Oleh : Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
Ketua Badan Amil Zakat Nasional
Sebagaimana
dimaklumi dan setiap muslim wajib mengetahui bahwa zakat merupakan
ibadah maaliyah, yakni ibadah yang berkaitan dengan harta kekayaan. Di
samping itu, zakat juga ibadah qadhaiyah, yakni ibadah yang apabila
tidak ditunaikan, maka ada hak orang lain yang terambil. Oleh karena
itu, menunaikan zakat tidak dipandang sebagai kedermawanan, melainkan
suatu kewajiban yang memang sudah semestinya ditunaikan.oleh seorang
muslim dan badan usaha milik orang Islam. Zakat yang dihimpun oleh amil
wajib disalurkan kepada yang berhak menerimanya.
Dalam
kaitan ini, penerapan prinsip-prinsip syariah dalam pendayagunaan
zakat merupakan sebuah keniscayaan atau keharusan pada setiap pengelola
zakat. Hal itu tidak saja berkaitan dengan kepercayaan muzakki terhadap
amil zakat, tetapi lebih penting dan mendasar adalah menyangkut nilai
moral dan pertanggungjawaban amil kepada Allah SWT sebagai pemilik
syariat.
Zakat
adalah satu-satunya ibadah yang secara eksplisit disebutkan dalam Al
Quran ada petugasnya. Dengan kata lain, amil menjadi unsur utama dalam
pengelolaan zakat. Sasaran pendistribusian dan pendayagunaan zakat telah
ditentukan secara tegas dan eksplisit dalam syariat (QS At Taubah [9]:
60), yaitu zakat diperuntukkan bagi 8 (delapan) golongan atau ashnaf.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, amilin. para mu’allaf, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah : 60).
Jumhur
ulama dan fuqaha sepakat bahwa selain delapan golongan di atas, tidak
berhak dan tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihakpun yang
berhak mengganti atau merubah ketentuan tersebut. Adapun menyangkut
batasan dan kriteria siapa yang disebut fakir, miskin dan seterusnya
terbuka peluang “ijtihad” sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan
sepanjang tidak merubah ketentuan yang prinsip.
Dalam kaitan ini, amil zakat ketika menyalurkan zakat yang dihimpun dan dikelolanya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:
Pertama,
Pada prinsipnya zakat adalah milik dan hak mustahik (Q.S. 9: 60). Tidak
boleh zakat disalurkan kepada mereka yang bukan mustahik.
Kedua, Kata-kata “Fuqara” (orang-orang fakir) dan “Masaakin” (orang-orang
miskin) dan juga yang lainnya menunjukkan bahwa semakin banyak Mustahik
yang menerima akan semakin baik dan utama, misalnya jika zakat itu
disalurkan untuk keperluan pembiayaan usaha para mustahik (zakat
produktif).
Ketiga, jika
dana zakat relatif lebih sedikit dibanding dengan jumlah Mustahik, maka
dana tersebut boleh digulirkan dalam bentuk pinjaman yang dikembalikan
oleh Mustahik, untuk kemudian disalurkan kembali kepada Mustahik yang
lain.
Keempat,
Inti dari pemberian zakat, sesungguhnya adalah tercukupinya kebutuhan
hidup para Mustahik sepanjang hidupnya (menurut pendapat Umar bin
Khattab yang diikuti oleh para ulama dikalangan mazhab Syafi’i dan
mazhab/imam Ahmad bin Hambali).
Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Zakat (hal 532) setelah mengutip berbagai
pendapat mengemukakan bahwa Daulah Islamiyyah (mungkin dapat juga
ditafsirkan badan/organisasi yang diberi otoritas untuk mengelola zakat)
dapat membangun pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan yang
pengelolaannya dan kepemilikannya melibatkan para mustahik. Dengan
demikian, usaha yang dimiliki dapat menghasilkan keuntungan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup para mustahik. Namun tentu badan/organisasi
zakat yang mengelola kegiatan itu harus amanah, jujur, transparan dan
profesional, sehingga kerugian dan penyalahgunaan akan dapat dihindari.
