A.
Lafadz Menurut Ulama’
Syafi’iyah.
1. Mantuq dan
pembagiannya.
Mantuq secara bahasa adalah
“sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu
pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri.
Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa
nash dan zahir.
a. Nash
adalah lafadz yang bentuknya
telah dapat menunjukkan makna yangsecara tegas dan tidak mengandung kemungkinan
makna lain. Seperti firman Allah swt QS. al-Baqarah :196;
فَمَنْ
لَّمْ يَجِيْدُ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامِ فِي اٌلحَجِّ وَسَبْعَةٍ
إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌقلى
“maka wajib berpuasa 3 hari
dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah
kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[1]
b.
Zahir
adalah suatu perkara yang
menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi
disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt :
وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ
“Dan kekal wajah Tuhan engkau.”
Wajah dalam ayat diartikan
dengan Dzat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.[2]
Mantuq zahir sendiri dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu: dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan dalalat
al-iqtida’.
§
Dalalat al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan
ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya
karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau
peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat
Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ{رواه الترمذى}
“ Dari Jabir bin Abdillah,
dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan (mulai
mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping
menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui
dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang
menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[3]
§ Dalalat al-isyarat
adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan
pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari
hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَ
وَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِيَّ وَلِوَاِلدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيْرُ {لقمان/14:31}
“ Dan kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun...” (QS.
Luqman :14)[4]
§ Dalalat al-iqtida’
adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada
redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya
penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah
menjelaskan:
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ{رواه ابن ماجه}
“ Dari Abu Dzar al-Ghiffari
berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku
tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat
Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan
dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat
kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi
: diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau
karena keterpaksaan.[5]
2.
Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum
mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a.
Mafhum Muwafaqah
adalah suatu petunjuk kalimat
yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada
masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah
yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum
muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[6]
§
Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih
utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat
23:
فَلاَ
تَقُلْ لَهُمَ...
“ Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji
kepada dua orang ibu bapakmu.”
sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh(
dilarang ) apalagi memukulnya.
§
Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan
sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيْرًا
“ sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut
mereka”.
Membakar atau setiap cara yang
menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim,
yang berarti dilarang (haram).
b. Mafhum mukhalafah
adalah pengertian yang
dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi
(meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT :
يَأَيُّهَا
الَّدِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَواةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اٌللّهِ وَذَرُوْا اٌلْبَيْعَج ذلِكُمْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلُمُوْنَ
“apabila kamu dipanggil untuk
mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan
tinggalkan jual beli.” (QS. Al-jum’ah:9).
Dapat dipahami dari ayat ini,
bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah
mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi
:
·
Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat)
adalah petunjuk yang dibatasi
oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat
tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي
السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada
kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan,
bukan yang digembalakan.[7]
·
Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu
karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
·
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
adalah lafal yang menunjukkan
hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada
kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’.
Seperti dalam firman Allah SWT:
اِذَا
قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ
الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak
nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”(QS. Al-Maidah:6).
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada
siku.
·
Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
adalah menggantungkan hukum kepada isim
alam atau isim fiil.
Seperti firman Allah SWT.:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu.”
·
Mafhum hasr adalah pembatasan.
Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan
hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
·
Mafhum syarat
adalah petunjuk lafadz yang
memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku
hukum yang sebaliknya.
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا
عَلَيْهِنَّ...(الطلاق:2)
...Dan jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya. (QS.
At-Thalaq:6)
B.
Lafadz Menurut Ulama’ Hanafiyah.
1. Ibarah
Yaitu makna yang dapat dipahami dari apa
yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zahir.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا
إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖوَسَيَصْلَوْنَسَعِيرًا
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
2.
Isyarah
Ialah suatu pengertian yang ditangkap dari
suatu lafaz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat)
dan bukan dari ungkapan itu sendiri.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
مِنَ الْفَجْرِ
Artinya :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar”.
3 3.
Nash (Dilalah al-Dilalah)
Adalah penunjukkan oleh lafaz yang
tersurat terhadap apa yang tersirat dibalik lafaz itu. Hukum yang terdapat
dalam suatu lafaz yang tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik
lafaz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan.
Dilalah al-Dilalah itu terbagi dua :
·
Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang
tidak disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian
yang ada dalam nash.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
Artinya :
“Janganlah kamu ucapkan kepada dua orang ibu
bapakmu ucapan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”.
·
Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang
tidak disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam
nashnya.
Contoh :
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 10
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.
4. Al-Iqtidha
Yaitu penunjukkan (dilalah) lafaz terhadap
sesuatu, dimana pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya
sesuatu tersebut.
Contoh :
Firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا ۖ
Artinya :
“tanyailah kampung tempat kita berada, dan
kafilah kita bertemu dengannya".
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut
terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang
bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar
ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan ialah
“penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung” yang
dapat ditanya dan memberi jawaban.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Tim penyusun Mkd, studi al-qur’an,
(Surabaya : IAIN SA Press, 2011) hal 332
[2]Syafi’i
karim, fiqh ushul fiqh (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hal 178
[3]Tim penyusun, studi al-qur’an. Hal. 335
[4]Ibid, hal. 336
[5]Ibid, hal 338-339
[6]Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal.
178-179
[7]Rahmat syafe’i, ilmu ushul fiqh, hal
220