stabilitas umum dan program ekonomi negara. Ia diberi kesempatan untuk memberi perhatian dan pengawasan atas sirkulasi eokonomi[6]
         Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonominya yang berkaitan dengan fiskal yang akan dijalankannya. Dari pidato yang beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai sebagai dasar-dasar beliau dalam menjalankan kepemimpinannya yang terkenal dengan sebutan 3 dasar sebagai berikut[7]:
a.             Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil dari kharaj atau harta fa’i yang diberikan Allah kecuali dengan mekanisme yang benar.
b.             Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya; dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
c.             Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan maka dia memakai dengan jalan yang benar.
c.       Masa Kekhalifahan ‘Utsman Ibn ‘Affan ra
Enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani, Kerman dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan khalifah sebelumnya yaitu Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka mengembangkan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pepohonan ditanam serta kemanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Pada masa Usman tidak ada perubahan yang signifikan pada kondisi ekonomi secara keseluruhan. Kebanyakan kebijakan ekonomi mengikuti khalifah sebelumnya yang kebanyakan pakar mengatakan bahwa khalifah sebelumnya (Umar) adalah sang reformis dalam bidang ekonomi.
d.      Masa Kekhalifahan ‘Ali Ibn Thalib r.a
‘Ali berkuasa selama lima tahun. Sejak awal kepemimpinannya, beliau selalu mendapatkan rongrongan dari kelompok umat Islam sendiri yaitu kaum khawarij serta peperangan berkepanjangan dengan kelompok Mu’awiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang independen di daerah Syiria dan Mesir.
Untuk itu awal-awal kepemimpinan beliau adalah dengan sebuah kebijakan membersihkan kalangan pejabat yang korup yang dilakukan sebelumnya. Maka tidak sedikit pejabat sebelumnya yang dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara adalah Gubernur Ray dengan tuduhan penggelapan uang.
Mengenai kebijakan fiskalnya, ‘Ali tetap mengacu pada khalifah sebelumnya. Bahkan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Umar banyak diteruskan oleh ‘Ali, bukan Ustman.
D.          Komponen-komponen Kebijakan Fiskal dalam Islam
          Untuk sementara, mari kita ulas sedikit mengenai kebijakan fiskal di jaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin. Di dalam kebijakan fiskal di jaman Rasulullah s.a.w dan khulafaurrasyidin penulis bagi menjadi dua yaitu kebijakan pemasukan yang terbagi kenjadi dua yaitu pemasukan dari kaum muslim dan pemasukan dari nonmuslim, kedua kebijakan pengeluaran kekayaan negara Islam. Terkesan asing saat disebutkan pendapatan dari nonmuslim, akan tetapi pada zaman tersebut merupakan konsekuensi logis dan berada pada taraf kewajaran. Seperti, kelompok kafir harus membayar pajak kepada negara Islam sebagai bentuk perlindungan dan lain sebagainya.
1.             Kebijakan Pemasukan dari Muslim
a.      Zakat
          Zakat adalah salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik. Sebelum diwajibkan zakat bersifat suka rela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum. Peraturan mengenai pengeluaran zakat muncul pada tahun ke sembilan hijriyah ketika dasar Islam telah kokoh.
          Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal sebagai berikut[8]:
·                Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lain
·                Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya
·                Binatang ternak unta, sapi domba dan kambing
·                Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan
·                Hasil pertanian termasuk buah-buahan
·                Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh
·                Barang temuan.
                   Zakat emas dan perak ditentukan bedasarkan beratnya, binatang ternak ditentukan berdasarkan jumlahnya, dan barang dagangan, bahan tambang, dan luqta ditentukan berdasarkan nilainya serta zakat hasil pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
b.      Ushr
          Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orag-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Mekkah, pusat perdagangan terbesar. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang[9]
c.       Wakaf
          Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
d.      Amwal Fadhla
          Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
e.       Nawaib
                   Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
f.        Zakat Fitrah
                   Zakat fitrah ini diwajibkan bagi kaum muslimin dalam satu tahun sekali sebagai pembersih harta yang mereka miliki. Tepatnya pada bulan ramadhan dan zakat fitrah ini hingga sekarang semakin menunjukkan perkembangannya karena bersifat wajib.
g.      Khumus
                   Khumus adalah karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
h.      Kafarat
                   Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya.
