A.
Lafazh Yang Terang Artinya
Para ulama berbedapendapat dalam
menilai tingkatan dilalah lafazhdari segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama
hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat
bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas
(nash), sangat jelas (mufassar), dan sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang
kedua jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I
yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan
nash.[1]
Pembagian lafazh ini sebenarnya
dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan atau dinasakh, sebagaimana
berikut ini :
·
Menurut Ulama Hanafiyah
1.
Zhahir
Menurut Al Bazdawi lafazh zhahir
adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar
melalui bentuk lafazh itu sendiri.
Abu Zahra berpendapat bahwa lafazh
zhahir menurut ulama hanafiah adalah al-kalam alladzi yadullu ‘ala ma’nan
bayyinin wadhihin wa lakin lam yasqi al-kalam li ajli hadzal ma’na (pembicaraan
yang menunjukkan makna yang jelas lagi terang, tetapi pembicaraan tidak
digiring kepada makna terang ini). Petunjuk lafazh terhadap makna ini tidak
dimaksudkan pada makna yang pertama, tetapi petunjuk mengarah kepada makna
lain. Misalnya, dapat dikemukakan contoh berikut ini :
واحل
الله البيع و حرم الربوا
Artinya : “Dan Allah telah
mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas,
yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil
dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari
lafazh al-bai’ dan al riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di
takhsish.Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk
lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya
atau menasakhnya.[2]
2.
Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara
zhahir dengan nash, dengan memberikan definisi nash sebagai berikut :Lafazh
yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung
menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275
surat al-Baqarah (2) diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat tersebut adalah
tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Nash itu dalam penunjukannya
terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan
nash lebih terang dar segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan
“asal” sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya.
Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh
nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh
zhahir pada lafazh nash.[3]
3.
Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh
yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas.Sehingga
petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis.
Kejelasan petunjuk lafazh
mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir dan lafazh nash. Karena
pada petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat kemungkinan ditakwil
atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali
tidak ada.
Mufassar itu ada dua macam yaitu
:
a. Menurut
asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contoh :
والذين
يرمون المخصنات ثم لم يا توا با ر بعة شهداء فا جلدوهم
ثما
نين جلده
“Orang-orang
yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b. Asalnya
lafazh itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan pemahaman artinya.
Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi
jelas. Contoh :
المستحاضة
تتوضا لكل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus
berwudhu pada setiap menunaikan sholat.
Kemudian datang hadits lain yang
berbunyi :
المستحاضة
تتوضالوقت كل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus
berwudhu pada setiap kali masuk waktu sholat.
4.
Muhkam
Lafazh muhkan adalah lafazh yang
menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan jelas serta qath'i dan tidak
mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh sekalipun pada masa Nabi
Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau.[4]
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
a. Muhkam
Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk
pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
b. Muhkam
Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu
di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada
nash yang menasakhnya.
Pengaruh
kejelasan lafadz terhadap buku
1.
Pertentangan antara zhahir dan
nash
Contonhnya
: Friman Allah dalam surat An nisa’ (4) : 24 yang artinya: “Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian itu, bahwa kamu mencari istri-istri denganhartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina”. Ayat ini bertentangan dengan Al Qur’an
surat An Nisa (4) : 3 yang artinya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah
perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4. Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil maka hendaklah cukup satu saja atau kawinilah budak-budak
yang kamu miliki.”
Dengan
demikian terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua yaitu pertama boleh
menikahi wanita lebih dari empat sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih
dari empat. Dalam hal ini petunjuk yang dapat diambil adalah yang kedua sebab
petunjuk yang kedua termasuk petunjuk nash dan petunjuk nash lebih kuat dari pada
petunjuk dhahir.
2.
Pertentangan antara muhkam dengan
nash
Misalnya,
Firman Allah dalam surat An Nisa (4) : 3 yang artinya : “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka
kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4”.
Ayat
ini bertentangan dengan surat Al Ahzab (33) : 53 yang artinya: “dan tidak boleh
kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya
sesudah ia wafat selama-lamanya.”
Ayat
pertama termasuk petunjuk nash, secara petunjuk nash ayat ini menunjukkan
dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasuk janda Rasulullah dengan
syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua petunjuknya muhkam ayat ini
mengharamkan mengawini janda Rasulullah.Dengan demikian kedua ayat ini ta’arud
(pertentangan).Maka harus diambil dilalah ayat yang kedua karena dilalah ayat
ini muhkam.
