Lahirnya
kebijakan fiskal di dalam dunia Islam dipenngaruhi oleh banyak faktor salah
satunya karena fiskal merupakan bagian dari instrumen ekonomi publik. Untuk itu
faktor-faktor seperti sosial, budaya dan politik inklud di dalamnya.
Tantangan Rasulullah sangat besar dimana beliau dihadapkan pada kehidupan yang
tidak menentu baik dari kelompok internal maupun kelompok eksternal. Kelompok
internal yang harus diselesaikan oleh Rasulullah yaitu bagaimana menyatukan antara
kaum Anshor dan kaum Muhajirin pasca hijrah dari mekah ke Madinaha (Yastrib).
Sementara tantangan dari kelompok eksternal yaitu bagaimana Rasul mampu mengimbangi rongrongan dan
serbuan dari kaum kafir Kuraiys. Akan tetapi Rasulullah mampu mengatasi berkat
pertolongan Allah SWT.
Di sisi lain
Rasulullah harus melakukan pembenahan di sektor ekonomi. Dalam kondisi yang
tidak menentu tersebut dimana kondisi alam yang tidak mendukung ditambah
kondisi ekonomi masyarakat yang masih lemah maka salah sumber daya alam yang
bisa diandalkan adalah pertanian. Sektor pertanian yang menjadi satu-satunya
harapan tersebut terkelola dengan cara-cara tradisional sehingga terkesan apa
adanya.
Banyaknya
problematika yang dihadapi oleh beliau tentunya diperlukan kejeniusan,
ketegaran dan kesabaran seorang pemimpin sehingga kebijakan yang dibuatnya
bersifat menguntungkan semua pihak. Di dalam sejarah Islam keuangan publik
berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat Muslim dan pembentukan
negara Islam oleh Rasulullah Saw pasca hijrah, kemudian diteruskan oleh
Khulafaul Rasyidun.
A.
Masa Pemerintahan Rasulullah s.a.w
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa
tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah Saw sangat berat. Sebagai seorang
perintis sebuah keberadaan negara Islam tentunya dimulai dari serba nol. Mulai
dari tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial maupun budaya semuanya ditata
dari awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan jiwa seorang pejuang dan jiwa
seorang yang ikhlas dalam menata sebuah rumah tangga pemerintahan, menyatukan
kelompok-kelpompok masyarakat yang sebelumnya terkenal dengan perpecahan yang
mana masing-masing kelompok menonjolkan karakter dan budayanya. Di sisi lain
Rasulullah s.a.w. harus mengendalikan depresi yang dialami oleh
kaum muslimin melaui strategi dakwahnya agar ummat muslim mempunyai keteguhan
hati (beriman) dalam berjuang, mentata perekonomian yang carut marut dengan
menyuruh kaum muslimin bekerja tanpa pamrih dan lain sebagainya.
Upaya Rasulullah s.a.w dalam mencegah
terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin maka beliau mempersatukan kaum
Anhsor (sebagai tuan rumah) dengan kaum Muhajirin (sebagai kelompok pendatang).
Rasulullah menganjurkan agar kaum Anshor yang notabene memiliki kekayaan dapat
membantu saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Maka hasil dari upaya tersebut
terjadilah akulturasi budaya antara kaum Anshor dengan kaum Muhajirin sehingga
kekuatan kaum Muslim bertambah.
Untuk mengantisipasi kondisi keamanan yang
selalu mengancam maka Rasulullah saw. mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim oleh beliau sendiri
dengan sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari kepemimpinan beliau maka
lahirlah berbagai macam kreativitas kebijakan yang dapat menguntungkan bagi
kaum muslim. Kebijakan utama beliau adalah membangun masjid sebagai pusat
aktivitas kaum muslimin. Istilah yang populernya penulis sebut dengan
istilah Madinah Muslims Center (MMC). Menurut Sabzwari[1], terdapat tujuh kebijakan
yang dihasilkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara, diantaranya ialah
:
1.
Membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para
pengikutnya.
2.
Merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah.
3.
Meciptakan kedamaian dalam negara.
4.
Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
5.
Membuat konstitusi negara.
6.
Menyusun sistem pertahanan Madinah.
7.
Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.
Namun yang paling utama dibangun oleh Rasulullah s.a.w. adalah masjid
karena dengan adanya masjid menandakan perjungan beliau tidak hanya berada pada
tataran duniawi saja akan tetapi berdimensi akhirat. Jika ini ditafsirkan
dengan akal (tafsir bil ra’yi) maka sesungguhnya terdapat sesuatu ajaran
yang cukup dalam dimana Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar ideologi perjuangan
yang selalu bergandengan antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat.
Sebagai mediasinya adalah dibangunlah masjid.
Perjuangan dalam tataran
ideologi sudah dibenahi, maka rasulullah s.a.w. melangkah pada tahap berikutnya
yaitu dengan mereformasi bidang ekonomi dengan berbagai macam kebijakan beliau.
Seperti diulas panjang di atas bahwa kondisi ekonomi dalam keadaan nol. Kas
negara kosong, kondisi gegrafis tidak menguntungkan dan aktivitas ekonomi
berlajan secara tradisional. Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini
maka Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya yang terkenal dengan Kebijakan
Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu dengan meletakkan
dasar-dasar ekonomi.
B.
Kebijakan
Fiskal Pada Masa Rasulullah
Diantara kebijakan tersebut adalah:
a)
Memfungsikan Baitul Maal[2]
Baitul maal sengaja
dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat pengumpulan dana atau pusat
pengumpulan kekayaan negara Islam yang digunakan untuk pengeluaran tertentu.
Karena pada awal pemerintahan Islam sumber utama pendapatannya adalah Khums,
zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan dijelaskan secara
mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara Islam).
Pendirian Baitul Maal ini
masih banyak sumber yang berbeda pendapat, ada yang mengatakan didirikan oleh
Rasulullah s.a.w. dan ada sumber yang mengatakan bahwa secara resmi baitul maal
didirikan oleh Sayidina Umar ibn Khaththab r.a. Di dalam buku Kebijakan Ekonomi
Umar Bin Khaththab dikatakan bahwa salah satu keberhasilan beliau adalah mampu
mendirikan Baitul Maal[3]. Namun disisi lain secara implisit fungsi akan
Baitul Maal sudah dibentuk oleh Rasulullah s.a.w terbukti dengan membangun
masjid bersama kekayaan fungsi di dalamnya (Muslims Centre). Akan tetapi
secara eksplisit pendirian Baitul Maal dilakukan oleh Khalifah Umar ibn
Khaththab r.a. Kesimpulannya, tidak ada perbedaan yang mendasar dari semua
pendapat, hanya saja dikompromikan kapan fungsi secara implisit dari Baiyul
Maal dan kapan pendirian secara eksplisit.
Untuk itu
fungsi dari Baitul Maal disini adalah sebagai mediasi kebiajakan fiskal
Rasulullah s.a.w. dari pendapat negara Islam hingga penyalurannya. Tidak sampai
lama harta yang mengendap di dalam Baitul Maal, ketika mendapatkannya maka
langsung disalurkan kepada yang berhak menerimanya yaitu kepada Rasul dan
kerabatnya, prajurt, petugas Baitul Maal dan fakir miskin.
b)
Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Salah satu kebijakan
Rasulullah s.a.w dalam pengaturan perekonomian yaitu peningkatan pendaptan dan kesempatan
kerja dengan mempekerjakan kaum Muhajirin dan Anshor[4]. Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme
distrubusi pendapatan dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat
terhadap output yang akan diproduksi. Disi lain Rasullah membagikan
tanah sebagai modal kerja. Kebijakan ini dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
karena kaum Muhajirin dan Anshor keahliannnya bertani dan hanya pertanian
satu-satunya pekerjaan yang menghasilkan. Kebijakan beliau sesuai dengan teori
basis, yaitu bahwa jika suatu negara atau daerah ingin ekonominya maju maka
jangan melupakan potensi basis yang ada di negara atau daerah tersebut.
c)
Kebijakan Pajak.