2.             Kebijakan Pemasukan dari nonmuslim
a.      Jizyah
          Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
          Pada masa Rasulullah s.a.w. besarnya jizyah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini. Di antara ahli kitab yang harus membayar pajak sejauh yang diketahui adalah orang-orang Najran yang beragama Kristen pada Tahun keenam setelah Hijriyah. Orang-orang Ailah, Adhruh dan Adhriat membayarnya pada perang Tabuk. Pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang atau jasa sepeti yang disebutkan Baladhuri dalam kitabnya Fhutuh al-Buldan, ketika menjelaskan pernyataan lengkap perjanjian Rasulullah s.a.w dengan orang-orang Najran yang dengan jelas dikatakan: “......Setelah dinilai, dua ribu pakaian/garmen masing-masing bernilai satu aukiyah, seribu garmen dikirim pada bulan Rajab tiap tahun, seribu lagi pada bulan Safar tiap tahun. Tiap garmen berniali satu aukiyah, jadi bila ada yang bernilai lebih atau kurang dari satu aukiyah, kelebihan atau kekurangannya itu substitusi garmen harus diperhitungkan[10]
b.      Kharaj
          Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi yang diserahkan kepada negara. Rasulullah s.a.w biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam maslah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai kelebihan perkiraan, dua pertiga bagian dibagikan dan mereka bebas memilih yaitu menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang peting.
          Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) dan jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan) kedunya juga terdapat pada zaman kekaisaran Romawi dengan bentuk yang sama, dan merupakan fakta bahwa pembayaran pajak umum diterapkan pada kekaisaran Sasanides dan Persia. Kaum muslimin pada periode awal mengikuti pendahulunya dan keduanya ditentukan sekedarnya sesuai prinsip keadilan. Penting untuk diketahui bahwa nonmuslim hanya membayar tiga jenis pajak, sementara muslim membayar lebih banyak lagi jenis pajak. Kharaj yang dibayar nonmuslim sama halnya dengan kaum muslim membayar ‘Ushr dari hasil pertanian. Jizyah dibayar sebagai pajak untuk perlindungan sebagai pengganti wajib militer bagi nonmuslim.
c.       ‘Ushr
           ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Mekkah, pusat perdagangan terbesar. Menurut Hamidullah, Rasulullah s.a.w berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapuskan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal tersebut. Ia mengatakan “barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar menukar barang”.......
3.             Kebijakan Pengeluaran
         Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. (9:60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
         Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan asnab. Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja.


[1] Lihat M.A Sabwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad s.a.w” dalam Adiwarman Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, 2002, Jakarta, halaman 20. pendapat yang sama juga dapat dilihat pada Nazori Majid, “Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian”, 2003, Yogyakarta, halaman 173-174.
[2] Lihat Karnaen A Perwataatmajda, “Sejarah Pemikiran Eonomi Islam” Diktat Kuliah, Universitas Islam Negeri SYAHID Jakarta, 2006, halaman 14. lihat juga pada Kadim As-Sadr “Kebijakan Fiskal Pada Awal Pemerintahan Islam”, dalam Adiwarman Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Op. Cit. Halaman 74. konon yang dijadikan Baitul Maal adalah masjid sendiri. Karena As-Sadr mengatakan di halaman yang sama bahwa pusat pengumpulan dan pembagian dana yang diperoleh adalah di masjid yang didirikan oleh nabi sendiri setelah belau hijrah karena masjid dibuat bukan hanya tempat iabadah akan tetapi masjid sebagai pusat kediatan atau Madinah Muslims Center  (MMC). Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang maka sangat mungkin itu dilakukan oleh Nabi. Sekarang Baitul Maal Wattamwil menjamur di masjid-masjid dengan sebuah sekretariat kecil namun fungsinya luar biasa dalam membangun usaha kecil. Hanya saja disayangkan hingga sekarang BMT tidak mempunyai dasarhukumnya sehingga ada beberapa BMT di jawa tengah dipermasalahkan secara hukum dan dibekukan.

[3] Lihat Quthb Ibrahim Muhammad, “Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab”, Terjemahan, 2002, Jakarta, halaman 23
[4] Nasori Majid. Op. Cit. halaman 223
[5] Op.Cit. halaman 224
[6] Said Ahmad, Al-Idarah Al-Maliyah, halaman 259
[7] Pidato beliau dikutif dari buku “Quthb Ibrahim Muhammad; “Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab; Ibid, halaman 34
[8] Lihat M.A. Sabzwari, dalam Karim; Op. Cit. halaman. 34
[9] Sabzwari. Op. Cit.  halaman 32
[10] Sabzwari, dalam karnaen. Halaman 32