Thursday 30 May 2013

aliran mu'tazilah


A.    Mu’tazilah
1.                Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Salah satu aliran dalam teologi islam yang cukup terkenal adalah Mu’tazilah. Aliran mu’tazilah mengetengahkan persoalan-persoalan teologi yang mendalam dan bersifat filosofis. Kaum Mu’tazilah disebut juga “kaum rasionalis islam”, karena dalam membahas masalah-masalah agama mereka banyak menggunakan akal. Oleh sebab itu tidak heran jika orang ingin mempelajari filsafat islam yang sesungguhnya perlu menggali buku-buku yng dikarang kaum Mu’tazilah.
Aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Kota Basrah ketika itu menjadi kota pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. Selain itu aneka kebudayaan asing dan bermacam-macam agama bertemu di kota itu. Makin meluasnya dan makin banyaknya orang yang memeluk agama islam menyebabkan adanya orang yang ingin menghancurkan islam, terutama dari segi aqidah
Orang-orang yang ingin menghancurkan islam tidak hanya mereka yang beragama non islam, akan tetapi juga dating dari orang-orang islam sendiri karena masalah politik. mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya.
Dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di masjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
1)   Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
2)   Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
2.      Arti dan Asal Usul Kata Mu’tazilah
Di kalangan penulis masih terjadi perdebatan diseputar asal-usul sebutan Mu’tazilah.Perdebatan mereka terutama terjadi pada kisaran apakah sebutan itu berasal dari kalangan out sider atau bahkan lawan Mu’tazilah, atau justru dari kalangan internal orang-orang Mu’tazilah sendiri.Dalam hal ada beberapa teori yang dapat dismpaikan tentang hal ini. Hanya saja dapat dipastikan bahwa sesungguhnya Mu’tazilah sendiri ternyata telah memproklamirkan dirinya sebagai Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl (Penegak tauhid dan keadian Tuhan), dan mereka lebih suka dipanggil dengan sebutan itu.
1.         Nama Mu’tazilah yang diberikan kepeada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu’tazilah, yang diberikan oleh orang yang tidak sefaham dengan mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Basri, setelah ia melihat Wasil memisahkan diri. Hasan al-Basri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: I’tazala ‘anna (dia mengasingkan atau memisahkan diri dari kita). Orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah, dan sejak peristiwa itu sebutan Mu’tazilah mulai dipergunakan. Mengasingkan diri di sini bisa bermakna ganda: memisahkan diri dari forum Hasan al-Basri, atau mengasingkan diri dari pandangan umum saat itu yakni Khaawarij yang memandang pendosa besar sebagai kafir dan Murji’ah yang tetap mengapresiasinya sebagai orang mukmin.
2.      Sebutan Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan al-Basri, melainkan dari kata I’tazala yang dipakaikan terhadap kelompok netralis (politik) dalam mensikapi pertikaian politik dikalangan umat Islam. Istilah Mu’tazilah dalam konteks ini dikatakan sudah muncul jauh sebelum kemunculan Wasil dengan doktrin manzilah bain al-manzilatain-nya. Yaitu golongan yang tidak mau ikut terlibat dalam pertikaian politik, sebaliknya mereka mengasingkan diri dan memusatkan perhatiannya pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Diantara orang-orang demikian ini adalah cucu nabi Muhamad Abu husain, Abdulah dn Hasan bin Muhamad bin al-Hanafi. Wasil disebut mu’tazilah menurut teori ini karena selain dia mempunyai hubungan yang erat dengan Abu husain juga karena punya sikap hidup yang identik dengan kelompok tersebut yakni memusatkan aktivitasnya pada ibadah dan pengembangan ilmu tanpa terlibat dalam pertikaian politik pada masa itu.
3.      Kata mu’tazilah mengandung arti tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Mu’tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Mu’tazilah yakni golongan yang tergelincir dari kebenaran. Harun Nasution menolak pandangan ini, karena menurutnya pemaknaan seperti ini tidak dapat dibenarkan dari tinjauan kebahasaan yang menyamakan kata ‘azala dengan zalla. Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk arti tergelincir, kata Harun Nasution, memang dekat bunyinya dengan ‘azala (kata asal dari I’tazala) yakni zalla. Tetapi bagaimanapun nama Mu’tazilah lanjut Harun Nasution tidak bisa dikatakan berasal dari kata zalla.
4.      Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri dengan Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan sejumlah pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menetapkan nama itu. Menurut al-Qadi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilahh yang buku-bukunya banyak ditemukan kembali pada abad ke-20 M ini, di dalam teologi memang terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibnu Murtada bahwa sebutan Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang mu’tazilah sendirilah yang menciptakan sebutan itu.
Memperhatikan sejumlah pandangan di atas, teori yang pertama adalah yang paling dipegangi oleh banyak orang.Pendapat ini menyebutkan bahwa kata mu’tazilah berasal dari ungkapan Hasan al-Basri I’tazala ‘anna (ia Wasil memisahkan diri dari kita), setelah melihat Wasil memisahkan diri.Ini berarti sebutan mu’tazilah memang bukan berasal dari orang mu’tazilah sendiri, melainkan dari kalangan out sider, yang bahkan kurang sefaham dengan mereka.Menurut fazlur rahman.Mu’tazilah di sini berarti orang yang mengasingkan diri, baik dalam arti memisahkan dari forum setempat) hasan al-Basri maupun dari panangan umum yang sudah ada Khawarij yang menjustifikasi kafir pendosa besar, Murji’ah yang tetap memandangnya mukmin pelaku maksiat sehingga pandagan seperti itu bersifat unik. Meski nama Mu’tazilah itu diberikan oleh orang luar, namun pemaknaan seperti itu sama sekali tidak mengandung ejekan, sehingga pemaknaan kata mu’tazilah sebagai orang-orang tergelincir sudah pasti salah dan harus ditolak. Hanya saja di dalam perkembangannya lebih lanjut, lebih-lebih di lingkungan masyarkat yang penduduknya mayoritas suni, tampaknya penmbelokan makna kata mu’tazilah ke arah yang negatif (ejekan) tidak mungkin dihindari.Kenyataan ini mendorong para tokoh Mu’tazilahgenerasi belakang memberikan interpretasi kata Mu’tazilah itu dengan pengertianyang berkonotasi positif.Al-Qadi Abdul Jabbar misalnya, sebagai dijelaskan di atas, mengatakan arti kata Mu’tazilah adalah golongan yang mengasingkan diri dari yang salah, sehingga mengandung pemakana pujian, bukan suatu ejekan.Dalam kaitan ini mereka mengemukakan dalil Qs. al-Muzammil ayat 10.