Kelima, Seluruh
ulama sepakat bahwa dana zakat boleh dipergunakan untuk biaya
pendidikan mustahik, seperti pemberian beasiswa, membeli buku-buku dan
alat-alat belajar. Hanya saja perlu diperhatikan hal-hal seperti; bidang
studi yang dipelajari adalah yang dibutuhkan bagi kemajuan agama dan
umat Islam, ikatan antara lembaga zakat dengan penerima beasiswa,
misalnya apa yang akan dilakukannya terhadap lembaga zakat setelah
lulus, pembinaan yang terus-menerus dilakukan, sehingga setiap penerima
beasiswa diharapkan menjadi kader umat.
Keenam,
Para ulama juga sepakat, zakat bisa digunakan untuk kepentingan
kesehatan, perumahan, dan kebutuhan lain dari para mustahik. Intinya
ialah bahwa segala sesuatu untuk kepentingan mustahik boleh
mempergunakan dana zakat.
Ketujuh, Perlu
disadari bahwa keberhasilan badan/lembaga zakat bukan semata-mata
ditentukan oleh kemampuan dalam menarik dan mengumpulkan dana zakat,
akan tetapi juga pada kemampuan dalam menyalurkannya secara tepat, benar
dan bermanfaat.
Dalam
perkembangan ke depan, pengelolaan zakat di bawah payung hukum
undang-undang baru tentang pengelolaan zakat yang akan disahkan oleh
DPR-RI, penerapan prinsip-prinsip syariah merupakan menjadi norma pokok
yang tercantum di dalam rancangan undang-undang
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
Sejak
pertengahan tahun 2011 masyarakat dunia kembali dihadapkan pada
ancaman resesi ekonomi global. Para ahli dan pengamat ekonomi
mensinyalir bahwa resesi ekonomi global yang terjadi di kawasan Eropa
dan Amerika dapat berimbas ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ekonomi
Islam atau sering disebut ekonomi syariah yang dalam dekade terakhir
terlihat signifikan perkembangannya, memiliki keunggulan yang telah
cukup teruji, dan karena itu diharapkan dapat menjadi solusi alternatif
di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dunia.
Keunggulan sistem ekonomi Islam adalah karena memiliki tiga pilar, yaitu; Pilar Pertama, sektor
riil (kegiatan usaha/bisnis). Banyak ayat dan hadits yang mendorong
kaum muslimin untuk melakukan kegiatan bisnis/usaha dan sektor riil
lainnya.
Pilar Kedua, ialah
Ekonomi Syariah adalah sektor moneter seperti Lembaga Keuangan Syariah
(LKS), baik perbankan syariah maupun non-perbankan syariah.
Pilar Ketiga: Sektor Zakat dan sektor voluntary, seperti infaq/sedekah, dan wakaf.
Dalam kesempatan ini mari kita lihat urgensi zakat bagi ketahanan ekonomi.
Zakat
merupakan Rukun Islam ke 3, yang jika dilaksanakan dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan, akan meningkatkan keimanan dan keislaman (QS.
At-Taubah [9]: 5 dan 11). Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima’iyyah
yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, dimana
terbukti secara empirik dalam sejarah (masa Nabi dan sahabat serta Umar
bin Abdul Azis, dan sekarang pun beberapa negara, termasuk Indonesia,
telah menjadikan zakat sebagai salah satu sarana untuk mensejahterakan
masyarakat.
Potensi
Zakat di Indonesia (Riset tahun 2009) cukup besar, yaitu Riset Habib
Ahmed (IRTI-IDB), potensi zakat = 2% dari GDP.= 2% x Rp 5.000 triliun =
Rp 100 triliun. Pada tahun 2011 ini terjadi kenaikan potensi zakat di
Indonesia menjadi sebesar Rp 217 triliun atau 3,14 % dari GDP Indonesia
(Hasil Riset BAZNAS, FEM IPB dan IDB 2011).
