Wednesday, 23 October 2013

Prinsip-Prinsip Syari`ah Dalam Pendayagunaan Zakat

Oleh : Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
Ketua Badan Amil Zakat Nasional

ketua-baznas-kh-didin-hafidhuddin- 120411160351-708Sebagaimana dimaklumi dan setiap muslim wajib menge­tahui bahwa zakat merupakan ibadah maaliyah, yakni ibadah yang berkaitan dengan harta kekayaan. Di samping itu, zakat juga ibadah qadhaiyah, yakni ibadah yang apabila tidak ditunaikan, maka ada hak orang lain yang terambil. Oleh karena itu, menunaikan zakat tidak dipandang sebagai kedermawanan, melainkan suatu kewajiban yang memang sudah semesti­nya ditunaikan.oleh seorang muslim dan badan usaha milik orang Islam. Zakat yang dihimpun oleh amil wajib disalur­kan kepada yang berhak menerimanya.
Dalam kaitan ini, penerapan prinsip-prinsip syariah dalam pendaya­gunaan zakat merupakan sebuah keniscayaan atau keharusan pada setiap pengelola zakat. Hal itu tidak saja berkaitan dengan kepercayaan muzakki terhadap amil zakat, tetapi lebih penting dan mendasar adalah menyangkut nilai moral dan pertanggungjawaban amil kepada Allah SWT sebagai pemi­lik syariat.
Zakat adalah satu-satunya ibadah yang secara eksplisit disebutkan da­lam Al Quran ada petugasnya. Dengan kata lain, amil menjadi unsur utama dalam pengelolaan zakat. Sasaran pendistribusian dan pendayagunaan zakat telah ditentukan secara tegas dan eksplisit dalam syariat (QS At Taubah [9]: 60), yaitu zakat diperuntukkan bagi 8 (delapan) golongan atau ashnaf. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amilin. para mu’allaf, untuk (memerdekakan) bu­dak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah : 60).
Jumhur ulama dan fuqaha sepakat bahwa selain delapan golongan di atas, tidak berhak dan tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak­pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan tersebut. Adapun me­nyangkut batasan dan kriteria siapa yang disebut fakir, miskin dan seter­usnya terbuka peluang “ijtihad” sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan sepanjang tidak merubah ketentuan yang prinsip.
Dalam kaitan ini, amil zakat ketika menyalurkan zakat yang dihimpun dan dikelolanya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:
Pertama, Pada prinsipnya zakat adalah milik dan hak mustahik (Q.S. 9: 60). Tidak boleh zakat disalurkan kepada mereka yang bukan mustahik.
Kedua, Kata-kata “Fuqara” (orang-orang fakir) dan “Masaakin” (orang-orang miskin) dan juga yang lainnya menunjukkan bahwa semakin banyak Mustahik yang menerima akan semakin baik dan utama, misalnya jika zakat itu disalurkan untuk keperluan pembiayaan usaha para mustahik (zakat produktif).
Ketiga, jika dana zakat relatif lebih sedikit dibanding dengan jumlah Mustahik, maka dana tersebut boleh digulirkan dalam bentuk pinjaman yang dikembalikan oleh Mustahik, untuk kemudian disalurkan kembali kepada Mustahik yang lain.
Keempat, Inti dari pemberian zakat, sesungguhnya adalah tercukupinya kebutuhan hidup para Mustahik sepanjang hidupnya (menurut pendapat Umar bin Khattab yang diikuti oleh para ulama dikalangan mazhab Syafi’i dan mazhab/imam Ahmad bin Hambali).
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Zakat (hal 532) setelah mengutip berbagai pendapat mengemukakan bahwa Daulah Islamiyyah (mungkin da­pat juga ditafsirkan badan/organisasi yang diberi otoritas untuk mengelola zakat) dapat membangun pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan yang pengelolaannya dan kepemilikannya melibatkan para mustahik. Dengan demikian, usaha yang dimiliki dapat menghasilkan keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup para mustahik. Namun tentu badan/organisasi zakat yang mengelola kegiatan itu harus amanah, jujur, transparan dan pro­fesional, sehingga kerugian dan penyalahgunaan akan dapat dihindari.
Kelima, Seluruh ulama sepakat bahwa dana zakat boleh dipergunakan untuk biaya pendidikan mustahik, seperti pemberian beasiswa, membeli bu­ku-buku dan alat-alat belajar. Hanya saja perlu diperhatikan hal-hal seperti; bidang studi yang dipelajari adalah yang dibutuhkan bagi kemajuan agama dan umat Islam, ikatan antara lembaga zakat dengan penerima beasiswa, misalnya apa yang akan dilakukannya terhadap lembaga zakat setelah lulus, pembinaan yang terus-menerus dilakukan, sehingga setiap penerima bea­siswa diharapkan menjadi kader umat.
Keenam, Para ulama juga sepakat, zakat bisa digunakan untuk kepentin­gan kesehatan, perumahan, dan kebutuhan lain dari para mustahik. Intinya ialah bahwa segala sesuatu untuk kepentingan mustahik boleh mempergu­nakan dana zakat.
Ketujuh, Perlu disadari bahwa keberhasilan badan/lembaga zakat bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan dalam menarik dan mengumpul­kan dana zakat, akan tetapi juga pada kemampuan dalam menyalurkannya secara tepat, benar dan bermanfaat.
Dalam perkembangan ke depan, pengelolaan zakat di bawah payung hu­kum undang-undang baru tentang pengelolaan zakat yang akan disahkan oleh DPR-RI, penerapan prinsip-prinsip syariah merupakan menjadi norma pokok yang tercantum di dalam rancangan undang-undang
Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
