Thursday, 14 November 2013

lafadz dari segi kejelasan dan ketidakjelasan artinya



A.    Lafazh Yang Terang Artinya
Para ulama berbedapendapat dalam menilai tingkatan dilalah lafazhdari segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash.[1]
Pembagian lafazh ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan atau dinasakh, sebagaimana berikut ini :
·         Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Zhahir
Menurut Al Bazdawi lafazh zhahir adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar melalui bentuk lafazh itu sendiri.
Abu Zahra berpendapat bahwa lafazh zhahir menurut ulama hanafiah adalah al-kalam alladzi yadullu ‘ala ma’nan bayyinin wadhihin wa lakin lam yasqi al-kalam li ajli hadzal ma’na (pembicaraan yang menunjukkan makna yang jelas lagi terang, tetapi pembicaraan tidak digiring kepada makna terang ini). Petunjuk lafazh terhadap makna ini tidak dimaksudkan pada makna yang pertama, tetapi petunjuk mengarah kepada makna lain. Misalnya, dapat dikemukakan contoh berikut ini :
واحل الله البيع و حرم الربوا
Artinya : “Dan Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bai’ dan al riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di takhsish.Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.[2]
2.      Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara zhahir dengan nash, dengan memberikan definisi nash sebagai berikut :Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275 surat al-Baqarah (2) diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan nash lebih terang dar segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan “asal” sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh nash.[3]
3.      Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas.Sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis.
Kejelasan petunjuk lafazh mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir dan lafazh nash. Karena pada petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a.       Menurut asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contoh :

والذين يرمون المخصنات ثم لم يا توا با ر بعة شهداء فا جلدوهم
ثما نين جلده
         
“Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b.      Asalnya lafazh itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Contoh :

المستحاضة تتوضا لكل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap menunaikan sholat.
Kemudian datang hadits lain yang berbunyi :

المستحاضة تتوضالوقت كل صلاة
Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap kali masuk waktu sholat.
4.      Muhkam
Lafazh muhkan adalah lafazh yang menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan jelas serta qath'i dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh sekalipun pada masa Nabi Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau.[4]
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
a.       Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
b.      Muhkam Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.

Pengaruh kejelasan lafadz terhadap buku
1.      Pertentangan antara zhahir dan nash
Contonhnya : Friman Allah dalam surat An nisa’ (4) : 24 yang artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian itu, bahwa kamu mencari istri-istri denganhartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. Ayat ini bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nisa (4) : 3 yang artinya  “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka hendaklah cukup satu saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki.”
Dengan demikian terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua yaitu pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini petunjuk yang dapat diambil adalah yang kedua sebab petunjuk yang kedua termasuk petunjuk nash dan petunjuk nash lebih kuat dari pada petunjuk dhahir.

2.      Pertentangan antara muhkam dengan nash
Misalnya, Firman Allah dalam surat An Nisa (4) : 3 yang artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4”.
Ayat ini bertentangan dengan surat Al Ahzab (33) : 53 yang artinya: “dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya.”
Ayat pertama termasuk petunjuk nash, secara petunjuk nash ayat ini menunjukkan dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasuk janda Rasulullah dengan syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua petunjuknya muhkam ayat ini mengharamkan mengawini janda Rasulullah.Dengan demikian kedua ayat ini ta’arud (pertentangan).Maka harus diambil dilalah ayat yang kedua karena dilalah ayat ini muhkam.  
3.      Pertentangan antara nash dengan mufassar
Misalnya : diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata Fatimah binti Abu Hubais datang kepada Rasulullah kemudian berkata “Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan sholat. Rasulullah menjawab, “tidak, karena mustahadah bukan darah haid.Jauhi sholat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap sholat dan sholatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini darisegi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua karena termasuk mufassar.
4.      Pertentangan antara mufassar dengan muhkam
Misalnya : Firman Allah dalam Al Qur’an surat At Thalaq (65) : 2 bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nur (24) : 4. Ayat pertama termasuk lafazh mufassar. Ayat ini menunjukkan diterimanya kesaksian yang adil daripada siapa saja.Ayat yang kedua termasuk muhkam.ayat     ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini, menurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat kedua.

·         Menurut Ulama Mutakallimin (Syafi'iyah)
Menurut ulama mutakallimin, kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya, lafazh zhahhir dan lafazh nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan Imam al-Syafi'I adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain. Tetpai dalam perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir ini dibedakan pengertiannya yaitu "nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil".

B.     Lafazh Yang Tidak Terang Artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin) membaginya menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
·         Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafazh yang petunjuknya tidak jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafazh yang membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan tersebut.[5]
Contoh lafazh khafi ini adalah lafazh السارق (pencuri) dalam firman Allah, surat al-maidah (5) : 4
السارق والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafazh   السارقitu cukup jelas yaitu orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi". Namun lafazh "pencuri" itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok, pencuri barang kuburan dan lain sebagainya.
2.      Musykil
Musykil adalah suatu lafazh nash yang bentuknya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya ialah harus dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari luar yang terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafazh quru' yang terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228.

والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
Lafazh quru' disini termasuk lafazh musytarak, yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan haidh.Akibatnya, petunjunya menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki dari dua arti tersebut.Oleh karena itu, dalam pengamalan lafazh musykil harus dikaji secara menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan pegangan.
3.      Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak dirinci.Menurut istilah adalah lafazh yang tidak dapat dipahami maksudnya. Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I (al-Sarakhsi, 1372 H, 1 : 168)
Contohnya : lafazh sholat, secara bahasa berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibdaha khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas tangan mereka”.

4.      Mutasyabih  
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah, sehingga tidak dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. (al-Syarakhsi, 1372 H, 1 : 169)
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam al-Qur'an seperti يس, كهيعص, الر,الم   dan sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya.[6]
2.      Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena Allah SWT Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh :
ويبغى وجه ربك ذو الجلال والا كرام

“Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia”.


·         Menurut Ulama Mutakallimin
Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafazh ditinjau dari segi ketidakjelasannya.Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam.Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
 




[1]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005), hlm. 219
[2]Ibid, hlm.220
[3]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 6

[4]Ibid, hlm. 11-12
[5]H. Amir Syarifuddin, Op Cit. hlm.13
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pnegantar Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 308