1.      Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
a.         Wasil bin Atha ( 80 – 131 H )
Wasil bin Atha Al Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinnya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip pemikiran Mu’tazilah yang rasional.Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.         Abu Huzail al-Allaf ( 135 – 235 H )
Abu Huzail al-‘Allaf seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan.Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini.Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam.Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
c.         Al-Jubba’I ( wafat 303 H )
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
d.        An-Nazzam (185 – 221 H )
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim.Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim.Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
e.         Al- jahiz
Dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
f.          Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
g.         Bisyr bin al-Mu’tamir ( wafat 226 H )
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
h.         Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
i.           Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
j.           Abu Husein Al Khayyat ( wafat 300 H )
Abu Husein Al Khayyat termasuk Mu’tazilah Bagdad.Bukunya yang berjudul “al-intisar” berisi pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu Ar-Rawandi.Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
k.         Al-Qadhi Abdul Jabbar ( wafat 1024 )
Ia diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu Abad. Karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Karangan tersebut demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan Al Mughni. Kitab ini terdiri dari 15.Al-Qadhi Abdul Jabbar termasuk tokoh pada masa kemunduran mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.
l.           Az-Zamahsyari (  467- 538 H )
Nama lengkapnya adalah Jarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar. Ia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarazm Iran. Sebutan jarullah artinya tetangga Allah, karena beliau lama tinggal di mekkah, dekat Ka’bah.Ia terkenal sebagai tokoh ilmu tafsir, nahwudan paramasastra. Dalam karangannya ia dengan terang-terangan menonjolkan paham mu’tazilah. Misalnya penafsiran ayat al Quran berdasar ajaran mu’tazilah terutama lima prinsip yang akan dijelaskan pada pasal berikutnya.




