A. Riba
dalam sejarah
Muamalah ribawiyah sesungguhnya telah dikenal di
kalangan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir kuno, bangsa Yahudi, bangsa
Romawi dan bangsa Yunani. Di kalangan bangsa Mesir kuno, terdapat dalam
Undang-Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24 dari raja-raja zaman Fir’aun, yang
menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh melebihi besarnya pokok harta yang
dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka waktu pinjaman.
Di kalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba
merupakan kebiasaan yang merata, dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada
keinginan orang yang meminjamkan uang, Bahkan, di kalngan bangsa Romawi orang
yang meminjamkan uang berhak memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak
dapat memenuhi utangnya. Tetapi, kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan oleh
Undang-Undang Solon yang membatasi besarnya riba maksimum 12 % dari pokok
utang. Pembatasan ini disebutkan juga dalam Undang-Undang Loh Dua Belas. Raja
Justinian memberikan batas maksimum besarnya riba sekitar 12% untuk para
pedagang dan sesamanya, sedang bagi para bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf
Yunani yang menentang riba ialah Plato dan Aristoteles.[1]
Di kalangan bangsa Yahudi, terdapat syari’at Nabi
Musa yang melarang mereka memungut riba atas piutang yang mereka berikan kepada
orang-orang miskin. Larangan tersebut berlaku juga bila mereka memberikan
pinjaman kepada orang-orang yang tidak sebangsa. Tetapi, ketentuan ini kemudian
mereka ubah, larangan memungut riba hanya mereka laksanakan di kalangan sesama
bangsa Yahudi, bila terdapat orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan
pinjaman uang harus mereka berikan, guna melonggarkan kesempitan-kesempitan
hidup yang dialami oleh saudaranya sesama bangsa Yahudi. Dalam sejarah berikutnya,
setelah perdagangan makin meluas, pasaran mereka pun ramai, maka berlakulah
kebiasaan utang-piutang dengan memakai riba dan jaminan barang (gadai).
B. Pengertian
Riba
Secara Lughowi
(bahasa), riba memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut :
a. Tambahan
(Ziyadah), karena salah satu
perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang diutangkan. Ziyadah disini ialah tambahan atas
modal, baik pertambahan ini sedikit maupun banyak.[2]
b. Berkembang,
berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau
yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba
menurut Syaikh Muhammad Abduh ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan.
C. Macam-macam
Riba
Menurut Ibnu al-Jauziyah dalam kitab “I’lam al-Muwaqi’in Rab al-‘Alamin” yang
dikutip oleh Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali dan riba khafi. Riba jali
sama dengan riba nasi’ah, sedangkan riba khafi merupakan jalan yang
menyampaikan kepada riba jali.[3] Sedangkan
menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah Riba jali
adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba khafi adalah riba yang tersembunyi bahaya dan mudaratnya.
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat
macam, yaitu fadhli, qardhi, yad, dan nasa’.
Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu fadli, nasa’ dan yad. Adapun riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana
dan M. Karman, riba terbagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut :
1. Riba
Fadhli
Yaitu
tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda,
misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis, misalnya
beras dengan beras, uang dengan uang, emas dengan emas.
2. Riba
Qardi
Yaitu
utang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seseorang
berutang Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,- atau seperti
rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.
3. Riba
Yadh
Yaitu
jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari
si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun, sebab barang yang
dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.
4. Riba
Nasa’i
Yaitu
melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena
dilambatkan waktu pembayaran. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika
dijual tunai, dan menjual seharga Rp. 300.000,- jika diangsur (kredit).[4]
D. Dalil
Riba
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al qur’an,
dan As-sunnah.
1. Dalam
Al-Qur’an Allah ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
[QS. Al-Baqarah: 275].
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
2. Dalam
As-Sunnah Rasulullah saw. Bersabda :
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ
سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, dan orang tersebut
mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam
kali zina.”[ riwayat Ahmad].
E. Sebab-sebab
Diharamkannya Riba
1. Riba
menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya seperti
seseorang menukarkan uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp.950,00
maka uang senilai Rp.50,00 tidak ada imbangannya, maka uang senilai Rp.50,00
adalah riba.
2. Dengan
melakukan riba, orang menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba
sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang
karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada kita harus bekerja dengan susah payah.
Seperti orang yang memiliki uang Rp.1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan
ia memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang
tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan, sebesar
Rp.20.000.000,00.
3. Riba
menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara piutang
atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras
orang miskin daripada menolong orang miskin.
F. Hal-Hal
yang Menimbulkan Riba
Dalam pelaksanaannya, masalah riba
diawali dengan adanya rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap
besar dan menggiurkan. Dalam kaitan ini Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti
seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas dan perak
dengan sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan
gabah, dan yang lainnya, maka disyaratkansebagai berikut.
1. Sama
nilainya (tamsul).
2. Sama
ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya, maupun ukurannya.
3. Sama-sama
tunai (taqabut) di majelis akad.
Berikut
ini merupakan contoh-contoh riba pertukaran.
1. Seseorang
menukar langsung uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan Rp.9.950,00 uang Rp.50,00 tidak ada imbangannya atau
tidak tamasul, maka uang Rp.50,00 adalah riba.
2. Seseorang
meminjamkan uang sebanyak Rp.100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10
persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjaman adalah riba
sebab tidak ada imbangannya.
3. Seseorang
menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran
tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak
boleh dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual
terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
4. Seseorang
yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5
Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah
dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah
satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
5. Seseorang
yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba
walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram
emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk
riba sebab walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.
G. Hukum
Riba
Riba diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap
membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama
disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan
harta kepada salah seorang putera bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti
orang yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamau (ayat
25 pasal 22 kitab Keluaran). Jika
saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan
manfaat (ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat).
Al Qur’an menyinggung masalah riba dalam berbagai
tempat dan tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode
Makkah, turun firman Allah yang berbunyi :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
Pada
periode Madina, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelas yaitu
seperti tercantum dalam surat Al-Imran ayat 130 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
Riba
yang dimaksud dalam ayat diatas ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda
yang umumnya terjadi pada masyarakat Arab zaman Jahiliyah. Menurut sebagian
besar ulama, bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat
ganda.
H.
Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang ini masalah riba
sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjami merupakan asas pengembangan
harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan harta pada penguasaan
para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecildari seluruh
anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada
waktu bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga
kecil. Sehingga mengakibatkan, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil
pula.
Hal ini merupakan masalah
penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam siklus-siklus ekonomi.
Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi yang terjadi
berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa
penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman
modal atau dengan singkat biasa disebut riba. Riba dapat menimbulkan over
produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, sehingga
persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena
produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari
kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan pula jumlah pengangguran.
Lord Keynes pernah
mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga
yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan, bahwa negara
besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga
tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat
meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun hubungan antar
negara, aeperti Inggris dan Amerika Serikat.[5]
[1] Ahmad Ashar Basyir, Hukum Islam tentang Riba , Utang-piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1983), hlm.6 .
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A.
Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 117.
[3] Hendi Suhendi, Op. cit, hlm.61.
[4] Supiana dan dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, editor
Ahmad tafsir, (Bandung: Rosda Karya, 2004), cet ke-3, hlm. 123.
[5] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 64-65.