Sejak pertengahan tahun 2011 masyarakat dunia kembali dihadapkan pada anca­man resesi ekonomi global. Para ahli dan pengamat ekonomi mensinyalir bahwa resesi ekonomi global yang terjadi di kawasan Eropa dan Amerika dapat berimbas ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ekonomi Islam atau sering disebut ekonomi syariah yang dalam dekade terakhir terlihat signifi­kan perkembangannya, memiliki keunggulan yang telah cukup teruji, dan karena itu diharapkan dapat menjadi solusi alternatif di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dunia.
Keunggulan sistem ekonomi Islam adalah karena memiliki tiga pilar, yaitu; Pilar Pertama, sektor riil (kegiatan usaha/bisnis). Banyak ayat dan hadits yang mendorong kaum muslimin untuk melakukan kegiatan bisnis/usaha dan sektor riil lainnya.
Pilar Kedua, ialah Ekonomi Syariah adalah sektor moneter seperti Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan syariah maupun non-perbankan syariah.
Pilar Ketiga: Sektor Zakat dan sektor voluntary, seperti infaq/sedekah, dan wakaf.
Dalam kesempatan ini mari kita lihat urgensi zakat bagi ketahanan ekonomi.
Zakat merupakan Rukun Islam ke 3, yang jika dilaksanakan dengan penuh kesa­daran dan keikhlasan, akan meningkatkan keimanan dan keislaman (QS. At-Taubah [9]: 5 dan 11). Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima’iyyah yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, dimana terbukti secara empirik dalam sejarah (masa Nabi dan sahabat serta Umar bin Abdul Azis, dan sekarang pun beberapa negara, termasuk Indonesia, telah menjadikan zakat sebagai salah satu sarana untuk mensejahterakan masyarakat.
Potensi Zakat di Indonesia (Riset tahun 2009) cukup besar, yaitu Riset Habib Ahmed (IRTI-IDB), potensi zakat = 2% dari GDP.= 2% x Rp 5.000 triliun = Rp 100 triliun. Pada tahun 2011 ini terjadi kenaikan potensi zakat di Indonesia menjadi sebesar Rp 217 triliun atau 3,14 % dari GDP Indonesia (Hasil Riset BAZNAS, FEM IPB dan IDB 2011).
Empat langkah untuk menggali potensi zakat telah dilakukan. baik oleh Pemer­intah maupun organisasi pengelola zakat (BAZ dan LAZ) di tanah air, yaitu keg­iatan sosialisasi/edukasi. penguatan amil, pendayagunaan yang tepat sasaran, serta sinergi/koordinasi.
Sosialisasi dan edukasi tentang hikmah dan tujuan zakat yang mencakup ber­bagai dimensi, merupakan langkah yang bernilai strategis untuk mengaktualisasi­kan urgensi zakat bagi ketahanan ekonomi umat. Upaya tersebut dikaitkan dengan makna zakat yang secara fungsional mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Zakat, infaq dan sedekah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para mustahiq, terutama fakir-miskin. Termasuk di dalamnya membantu di bidang pendidikan, kesehatan dan kegiatan ekonomi.
Kedua, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan etos kerja. Allah berfirman.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (1) (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya (2) dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3) dan orang-orang yang menunaikan zakatnya......” (QS. Al-Mukminun: 1-4).
Ketiga, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan etika bekerja dan berusaha, yakni hanya mencari rizki yang halal. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sedekah yang ada unsur tipu daya”. (HR. Muslim).
Keempat, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan aktualisasi potensi dana untuk membangun umat, seperti untuk membangun sarana pendidikan yang unggul tetapi murah, sarana kesehatan, institusi ekonomi, institusi publikasi dan komunikasi serta yang lainnya.
Kelima, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan kecerdasan intelektual, emo­sional, spiritual dan sosial. Artinya, kesediaan ber-ZIS ini akan mencerdaskan untuk mencintai sesamanya, terutama kaum dhu’afa.
Keenam, Zakat, infaq dan sedekah akan mengakibatkan ketenangan, kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan hidup. Allah berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Ketujuh, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan upaya menumbuh-kembang­kan harta yang dimiliki dengan cara mengusahakan dan memproduktifkannya. Al­lah berfirman, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39).
Kedelapan, Zakat, infaq dan sedekah juga akan menyebabkan orang semakin giat melaksanakan ibadah mahdlah, seperti shalat maupun yang lainnya. Allah berfif­man, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43).
Kesembilan, Zakat mencerminkan semangat “sharing economy”, dimana trend dunia saat ini menuju “sharing economy”. Semangat “berbagi” diyakini akan menjadi solusi untuk mengatasi masalah ekonomi termasuk resesi (Swiercz dan Smith, Georgia Uni­versity).
Kesepuluh, Zakat, infaq dan sedekah juga sangat berguna dalam mengatasi berba­gai macam musibah yang terjadi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal-hal tersebut tidak mungkin bisa diaplikasikan, kecuali melalui amil zakat yang amanah, transparan dan bertanggungjawab.
Demikian secara singkat beberapa hal yang berkaitan dengan urgensi zakat bagi ketahanan ekonomi dalam perspektif Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadits.
Pokok-pokok pikiran di atas selengkapnya kami sampaikan dalam Seminar Na­sional ”Sehari Bersama Ekonomi Islam: Ketahanan Ekonomi Islam terhadap Resesi Ekonomi Global” di Kampus UGM Yogyakarta minggu lalu yang dihadiri oleh staf pengajar, mahasiswa S1 dan pascasarjana UGM serta masyarakat umum yang konsen dengan perkembangan ekonomi Islam di tanah air.
Wallahu a’lam bisshawab

sumber : http://baznastanahdatar.or.id