Kebijakan pajak ini adalah
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah muslim berdasarkan atas jenis dan
jumlahnya (pajak proposional). Misalnya jika terkait dengan pajak tanah, maka
tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bisa didasarkan
atas zonenya.
d)
Kebijakan Fiskal Berimbang
Untuk kasus ini pada masa
pemerintahan Rasulullah s.a.w dengan metode hanya mengalami sekali defisit
neraca Anggaran Belanja yaitu setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun
kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain[5]
e)
Kebijakan Fiskal Khusus
Kebijakan ini dikenakan
dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim
kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan memberikan pijaman kepada orang-orang
tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan insentif.
C.
Masa Pemerintahan Khulafaul Rasyidin
Pada periode ini terbagi menjadi empat dekade sesuai
dengan kekhalifhan pasca meninggalnya Rasulullah
saw yaitu :
a.
Masa Kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq r.a
Abu Bakar Ash-Shiddiq
mendapat kepercayaan pertama dari kalangan muslim untuk menggantikan posisi
Rasulullah saw setelah beliau wafat. Konon ada beberapa kreteria yang melekat
pada diri Abu Bakar sehingga kaum muslimin mempercayai puncak kepemimpinan
Islam diantaranya adalah terdapat ketaatan dan keimanan beliau yang luar biasa,
faktor kesenioran diantara yang lain sehingga wibawa menjadi penentu. Juga
faktor kesetiaan dalam mengikuti dan mendapingi Rasulullah dalam berdakwah
menyadarkan kaum muslim bahwa beliau memang pantas menjadi pengganti raululllah
saw. Pemilihan tersebut berlangsung secara alami tanpa ada interpensi dari
Rasulullah saw.
Abu Bakar terkenal dengan
keakuratan dan ketelitiannya dalam mengelola dan menghitung zakat. Tebukti
dengan ketelitian dan kehatia-hatiannya beliau mengangkat seorang amil zakat
yaitu Anas.
Pada awal kepemimpinannya
beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan beliau mengatakan kepada
ummatnya bahwa perdagangan beliau tidak mencukupi untuk memenuhi kebtuhan
keluarganya. Tentunya dengan adanya beban sebagai kepala negara akan mengurangi
aktivitas dagangnya karena sibuk mengurus negara.
Kesulitan beliau diketahui
oleh khalayak ramai terutama oleh Siti Aisyah dan dengan kesepakatan bersama
selama kepemimpinan beliau baitul maal mengeluarkan kebutuhan khalifah Abu
Bakar yaitu sebesar dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya
dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan
beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan
2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan yang lain mencapai 6.000 dirham
pertahun.
Namun yang menarik dari
kepemimpinan beliau adalah ketika beliau mendekati wafatnya, yaitu kebijakan
internal dengan mengembalikan kekayaan kepada negara karena melihat kondisi
negara yang belum pulih dari krisis ekonomi. Beliau lebih mementingkan kondisi
rakyatnya dari pada kepentingan inividu dan keluarganya. Gaji yang selama ini
diambil dari baitul maal yang ketika dikalkulasi berjumlah 8.000 dirham, mengganti
dengan menjual sebagain besar tanah yang dimikinya dan seluruh penjualannya
diberikan untuk pendanaan negara. Sikap tegas seperti ini belum kita temukan di
negara kita tercinta ini. Bahkan yang terjadi sebaliknya, yaitu dipenghujung
jabatannya justru mengeluarkan kebijakan yang dapat menguntungakan dirinya.
Enggan mempublikasi kekayaan pribadi ketika KPK memeriksanya.
