A.
Pengertian Bank Syari’ah
Bank syari’ah
adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalissinya pada
bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga
keuangan/perbangkan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan
pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan
dengan prinsip syari’at Islam.
Antonio dan
perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank
yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam. Bank Syari’ah adalah
1.
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2.
Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan
Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah
Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan
lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[1]
B.
Falsafah Operasional Bank Syari’ah
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari
keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di
khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama yang harus dihindari.[2]
1.
Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
a.
Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti
keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)
b.
Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap
hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur meliputi Penggandakan
secara otomatis hutang / simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al
Imron: 130)
c.
Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi
dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas
maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
d.
Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang
yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab
Riba No.1569 s.d 1572)
2.
Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqqrah ayat 275
dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus
dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada
kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga
akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang / jasa, dapat
dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[3]
C.
Kegiatan Usaha Bank
Syari’ah
Bank syari’ah yang
terdiri dari bank umum syari’ah (BUS), uni usaha syari’ah (UUS), dan bank
pembiayaan rakyat syari’ah (BPRS), pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang
sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dana dan penyaluran
dana masyarakat di samping penyediaan jasa-jasa keuangan lainnya.
Adapun kegiatan
usaha Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah adalah:
1.
Penghimpun dana
a.
modal inti
b.
simpanan
dan investasi
2.
Penyaluran dana
a.
Pembiayaan
berdasarkan pola jual beli dengan akad murabahah, salam atau istishna’
b.
Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau Musyarakah
c.
Pembiayaan
berdasarkan akad qardh
d.
Pembiayaan
penyewa barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan
akad Ijarah atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik.
e.
Pengambilan
utang berdasarkan akad Hawalah
f.
Pembiayaan
multijasa
3.
Jasa keuangan perbankan
a.
Letter of
credit (L/C) Impor syari’ah
b.
Bank
garansi syari’ah
c.
Penukaran
valuta asing[4]
D.
Perbedaan Bank
Syariah dan Bank Konvensional
No
|
Bank Syari’ah
|
Bank Konvensional
|
1
|
Investasi, hanya untuk proyek dan produk yang halal serta
menguntungkan
|
Investasi, tidak mempertimbangkan halal atau haram asalkan
proyek yang dibiayai menguntungkan
|
2
|
Return yang dibayar dan/atau diterima berasal dari bagi
hasil atau pendapatan lainnya berdasarkan prinsip syari’ah
|
Return baik yang dibayar kepada nasabah penyimpan dana dan
return yang diterima dari nasabah pengguna dana berupa bunga
|
3
|
Perjanjian dibuat dalam bentuk akad sesuai dengan syariah
islam
|
Perjanjian menggunakan hukum positif
|
4
|
Orientasi pembiayaan, tidak hanya untuk keuntungan akan
tetapi juga falah oriented, yaitu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
|
Orientasi pembiayaan, untuk memperoleh keuntungan atas dana
yang dipinjamkan.
|
5
|
Hubungan antara bank dan nasabah adalah mitra
|
Hubungan antara bank dan nasabah adalah kreditor dan debitur
|
6
|
Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, Komisaris, dan
Dewan Pengawas Syariah
|
Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, dan Komisaris
|
7
|
Penyelesaian sengketa, diupayakan diselesaikan secara
musyawarah antara bank dan nasabah, melalui peradilan agama
|
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri setempat
|
Tabel : Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional[5]
E.
Fungsi Bank Syariah
1. Penghimpun dana
masyarakat
Bank syariah
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad al
wadiah dan dalam bentuk investasi dengan menggunakan akad al mudharabah[6]
2. Penyaluran dana ke
masyarakat
Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat
memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Bank syariah akan
mendapatkan return atas dana yang di salurkan. Return atau pendapatan yang
diperoleh bank atas penyaluran dana ini tergantung pada akadnya.[7]
3. Pelayanan jasa bank
Pelayanan jasa bank syariah ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Berbagai jenis produk pelayanan jasa
yang diberikan antara lain jasa pengiriman uang (transfer), pemindahbukuan,
penagihan surat berharga, garansi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.[8]
Gambar 1 : Fungsi bank syariah dalam memperoleh keuntungan
Pada gambar 1, menunjukkan bahwa fungsi bank sebagai penghimpun dana
masyarakat akan mengeluarkan biaya ( bonus dan bagi hasil). Fungsi bank dalam
menyalurkan dana kepada masyarakat, akan memperoleh pendapatan berupa bagi
hasil, margin keuntungan, dan pendapatan sewa. Fungsi dalam menawarkan produk
jasa, bank syariah akan memperoleh pendapatan berupa fee.[9]
Gambar 2 : Bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan
Pada gambar 2, menunjukkan bahwa bank syariah berfungsi sebagai lembaga
perantara keuangan, yang tugasnya yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang
kelebihan dana (surplus unit) pada satu sisi, dan sisi lain, bank syariah juga
menyalurkan dana kepada masyarakat yang sedang membutuhkan dana (defisit unit).[10]
F.
