Thursday, 30 May 2013

UNGKAPAN LAFADZ MENURUT ULAMA’‎ SYAFI’IYAH DAN HANAFIAH


A.    Lafadz Menurut Ulama’ Syafi’iyah.
1.      Mantuq dan pembagiannya.
Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
a.    Nash
adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yangsecara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt QS. al-Baqarah :196;
فَمَنْ لَّمْ يَجِيْدُ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامِ فِي اٌلحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌقلى
“maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[1]
b.   Zahir
adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
“Dan kekal wajah Tuhan engkau.”
Wajah dalam ayat diartikan dengan Dzat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.[2]
Mantuq zahir sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan dalalat al-iqtida’.
§  Dalalat al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ{رواه الترمذى}
“ Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[3]
§  Dalalat al-isyarat adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَ وَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِيَّ وَلِوَاِلدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ {لقمان/14:31}
“ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...” (QS. Luqman :14)[4]
§  Dalalat al-iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ{رواه ابن ماجه}
“ Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[5]
2.      Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).  Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a.       Mafhum Muwafaqah
adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[6]
§  Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَ...
“ Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh( dilarang ) apalagi memukulnya.
§  Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“ sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berarti dilarang (haram).
b.      Mafhum mukhalafah
adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT :
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَواةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اٌللّهِ وَذَرُوْا اٌلْبَيْعَج ذلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلُمُوْنَ
 “apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.” (QS. Al-jum’ah:9).
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
·         Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat)
adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[7]
·         Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
·         Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’.
Seperti dalam firman Allah SWT:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”(QS. Al-Maidah:6).
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
·         Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil.
Seperti firman Allah SWT.:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
·         Mafhum hasr adalah pembatasan.
Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
·         Mafhum syarat
adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya.
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...(الطلاق:2)
...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya. (QS. At-Thalaq:6)
B.     Lafadz Menurut Ulama’ Hanafiyah.
                         1.   Ibarah
Yaitu makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zahir.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖوَسَيَصْلَوْنَسَعِيرًا
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
2.    Isyarah
Ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafaz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya :
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar
3           3.   Nash (Dilalah al-Dilalah)
Adalah penunjukkan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat dibalik lafaz itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafaz yang tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafaz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan.
Dilalah al-Dilalah itu terbagi dua :
·        Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
Artinya :
Janganlah kamu ucapkan kepada dua orang ibu bapakmu ucapan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”.
·        Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nashnya.
Contoh :
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.
            4.   Al-Iqtidha
Yaitu penunjukkan (dilalah) lafaz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.
Contoh :
Firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا ۖ
Artinya :
“tanyailah kampung tempat kita berada, dan kafilah kita bertemu dengannya".
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan ialah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban.




DAFTAR PUSTAKA

 



[1]Tim penyusun Mkd, studi al-qur’an, (Surabaya : IAIN SA Press, 2011) hal 332
[2]Syafi’i karim, fiqh ushul fiqh (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001)  hal 178

[3]Tim penyusun, studi al-qur’an. Hal. 335
[4]Ibid, hal. 336
[5]Ibid, hal 338-339
[6]Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal. 178-179
[7]Rahmat syafe’i, ilmu ushul fiqh, hal 220