Berkaitan
dengan kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu melanjutkan
kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw. Hanya ada
beberapa kebijakan fiskal beliau yang cukup dominan dibandingkan yang lain
yaitu pemberlakuan kembali kewajiaban zakat setelah banyak yang membangkangnya.
Kebijakan berikutnya adalah selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat
sehingga tidak ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
b.
Masa Kekhalifahan ‘Umar Ibn Khaththab ra
Strategi yang dipakai oleh
Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan
kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan. Khalifah adalah penanggung
jawab rakyat, sedangkan rakyat adalah sumber pemasukan kekayaan negara yang
manfaatnya kembali kepada mereka dalam bentuk jasa dan fasilitas umum yang
diberikan negara.
Apa yang
telah diterapkan oleh Umar Ibn Khaththab pada masa dahulu adalah serupa dengan
apa yang diterapkan oleh pemerintahan Amerika sekarang, dimana pemimpin negara
langsung memeriksa kantor strategi pertahanan negara. Juga kepala negara
mengikuti proses restrukturisasi stabilitas umum dan program ekonomi negara. Ia
diberi kesempatan untuk memberi perhatian dan pengawasan atas sirkulasi
eokonomi[6]
Dalam sambutannya ketika
diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonominya yang
berkaitan dengan fiskal yang akan dijalankannya. Dari pidato yang beliau
sampaikan di hadapan khalayak ramai sebagai dasar-dasar beliau dalam
menjalankan kepemimpinannya yang terkenal dengan sebutan 3 dasar sebagai
berikut[7]:
a.
Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan
tidak mengambil hasil dari kharaj atau harta fa’i yang diberikan
Allah kecuali dengan mekanisme yang benar.
b.
Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada
pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya; dan negara menambahkan subsidi serta
menutup hutang.
c.
Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang
kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan
harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun.
Kalau dia membutuhkan maka dia memakai dengan jalan yang benar.
c.
Masa Kekhalifahan ‘Utsman Ibn ‘Affan ra
Enam tahun pertama
kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani, Kerman dan Sistan ditaklukkan. Untuk
menata pendapatan baru, kebijakan khalifah sebelumnya yaitu Umar diikuti. Tidak
lama setelah negara-negara ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan
dalam rangka mengembangkan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun,
pepohonan ditanam serta kemanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan
organisasi kepolisian tetap.
Pada masa Usman tidak ada
perubahan yang signifikan pada kondisi ekonomi secara keseluruhan. Kebanyakan
kebijakan ekonomi mengikuti khalifah sebelumnya yang kebanyakan pakar
mengatakan bahwa khalifah sebelumnya (Umar) adalah sang reformis dalam bidang
ekonomi.
d.
Masa Kekhalifahan ‘Ali Ibn Thalib r.a
‘Ali berkuasa selama lima
tahun. Sejak awal kepemimpinannya, beliau selalu mendapatkan rongrongan dari
kelompok umat Islam sendiri yaitu kaum khawarij serta peperangan berkepanjangan
dengan kelompok Mu’awiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang
independen di daerah Syiria dan Mesir.
Untuk itu awal-awal
kepemimpinan beliau adalah dengan sebuah kebijakan membersihkan kalangan
pejabat yang korup yang dilakukan sebelumnya. Maka tidak sedikit pejabat
sebelumnya yang dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu yang berhasil
dijebloskan ke dalam penjara adalah Gubernur Ray dengan tuduhan penggelapan
uang.
Mengenai kebijakan
fiskalnya, ‘Ali tetap mengacu pada khalifah sebelumnya. Bahkan kebijakan fiskal
yang diterapkan oleh Umar banyak diteruskan oleh ‘Ali, bukan Ustman.
D.