Struktur Organisasi
Bank Syari’ah
Bank syariah dapat memiliki struktur yang
sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi
yang membedakan bank syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah.
a. Dewan Pengawas Syari’ah
(DPS)
Peran utama para
ulama dalam dewan pengawas syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank
sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini
karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika
dibanding bank konvensioanl. Karena itu, diperlukan garis panduan yang
mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh dewan syariah
nasional.
Tugas lain Dewan
Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank
yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama
sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional. Mekanisme kerja DPS dapat digambarkan sebagai berikut.
b. Dewan Syariah
Nasional (DSN)
Fungsi utama dewan
syariah nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar
sesuai dengan syariah islam. Untuk keperluan pengawasan, Dewan Syariah Nasional
membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum
islam.
Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan memberi fatwa produk-produk baru
yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah tersebut harus diajukan oleh
manjemen setelah direkomendasikan oleh DSN pada lembaga yang bersangkutan.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan
syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang darigaris panduan yang telah
ditetapkan. Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran
yang diberikan, DPS dapat mengusul kepada otoritas yang berwenang.[11]
G.
Produk-produk Bank
Syari’ah
a.
Prinsip jual beli (Ba’i)
Prinsip jual beli diadakan sehubung diadanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Transaksi jual beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti
:
a.
Al Murabahah
Murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam Al murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia
beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[12]
b.
As Salam
Salam
adalah pembeliaan barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka.[13]
c.
Al Istishna
Transaksi
Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.[14]
b.
Prinsip Sewa (Ijarah)
1) Al Ijarah
Al
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang
itu sendiri.
2) Al Ijarah Al Muntahia Bit Tamlik
Al Ijarah Al Muntahia Bit Tamlik
adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat
pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.[15]
c.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
1)
Al-Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[16]
2)
Al-Mudarabah
Mudarabah adalah akad kerja sama usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola.[17]
3) Al-Muzara’ah
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentikkan
dengan mukhabarah. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
Muzara’ah :
benih dari pemilik lahan
Mukhabarah
: benih dari penggarap[18]
4) Al-Musaqah
Al-Musaqah
adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap
berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[19]
d.
Prinsip Jasa
1) Al Wakalah
Al Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan
oleh seseorang kepada yang lain dalamhal-hal yang diwakilkan.[20]
2) Al Kafalah
Al Kafalah merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[21]
3)
Al Hawalah
Al Hawalah adalah pengalihan
utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.[22]
4)
Ar Rahn
Ar Rahn adalah menahan salah
satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan utang atau gadai.[23]
5)
Al Qardh
Al Qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, Qardh
dikategorikan dalam aqad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan
transaksi komersial.[24]
DAFTAR
PUSTAKA
‘Ajjaj al-Khatib,Muhammad.
1989. Ushul al Hadits
wa Musthalahu. Bairut : Daral Fikri
Sadeli
Ed..
Hasan. Ensiklopedi Indonesia. jilid I
Karnaen
Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio. 1997. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Muhammad. 2000. Lembaga Keuangan umat kontemporer.
Yogyakarta: UII Press
Muhammad.
2005. Konstruksi
Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta
Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga
Keuangan Syari’ah. Jakarta: Kencana
Drs. Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Antonio, M. Syaf’ii. 2001. Bank syariah. Jakarta : Gema Insani Press
[1] Karnaen Perwataatmadja dan M.
Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997), Hlm.1
[3] Muhammad, Konstruksi Mudharabah
dalam Bisnis Syari’ah,(Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2005), hlm. 16
[4]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana,
2010), Hlm. 72-73
[5]
Drs. Ismail, Perbankan syariah, (Jakarta
: Kencana prenada media group, 2011),
hlm. 38
[6]
Ibid hlm. 39
[7]
Ibid hlm. 40-41
[8]
Ibid hlm. 42
[9]
Ibid hlm. 45-46
[10]
Ibid hlm. 47
[11]
M. Syaf’ii antonio, Bank syariah, (
jakarta : gema insani press, 2001), hlm. 31 - 33
[12]
Ibid hlm. 101
[13]
Ibid hlm. 108
[14]
ibid hlm. 113
[15]
Ibid hlm. 117 - 118
[16]
Ibid hlm. 90
[17]
Ibid hlm. 95
[18]
Ibid hlm. 99
[19]
Ibid hlm. 100
[20]
Ibid hlm. 120
[21]
Ibid hlm. 123
[22]
Ibid hlm. 126
[23]
Ibid hlm. 128
[24]
Ibid hlm. 131