A. Mu’tazilah
1.
Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Salah satu aliran dalam teologi islam yang cukup terkenal adalah
Mu’tazilah. Aliran mu’tazilah mengetengahkan persoalan-persoalan teologi yang
mendalam dan bersifat filosofis. Kaum Mu’tazilah disebut juga “kaum rasionalis
islam”, karena dalam membahas masalah-masalah agama mereka banyak menggunakan
akal. Oleh sebab itu tidak heran jika orang ingin mempelajari filsafat islam
yang sesungguhnya perlu menggali buku-buku yng dikarang kaum Mu’tazilah.
Aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa
muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam
Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah
awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan
Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.Sehingga
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.kemudian
para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa
khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai
oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Kota Basrah ketika itu menjadi kota pusat ilmu pengetahuan dan
kebudayaan islam. Selain itu aneka kebudayaan asing dan bermacam-macam agama
bertemu di kota itu. Makin meluasnya dan makin banyaknya orang yang memeluk
agama islam menyebabkan adanya orang yang ingin menghancurkan islam, terutama
dari segi aqidah
Orang-orang
yang ingin menghancurkan islam tidak hanya mereka yang beragama non islam, akan
tetapi juga dating dari orang-orang islam sendiri karena masalah politik.
mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu pesat
sehingga berupaya untuk menghancurkannya.
Dalam
sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131)
dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil
termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan
al-Basri di masjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah
(kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa
besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir,
sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba
Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al
manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan
al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru.
atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita).
dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
1) Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam
arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
2) Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada
yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini
yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
2. Arti dan Asal Usul Kata Mu’tazilah
Di
kalangan penulis masih terjadi perdebatan diseputar asal-usul sebutan
Mu’tazilah.Perdebatan mereka terutama terjadi pada kisaran apakah sebutan itu
berasal dari kalangan out sider atau bahkan lawan Mu’tazilah, atau justru dari
kalangan internal orang-orang Mu’tazilah sendiri.Dalam hal ada beberapa teori yang
dapat dismpaikan tentang hal ini. Hanya saja dapat dipastikan bahwa
sesungguhnya Mu’tazilah sendiri ternyata telah memproklamirkan dirinya sebagai
Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl (Penegak tauhid dan keadian Tuhan), dan mereka lebih
suka dipanggil dengan sebutan itu.
1.
Nama Mu’tazilah yang diberikan
kepeada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti mengasingkan
(memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu’tazilah, yang diberikan oleh
orang yang tidak sefaham dengan mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan
al-Basri, setelah ia melihat Wasil memisahkan diri. Hasan al-Basri diriwayatkan
memberi komentar sebagai berikut: I’tazala ‘anna (dia mengasingkan atau
memisahkan diri dari kita). Orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah,
dan sejak peristiwa itu sebutan Mu’tazilah mulai dipergunakan. Mengasingkan
diri di sini bisa bermakna ganda: memisahkan diri dari forum Hasan al-Basri,
atau mengasingkan diri dari pandangan umum saat itu yakni Khaawarij yang
memandang pendosa besar sebagai kafir dan Murji’ah yang tetap mengapresiasinya
sebagai orang mukmin.
2. Sebutan Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan al-Basri,
melainkan dari kata I’tazala yang dipakaikan terhadap kelompok netralis
(politik) dalam mensikapi pertikaian politik dikalangan umat Islam. Istilah Mu’tazilah
dalam konteks ini dikatakan sudah muncul jauh sebelum kemunculan Wasil dengan
doktrin manzilah bain al-manzilatain-nya. Yaitu golongan yang tidak mau ikut
terlibat dalam pertikaian politik, sebaliknya mereka mengasingkan diri dan
memusatkan perhatiannya pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Diantara orang-orang
demikian ini adalah cucu nabi Muhamad Abu husain, Abdulah dn Hasan bin Muhamad
bin al-Hanafi. Wasil disebut mu’tazilah menurut teori ini karena selain dia
mempunyai hubungan yang erat dengan Abu husain juga karena punya sikap hidup yang
identik dengan kelompok tersebut yakni memusatkan aktivitasnya pada ibadah dan
pengembangan ilmu tanpa terlibat dalam pertikaian politik pada masa itu.
3. Kata mu’tazilah mengandung arti tergelincir, dan karena
tergelincirnya aliran Mu’tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama
Mu’tazilah yakni golongan yang tergelincir dari kebenaran. Harun Nasution
menolak pandangan ini, karena menurutnya pemaknaan seperti ini tidak dapat
dibenarkan dari tinjauan kebahasaan yang menyamakan kata ‘azala dengan zalla.
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk arti tergelincir, kata Harun
Nasution, memang dekat bunyinya dengan ‘azala (kata asal dari I’tazala) yakni
zalla. Tetapi bagaimanapun nama Mu’tazilah lanjut Harun Nasution tidak bisa
dikatakan berasal dari kata zalla.
4. Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri
dengan Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari
ucapan-ucapan sejumlah pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka
sendirilah yang menetapkan nama itu. Menurut al-Qadi Abdul Jabbar, seorang
pemuka Mu’tazilahh yang buku-bukunya banyak ditemukan kembali pada abad ke-20 M
ini, di dalam teologi memang terdapat kata I’tazala yang mengandung arti
mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata
Mu’tazilah mengandung arti pujian. Dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah
lain, Ibnu Murtada bahwa sebutan Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang
lain, tetapi orang-orang mu’tazilah sendirilah yang menciptakan sebutan itu.
Memperhatikan
sejumlah pandangan di atas, teori yang pertama adalah yang paling dipegangi
oleh banyak orang.Pendapat ini menyebutkan bahwa kata mu’tazilah berasal dari ungkapan
Hasan al-Basri I’tazala ‘anna (ia Wasil memisahkan diri dari kita), setelah
melihat Wasil memisahkan diri.Ini berarti sebutan mu’tazilah memang bukan
berasal dari orang mu’tazilah sendiri, melainkan dari kalangan out sider, yang
bahkan kurang sefaham dengan mereka.Menurut fazlur rahman.Mu’tazilah di sini
berarti orang yang mengasingkan diri, baik dalam arti memisahkan dari forum setempat)
hasan al-Basri maupun dari panangan umum yang sudah ada Khawarij yang
menjustifikasi kafir pendosa besar, Murji’ah yang tetap memandangnya mukmin
pelaku maksiat sehingga pandagan seperti itu bersifat unik. Meski nama
Mu’tazilah itu diberikan oleh orang luar, namun pemaknaan seperti itu sama
sekali tidak mengandung ejekan, sehingga pemaknaan kata mu’tazilah sebagai
orang-orang tergelincir sudah pasti salah dan harus ditolak. Hanya saja di
dalam perkembangannya lebih lanjut, lebih-lebih di lingkungan masyarkat yang
penduduknya mayoritas suni, tampaknya penmbelokan makna kata mu’tazilah ke arah
yang negatif (ejekan) tidak mungkin dihindari.Kenyataan ini mendorong para
tokoh Mu’tazilahgenerasi belakang memberikan interpretasi kata Mu’tazilah itu
dengan pengertianyang berkonotasi positif.Al-Qadi Abdul Jabbar misalnya,
sebagai dijelaskan di atas, mengatakan arti kata Mu’tazilah adalah golongan
yang mengasingkan diri dari yang salah, sehingga mengandung pemakana pujian,
bukan suatu ejekan.Dalam kaitan ini mereka mengemukakan dalil Qs. al-Muzammil
ayat 10.
1.
Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
a.
Wasil bin Atha ( 80 – 131 H )
Wasil bin Atha Al Ghazal terkenal sebagai pendiri
aliran Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinnya yang pertama. Ia pula yang
terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip pemikiran Mu’tazilah yang
rasional.Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.
Abu Huzail al-Allaf ( 135 – 235 H
)
Abu Huzail
al-‘Allaf seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah
pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan.Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek
pemikiran dan hukum Islam.
Aliran
teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah).Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.Dukungan politik dari
pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini.Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail
al-Allaf adalah seorang filosof Islam.Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan
itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak
filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia
menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia
dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya
berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran
as-salãh wa al-aslah.
c.
Al-Jubba’I ( wafat 303 H )
Al-Jubba’I
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya
(wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran
yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
d.
An-Nazzam (185 – 221 H )
Pendapatnya
yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia
tidak berkuasa untuk berlaku zalim.Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf.Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim.Ia
berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan
tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran
terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar.Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
e.
Al- jahiz
Dalam
tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
f.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin
Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan
pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan
bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum
alam.Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang
dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan.
g.
Bisyr bin al-Mu’tamir ( wafat 226
H )
Ajarannya
yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil
baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak
karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia
telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
h.
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar
dianggap sebagai pemimpin mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya
yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.Ia juga menolak pendapat bahwa di
akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
i.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin
Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah
ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada
gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang
memasuki surga dan neraka.
j.
Abu Husein Al Khayyat ( wafat 300
H )
Abu Husein
Al Khayyat termasuk Mu’tazilah Bagdad.Bukunya yang berjudul “al-intisar” berisi
pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu Ar-Rawandi.Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu’tazilah.
k.
Al-Qadhi Abdul Jabbar ( wafat 1024
)
Ia diangkat
menjadi kepala hakim oleh Ibnu Abad. Karyanya yang besar adalah ulasan tentang
pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Karangan tersebut demikian luas dan amat
mendalam yang ia namakan Al Mughni. Kitab ini terdiri dari 15.Al-Qadhi Abdul
Jabbar termasuk tokoh pada masa kemunduran mu’tazilah, namun ia mampu
berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.
l.
Az-Zamahsyari ( 467- 538 H )
Nama
lengkapnya adalah Jarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar. Ia dilahirkan di desa
Zamakhsyar, Khawarazm Iran. Sebutan jarullah artinya tetangga Allah, karena
beliau lama tinggal di mekkah, dekat Ka’bah.Ia terkenal sebagai tokoh ilmu
tafsir, nahwudan paramasastra. Dalam karangannya ia dengan terang-terangan
menonjolkan paham mu’tazilah. Misalnya penafsiran ayat al Quran berdasar ajaran
mu’tazilah terutama lima prinsip yang akan dijelaskan pada pasal berikutnya.