3.
Pertentangan antara nash dengan
mufassar
Misalnya
: diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata Fatimah binti Abu Hubais datang kepada
Rasulullah kemudian berkata “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah,
sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan sholat.
Rasulullah menjawab, “tidak, karena mustahadah bukan darah haid.Jauhi sholat
pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap sholat dan
sholatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.
Pertentangan
riwayat pertama dan kedua ini darisegi lafadz dapat dikatakan antara nash dan
mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan yang kedua berbentuk
mufassar. Oleh sebab itu dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua karena
termasuk mufassar.
4.
Pertentangan antara mufassar
dengan muhkam
Misalnya
: Firman Allah dalam Al Qur’an surat At Thalaq (65) : 2 bertentangan dengan Al
Qur’an surat An Nur (24) : 4. Ayat pertama termasuk lafazh mufassar. Ayat ini
menunjukkan diterimanya kesaksian yang adil daripada siapa saja.Ayat yang kedua
termasuk muhkam.ayat ini menunjukkan tidak bisa
diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sungguhpun ia bertobat.
Dalam hal ini, menurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat kedua.
·
Menurut Ulama Mutakallimin
(Syafi'iyah)
Menurut ulama mutakallimin,
kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun,
Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya, lafazh
zhahhir dan lafazh nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu arti. Seperti
dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan Imam al-Syafi'I
adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik
diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain. Tetpai dalam
perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir
ini dibedakan pengertiannya yaitu "nash adalah suatu lafazh yang tidak
mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk
ditakwil".
B.
Lafazh Yang Tidak Terang Artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah
membagi ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi,
musykil, mujmal dan mutasyabih.Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin)
membaginya menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
·
Menurut Ulama Hanafiyah
1.
Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas
atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafazh yang petunjuknya tidak
jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafazh yang
membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan
tersebut.[5]
Contoh lafazh khafi ini adalah
lafazh السارق (pencuri) dalam firman Allah, surat al-maidah (5) : 4
السارق
والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafazh السارقitu cukup jelas yaitu orang yang
mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya
secara sembunyi-sembunyi". Namun lafazh "pencuri" itu mempunyai
satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok, pencuri barang
kuburan dan lain sebagainya.
2.
Musykil
Musykil adalah suatu lafazh nash
yang bentuknya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya
ialah harus dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari
luar yang terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafazh
quru' yang terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228.
والمطلقات
يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء
Perempuan-perempuan yang bercerai
dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
Lafazh quru' disini termasuk
lafazh musytarak, yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan
haidh.Akibatnya, petunjunya menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki
dari dua arti tersebut.Oleh karena itu, dalam pengamalan lafazh musykil harus
dikaji secara menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk
dijadikan pegangan.
3.
Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global
atau tidak dirinci.Menurut istilah adalah lafazh yang tidak dapat dipahami
maksudnya. Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I
(al-Sarakhsi, 1372 H, 1 : 168)
Contohnya : lafazh sholat, secara
bahasa berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibdaha khusus yang
segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله
فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas tangan
mereka”.
4.
Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah
sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan
pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga
tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah, sehingga tidak
dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalam ilmu
pengetahuannya. (al-Syarakhsi, 1372 H, 1 : 169)
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1. Dalam
bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat
dalam al-Qur'an seperti يس,
كهيعص, الر,الم dan
sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti
apa-apa ditinjau dari segi lafaznya.[6]
2. Ayat-ayat
yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya,
sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena Allah SWT
Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh
:
ويبغى
وجه ربك ذو الجلال والا كرام
“Dan akan
tetap kekal muka Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia”.
Ulama mutakallimin (syafi'iyah)
tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafazh ditinjau dari segi
ketidakjelasannya.Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu
kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang
menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu
Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku
Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam.Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra
Syarifuddin,
Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
[1]Ade
Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press,
2005), hlm. 219
[3]H.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997). Hlm. 6
[5]H.
Amir Syarifuddin, Op Cit. hlm.13
[6]Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pnegantar Hukum Islam, (Semarang
: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 308