2.      Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah
1)        At-Tauhid (Keesaan allah)
Ar-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya
a)Menafikan sifat-sifat allah.
Dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.
b)Al-Qur’an adalah makhluk.
Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain allah itu adalah makhluk.
c)Allah tidak dapat dilihat dengan mata.
Karena allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita harus meyakininya dengan keyakinan yang pasti.
d)Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
2)        Al-‘Adl (keadilan tuhan)
Prinsip ini mengajarkan bahwa, allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam kedaan fitrah (Suci).Hanya dengan kemampuan yang diberikan tuhanlah, manusia dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan namaAl-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.
3)        Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)
Dalam hal ini allah menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena allah tidak akan ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at atau pertolonagn dihari kiamat.Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.
4)        Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
Pendapat ini dikemukakan oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada diantara keduanya. Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada allah dan berpegang teguh pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya sebagai orang fasiq.
5)        Amar Ma’ruf dan Nahi munkar.
Prinsip ini menitik beratkan kepada permasalahan hukum fiqh, bahwa amar makruf dan nahi munkar harus ditegakkan dan wajib dilaksanakan.Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini, bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.

Perlu diketahui kaum Mu’tazilah merupakan golongan yang pertama kali menggunakan akal dengan sebebas-bebasnya dalam membahas berbagai hal termasuk soal-soal agama.Karena keberanian dan keyakinan dalam memegang hasil pemikiran akal , maka mereka hanya mau menerima dalil-dalil naqli yang sesuai dengan akal pikiran.
Pandangan kaum mu’tazilah yang menitik beratkan penggunaan rasio membuat sebagian umat islam bahwa mereka meragukan bahkan tidak percaya akan kedudukan wahyu. Buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi dalam perguruan-perguruan islam, kecuali abad ke20 ini dan itu pun hanya pada perguruan tinggi tertentu, seperti universitas al Ahzar Kairo Mesir. Terlepas dari pandangan orang terhadap salah atau benar ajaran mu’tazilah, jelas kehadiran kaum mu’tazilah banyak membela kemajuan umat islam.
Dalam sejarah, aliran mu’tazilah pernah mengalami masa kejayaannya, terutama pada masa Khalifah Al-Ma’mun, namun karena sering memaksakan kehendaknya dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, maka lambat laun mereka kurang mendapat simpati dari sebagian umat islam. Apalagi setelah peristiwa apakah al Qur’an itu qadim atau baru. Persoalan ini memecah kaum muslim menjadi dua golongan yaitu golongan yang memuja akal pikiran dan yang berpegang teguh pada nas al Qur’an dan Hadis, yang menganggap yang baru itu bid’ah atau kafir.
Masa berkuasanya al mutawwakil tahun 232 H, umat islam diserukan untuk mempercayai keqadiman al Qur’an. Sejak saat itu kaum mu’tazilah mengalami tekanan berat.Buku-buku mereka dibakar dan kekuatannya dicerai beraikan.Terutama pada waktu Mahmud Ghaznawi berkuasa dan memasuki kota Rai ( Iran ) tahun 393 H. berates-ratus buku tentang aliran mu’tazilah di  perpustakaan dibakarnya. Mu’tazilah berangsur-angsur melemah dan mengalami kemunduran total sesudah golongan al asy’ari yang didukung pemerintah mengalahkan mereka dalam berbagai bidang.
Setelah mu’tazilah tidak berjaya lagi, dunia piker islam di bawah kekuasaan golongan konservatif kurang lebih 1000 tahun lamanya sampai datang masa kebangunan baru di eropa. Setelah lamanya ajaran mu’tazilah tenggelam dalam dunia pikiran islam, maka zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ajaran mu’tazilah yang rasional muncul kembali dalam umat islam, terutama kaum terpelajar.