2. Ajaran-ajaran Pokok
Aliran Mu’tazilah
1)
At-Tauhid (Keesaan allah)
Ar-Tauhid adalah
prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan
demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat
islam. Akan tetapi mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat
beberapa pendapat diantaranya
a)Menafikan
sifat-sifat allah.
Dalam hal ini
mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang
sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam
artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah
makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan
sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan
sifatnya.
b)Al-Qur’an adalah
makhluk.
Dikatakan makhluk
karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala
sesuatu selain allah itu adalah makhluk.
c)Allah tidak dapat
dilihat dengan mata.
Karena allah adalah
dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita
harus meyakininya dengan keyakinan yang pasti.
d)Berbeda dengan
makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
2)
Al-‘Adl (keadilan tuhan)
Prinsip ini
mengajarkan bahwa, allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia
sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia
diciptakan dalam kedaan fitrah (Suci).Hanya dengan kemampuan yang diberikan
tuhanlah, manusia dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan
kejahatan, berarti manusia itu sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari
prinsip inilah, timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan namaAl-Shalah
Wa Al-Ashlah, artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan
sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.
3)
Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik
dan ancaman)
Dalam hal ini allah
menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan
menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan
karena allah tidak akan ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah
menolak adanya syafa’at atau pertolonagn dihari kiamat.Sebab syafaat
bertentangan dengan janji tuhan.
4)
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain
(Posisi diantara dua posisi)
Pendapat ini dikemukakan
oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran
mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan
tidak sempat bertaubat kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula
kafr. Ia berada diantara keduanya. Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan
dosa besar dan dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada allah dan
berpegang teguh pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’
menyebutnya sebagai orang fasiq.
5)
Amar Ma’ruf dan Nahi munkar.
Prinsip ini menitik
beratkan kepada permasalahan hukum fiqh, bahwa amar makruf dan nahi munkar
harus ditegakkan dan wajib dilaksanakan.Kaum mu’tazilah sangat gigih
melaksanakan prinsip ini, bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf
dan nahi munkar.
Perlu diketahui kaum Mu’tazilah
merupakan golongan yang pertama kali menggunakan akal dengan sebebas-bebasnya
dalam membahas berbagai hal termasuk soal-soal agama.Karena keberanian dan
keyakinan dalam memegang hasil pemikiran akal , maka mereka hanya mau menerima
dalil-dalil naqli yang sesuai dengan akal pikiran.
Pandangan kaum mu’tazilah yang
menitik beratkan penggunaan rasio membuat sebagian umat islam bahwa mereka
meragukan bahkan tidak percaya akan kedudukan wahyu. Buku-buku mereka tidak
dibaca dan dipelajari lagi dalam perguruan-perguruan islam, kecuali abad ke20
ini dan itu pun hanya pada perguruan tinggi tertentu, seperti universitas al
Ahzar Kairo Mesir. Terlepas dari pandangan orang terhadap salah atau benar
ajaran mu’tazilah, jelas kehadiran kaum mu’tazilah banyak membela kemajuan umat
islam.
Dalam sejarah, aliran mu’tazilah
pernah mengalami masa kejayaannya, terutama pada masa Khalifah Al-Ma’mun, namun
karena sering memaksakan kehendaknya dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, maka
lambat laun mereka kurang mendapat simpati dari sebagian umat islam. Apalagi
setelah peristiwa apakah al Qur’an itu qadim atau baru. Persoalan ini memecah
kaum muslim menjadi dua golongan yaitu golongan yang memuja akal pikiran dan
yang berpegang teguh pada nas al Qur’an dan Hadis, yang menganggap yang baru
itu bid’ah atau kafir.
Masa berkuasanya al mutawwakil
tahun 232 H, umat islam diserukan untuk mempercayai keqadiman al Qur’an. Sejak
saat itu kaum mu’tazilah mengalami tekanan berat.Buku-buku mereka dibakar dan
kekuatannya dicerai beraikan.Terutama pada waktu Mahmud Ghaznawi berkuasa dan
memasuki kota Rai ( Iran ) tahun 393 H. berates-ratus buku tentang aliran
mu’tazilah di perpustakaan dibakarnya.
Mu’tazilah berangsur-angsur melemah dan mengalami kemunduran total sesudah
golongan al asy’ari yang didukung pemerintah mengalahkan mereka dalam berbagai
bidang.
Setelah mu’tazilah tidak berjaya
lagi, dunia piker islam di bawah kekuasaan golongan konservatif kurang lebih
1000 tahun lamanya sampai datang masa kebangunan baru di eropa. Setelah lamanya
ajaran mu’tazilah tenggelam dalam dunia pikiran islam, maka zaman modern dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ajaran mu’tazilah yang
rasional muncul kembali dalam umat islam, terutama kaum terpelajar.