Komponen-komponen Kebijakan Fiskal dalam Islam
Untuk sementara, mari kita
ulas sedikit mengenai kebijakan fiskal di jaman Rasulullah dan
khulafaurrasyidin. Di dalam kebijakan fiskal di jaman Rasulullah s.a.w dan
khulafaurrasyidin penulis bagi menjadi dua yaitu kebijakan pemasukan yang
terbagi kenjadi dua yaitu pemasukan dari kaum muslim dan pemasukan dari
nonmuslim, kedua kebijakan pengeluaran kekayaan negara Islam. Terkesan asing
saat disebutkan pendapatan dari nonmuslim, akan tetapi pada zaman tersebut merupakan
konsekuensi logis dan berada pada taraf kewajaran. Seperti, kelompok kafir
harus membayar pajak kepada negara Islam sebagai bentuk perlindungan dan lain
sebagainya.
1.
Kebijakan Pemasukan dari Muslim
a. Zakat
Zakat adalah salah satu
dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu
pemerintahan Islam pada periode klasik. Sebelum diwajibkan zakat bersifat suka
rela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum. Peraturan mengenai
pengeluaran zakat muncul pada tahun ke sembilan hijriyah ketika dasar Islam
telah kokoh.
·
Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin,
perkakas, ornamen atau dalam bentuk lain
·
Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin,
perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya
·
Binatang ternak unta, sapi domba dan kambing
·
Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan
·
Hasil pertanian termasuk buah-buahan
·
Luqta, harta benda yang ditinggalkan
musuh
·
Barang temuan.
Zakat emas dan perak ditentukan bedasarkan beratnya,
binatang ternak ditentukan berdasarkan jumlahnya, dan barang dagangan, bahan
tambang, dan luqta ditentukan berdasarkan nilainya serta zakat hasil
pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
b. Ushr
Ushr adalah bea impor yang
dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu
tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
Tingkat bea orag-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal
ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Mekkah, pusat
perdagangan terbesar. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan
menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus
ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang
beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik
utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah
terjadi tukar menukar barang[9]
c. Wakaf
Wakaf adalah harta benda
yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan
pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
d. Amwal Fadhla
Amwal Fadhla berasal dari
harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari
barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
e. Nawaib
Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang
dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran
negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
f. Zakat Fitrah
Zakat fitrah ini diwajibkan bagi kaum muslimin dalam satu
tahun sekali sebagai pembersih harta yang mereka miliki. Tepatnya pada bulan
ramadhan dan zakat fitrah ini hingga sekarang semakin menunjukkan
perkembangannya karena bersifat wajib.
g. Khumus
Khumus adalah karun/temuan. Khumus sudah berlaku
pada periode sebelum Islam.
h. Kafarat
Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan
seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga
biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban
seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa
maka dikenai kafarat sebagai penggantinya.
2.
Kebijakan Pemasukan dari
nonmuslim
a. Jizyah
Jizyah
adalah pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab sebagai
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak
wajib militer.
Pada masa
Rasulullah s.a.w. besarnya jizyah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang
mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua,
penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari
kewajiban ini. Di antara ahli kitab yang harus membayar pajak sejauh yang
diketahui adalah orang-orang Najran yang beragama Kristen pada Tahun keenam
setelah Hijriyah. Orang-orang Ailah, Adhruh dan Adhriat membayarnya pada perang
Tabuk. Pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa
barang atau jasa sepeti yang disebutkan Baladhuri dalam kitabnya Fhutuh
al-Buldan, ketika menjelaskan pernyataan lengkap perjanjian Rasulullah s.a.w
dengan orang-orang Najran yang dengan jelas dikatakan: “......Setelah dinilai,
dua ribu pakaian/garmen masing-masing bernilai satu aukiyah, seribu garmen
dikirim pada bulan Rajab tiap tahun, seribu lagi pada bulan Safar tiap tahun.
Tiap garmen berniali satu aukiyah, jadi bila ada yang bernilai lebih
atau kurang dari satu aukiyah, kelebihan atau kekurangannya itu
substitusi garmen harus diperhitungkan[10]
b. Kharaj
Kharaj adalah pajak tanah
yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil
alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah
tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil
produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu
setengah dari hasil produksi yang diserahkan kepada negara. Rasulullah s.a.w
biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam maslah ini untuk
memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai
kelebihan perkiraan, dua pertiga bagian dibagikan dan mereka bebas memilih
yaitu menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga
diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang
peting.
