Sunday, 12 May 2013

konsep dasar fiqh muamalah


FIQIH MU’AMALAH
A.    Pengertian Fiqih Mu’amalah.
Pengertian fiqih mu’amalah tersusun atas dua kata, yaitu fiqih dan mu’amalah.Kata fiqih secara etimologis berakar pada kata kerja yaitu : فَقَهَ – يُفَقِهُ – فَقْهًا – اَىْ فَهْمَهُ yang artinya paham, mengerti, pintar dan kepintaran.[1]Menunjukkan kepada “maksud sesuatu” atau “ilmu pengetahuan”.Secara terminologis, fiqih adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.[2] Sedang mu’amalah secara bahasa berasal dari kata : “aamala – yuaamilu – mu’amalatan”, yang artinya saling berbuat dan saling mengamalkan.[3]Sedangkan mu’amalah secara terminologi dapat diartikan sebagai aturan-aturan Allah  yang mengatur hubungan tentang manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.[4]
Menurut pengertian di atas, fiqih mu’amalah dapat didefinisikan sebagai hukum syara’ yang bersifat amaliah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
B.     Pembagian Fiqih Mu’amalah.
Pembagian fiqih mu’amalah ini sangat berkaitan dengan pandangan fuqoha dalam mendefinisikan pengertian fiqih mu’amalah dalam arti luas atau arti sempit. Menurut Ibn ‘Abidin, fiqih mu’amalah dibagi menjadi lima bagian :[5]
1.      Mu’amalah Maliyah ( Hukum Kebendaan).
2.      Munakahat( Hukum Perkawinan).
3.      Muhasanat ( Hukum Acara).
4.      Amanat dan “Ariyah (Pinjaman).
5.      Tirkah( Harta Peninggalan).
Sedangkan Al-Fikri dalam kitabnya “Al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah” menyatakan, bahwa mu’amalah dibagi menjadi dua bagian, sebagi berikut :[6]
1.      Al-Mu’amalah al-Madiyah, yaitu mu’amalah yang menkaji dari dimesi obyeknya.Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mu’amalah al-madiyah adalah mu’amalah yang bersifat kebendaan, karena obyek fiqih mu’amalah meliputi benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan; benda-benda yang membahayakan; dan benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Karena itu aktifitas bisnis seorang muslim tidak hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan materiil semata, tetapi praktek bisnis tersebut harus dilandasi oleh nilai-nilai sakral agama,[7] dalam rangka untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
2.      Al-Mu’amalah al-Adabiyah, yaitu mu’amalah yang ditinjau dari cara tukar-menukar benda , yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasud, dengki dan dendam.
Mu’amalah al-Adabiyah yang dimaksud adalah aturan-aturan Allah yang wajib diikuti berkaitan dengan aktifitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subyeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya.Adabiyah ini berkisar dalam keridhaan antara kedua belah pihak saat melakukan akad, sehingga tidak boleh terjadi unsur dusta, atau menipu di dalamnya.
C.    Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah.
Berdasarkan pembagian Fiqih Mu’amalah di atas, maka ruang lingkup Fiqih Mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Ruang lingkup Mu’amalah Adabiyah.
Ruang lingkup mu’amalah yang bersifat adabiyah adalah ijab dan qabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedangan, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang terdapat kaitannya dengan pendistribusian harta dalam hidup bermasyarakat.
2.      Ruang lingkup Mu’amalahMadiyah.
Ruang lingkup pembahasan Mu’amalah Madiyah ialah masalah jual beli (al-bai’ wa al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-a’riyah), barang titipan (al-wadhi’ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara’ah), sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrah al-‘amal), gugatan (syuf’ah), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (as-sulhu), dan ditambah dengan permasalahan kontemporer (al-mungasirah) seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan lain-lain.[8]
D.    Perbedaan mendasar sistem ekonomi islam dengan ekonomi konvensional.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan mendasar dalam kedua sistem ekonomi ini.[9]
No
Isu
Islam
Konvensional
1
Sumber
Al-Quran
Daya fikir manusia
2
Motif
Ibadah
Rasional matearialism
3
Paradigma
Syariah
Pasar
4
Pondasi dasar
Muslim
Manusia ekonomi
5
Landasan fillosofi
Falah
Utilitarian individualism
6
Harta
Pokok kehidupan
Asset
7
Investasi
Bagi hasil
Bunga
8
Distribusi kekayaan
Zakat, infak, shodaqoh, hibah, hadiah, wakaf dan warisan.
Pajak dan tunjangan
9
Konsumsi-produksi
Maslahah, kebutuhan dan kewajiban
Egoism, materialism, dan rasionalisme
10
Mekanisme pasar
Bebas dan dalam pengawasan
Bebas
11
Pengawas pasar
Wilayatul Hisba
NA
12
Fungsi Negara
Penjamin kebutuhan minimal dan pendidikan melalui baitul mal
Penentu kebijakan melalui Departemen-departemen
13
Bangunan ekonomi
Bercorak perekonomian real
Dikotomi sektoral yang sejajar ekonomi riil dan moneter

Perbedaan yang sering didengar dari kedua sistem ekonomi ini :[10]
Bunga
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan
Penentuan besarnya nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkiinan untung rugi
Besarnya presentasididasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
Bunga dapat mengambang dan besarnnya naik turun sesuai dengan naik turunnya kondisi ekonomi
Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah usaha yang dijalankan untung atau rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian ditangggung bersama.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan berlipat
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil



DAFTAR PUSTAKA

Huda, Qomarul. Fiqh Mu’amalah. Yogyakarta, TERAS. 2011
Sahrani, Sohari dkk.Fikih Mu’amalah. Bogor, Ghalia Indonesia. 2011
Ahlul Badr, Perbedaan Ekonomi Islam Dengan Ekonomi Konvensional, (http://dirbas.blogspot.com, 18 Maret 2013)



[1] Luis Ma’luf, Al-Munjid Fillughat (Beirut: Darul masyik, 1973), hlm. 591
[2]Sohari Sahrani, Fiqih Mu’amalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 3
[3]H.M. Junus Ghozali, Fiqih Mu’amalah (Serang, STAIN “SMH” Banten, 2003), hlm. 12
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah hlm. 2
[5]Ibid, hlm. 3
[6]Qomarul Huda,Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Teras,2011) hlm.5
[7]Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras,2008) hlm. 121
[8]Qomarul Huda,Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Teras,2011) hlm.7
[9]Ahlul Badr, Perbedaan Ekonomi Islam Dengan Ekonomi Konvensional,(http://dirbas.blogspot.com, 18 Maret 2013)
[10]Ibid