Empat
langkah untuk menggali potensi zakat telah dilakukan. baik oleh
Pemerintah maupun organisasi pengelola zakat (BAZ dan LAZ) di tanah
air, yaitu kegiatan sosialisasi/edukasi. penguatan amil, pendayagunaan
yang tepat sasaran, serta sinergi/koordinasi.
Sosialisasi
dan edukasi tentang hikmah dan tujuan zakat yang mencakup berbagai
dimensi, merupakan langkah yang bernilai strategis untuk
mengaktualisasikan urgensi zakat bagi ketahanan ekonomi umat. Upaya
tersebut dikaitkan dengan makna zakat yang secara fungsional mencakup
hal-hal sebagai berikut:
Pertama,
Zakat, infaq dan sedekah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
para mustahiq, terutama fakir-miskin. Termasuk di dalamnya membantu di
bidang pendidikan, kesehatan dan kegiatan ekonomi.
Kedua, Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan etos kerja. Allah berfirman.
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman (1) (yaitu) orang-orang yang
khusyu' dalam shalatnya (2) dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3) dan orang-orang yang
menunaikan zakatnya......” (QS. Al-Mukminun: 1-4).
Ketiga,
Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan etika bekerja dan berusaha,
yakni hanya mencari rizki yang halal. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sedekah yang ada unsur tipu
daya”. (HR. Muslim).
Keempat,
Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan aktualisasi potensi dana untuk
membangun umat, seperti untuk membangun sarana pendidikan yang unggul
tetapi murah, sarana kesehatan, institusi ekonomi, institusi publikasi
dan komunikasi serta yang lainnya.
Kelima,
Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan kecerdasan intelektual,
emosional, spiritual dan sosial. Artinya, kesediaan ber-ZIS ini akan
mencerdaskan untuk mencintai sesamanya, terutama kaum dhu’afa.
Keenam,
Zakat, infaq dan sedekah akan mengakibatkan ketenangan, kebahagiaan,
keamanan dan kesejahteraan hidup. Allah berfirman, “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Ketujuh,
Zakat, infaq dan sedekah terkait dengan upaya menumbuh-kembangkan
harta yang dimiliki dengan cara mengusahakan dan memproduktifkannya.
Allah berfirman, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39).
Kedelapan,
Zakat, infaq dan sedekah juga akan menyebabkan orang semakin giat
melaksanakan ibadah mahdlah, seperti shalat maupun yang lainnya. Allah
berfifman, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43).
Kesembilan,
Zakat mencerminkan semangat “sharing economy”, dimana trend dunia saat
ini menuju “sharing economy”. Semangat “berbagi” diyakini akan menjadi
solusi untuk mengatasi masalah ekonomi termasuk resesi (Swiercz dan
Smith, Georgia University).
Kesepuluh,
Zakat, infaq dan sedekah juga sangat berguna dalam mengatasi berbagai
macam musibah yang terjadi, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Hal-hal tersebut tidak mungkin bisa diaplikasikan, kecuali melalui amil
zakat yang amanah, transparan dan bertanggungjawab.
Demikian
secara singkat beberapa hal yang berkaitan dengan urgensi zakat bagi
ketahanan ekonomi dalam perspektif Islam berdasarkan al-Qur’an dan
hadits.
Pokok-pokok
pikiran di atas selengkapnya kami sampaikan dalam Seminar Nasional
”Sehari Bersama Ekonomi Islam: Ketahanan Ekonomi Islam terhadap Resesi
Ekonomi Global” di Kampus UGM Yogyakarta minggu lalu yang dihadiri oleh
staf pengajar, mahasiswa S1 dan pascasarjana UGM serta masyarakat umum
yang konsen dengan perkembangan ekonomi Islam di tanah air.
Wallahu a’lam bisshawab
sumber : http://baznastanahdatar.or.id