Kharaj (tribute soil/pajak,
upeti atas tanah) dan jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan)
kedunya juga terdapat pada zaman kekaisaran Romawi dengan bentuk yang sama, dan
merupakan fakta bahwa pembayaran pajak umum diterapkan pada kekaisaran
Sasanides dan Persia. Kaum muslimin pada periode awal mengikuti pendahulunya
dan keduanya ditentukan sekedarnya sesuai prinsip keadilan. Penting untuk
diketahui bahwa nonmuslim hanya membayar tiga jenis pajak, sementara muslim
membayar lebih banyak lagi jenis pajak. Kharaj yang dibayar nonmuslim
sama halnya dengan kaum muslim membayar ‘Ushr dari hasil pertanian. Jizyah
dibayar sebagai pajak untuk perlindungan sebagai pengganti wajib militer bagi
nonmuslim.
c. ‘Ushr
‘Ushr adalah bea impor yang
dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya
berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orang-orang
yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di
Arab sebelum masa Islam, terutama di Mekkah, pusat perdagangan terbesar.
Menurut Hamidullah, Rasulullah s.a.w berinisiatif mempercepat peningkatan
perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapuskan semua
bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal
tersebut. Ia mengatakan “barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor
di wilayah muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar menukar barang”.......
3.
Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran
pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi
pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang
tergambar di dalam al-Qur’an QS. (9:60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk
hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak
menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan asnab. Delapan
asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada
yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap
orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci
dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara
umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja.
[1]
Lihat M.A Sabwari, “Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad s.a.w” dalam Adiwarman Karim,
“Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, 2002, Jakarta, halaman 20. pendapat yang
sama juga dapat dilihat pada Nazori Majid, “Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf,
Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian”, 2003, Yogyakarta, halaman 173-174.
[2] Lihat Karnaen A Perwataatmajda,
“Sejarah Pemikiran Eonomi Islam” Diktat Kuliah, Universitas Islam Negeri SYAHID
Jakarta, 2006, halaman 14. lihat juga pada Kadim As-Sadr “Kebijakan Fiskal Pada
Awal Pemerintahan Islam”, dalam Adiwarman Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam”, Op. Cit. Halaman 74. konon yang dijadikan Baitul Maal adalah masjid
sendiri. Karena As-Sadr mengatakan di halaman yang sama bahwa pusat pengumpulan
dan pembagian dana yang diperoleh adalah di masjid yang didirikan oleh nabi
sendiri setelah belau hijrah karena masjid dibuat bukan hanya tempat iabadah
akan tetapi masjid sebagai pusat kediatan atau Madinah Muslims Center
(MMC). Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang maka sangat mungkin itu dilakukan
oleh Nabi. Sekarang Baitul Maal Wattamwil menjamur di masjid-masjid dengan
sebuah sekretariat kecil namun fungsinya luar biasa dalam membangun usaha
kecil. Hanya saja disayangkan hingga sekarang BMT tidak mempunyai dasarhukumnya
sehingga ada beberapa BMT di jawa tengah dipermasalahkan secara hukum dan
dibekukan.
[3] Lihat Quthb Ibrahim Muhammad,
“Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab”, Terjemahan, 2002, Jakarta, halaman 23
[4] Nasori Majid. Op. Cit. halaman 223
[5] Op.Cit. halaman 224
[6] Said Ahmad, Al-Idarah Al-Maliyah, halaman
259
[7] Pidato beliau dikutif dari buku “Quthb
Ibrahim Muhammad; “Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab; Ibid, halaman 34
[8] Lihat M.A. Sabzwari, dalam Karim; Op. Cit.
halaman. 34
[9] Sabzwari. Op. Cit. halaman 32
[10] Sabzwari, dalam karnaen. Halaman 32