Sunday, 30 June 2013

RIBA DAN PROBLEMATIKANYA


A.    Riba dalam sejarah
Muamalah ribawiyah sesungguhnya telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir kuno, bangsa Yahudi, bangsa Romawi dan bangsa Yunani. Di kalangan bangsa Mesir kuno, terdapat dalam Undang-Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24 dari raja-raja zaman Fir’aun, yang menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh melebihi besarnya pokok harta yang dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka waktu pinjaman.
Di kalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba merupakan kebiasaan yang merata, dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada keinginan orang yang meminjamkan uang, Bahkan, di kalngan bangsa Romawi orang yang meminjamkan uang berhak memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak dapat memenuhi utangnya. Tetapi, kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan oleh Undang-Undang Solon yang membatasi besarnya riba maksimum 12 % dari pokok utang. Pembatasan ini disebutkan juga dalam Undang-Undang Loh Dua Belas. Raja Justinian memberikan batas maksimum besarnya riba sekitar 12% untuk para pedagang dan sesamanya, sedang bagi para bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf Yunani yang menentang riba ialah Plato dan Aristoteles.[1]
Di kalangan bangsa Yahudi, terdapat syari’at Nabi Musa yang melarang mereka memungut riba atas piutang yang mereka berikan kepada orang-orang miskin. Larangan tersebut berlaku juga bila mereka memberikan pinjaman kepada orang-orang yang tidak sebangsa. Tetapi, ketentuan ini kemudian mereka ubah, larangan memungut riba hanya mereka laksanakan di kalangan sesama bangsa Yahudi, bila terdapat orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan pinjaman uang harus mereka berikan, guna melonggarkan kesempitan-kesempitan hidup yang dialami oleh saudaranya sesama bangsa Yahudi. Dalam sejarah berikutnya, setelah perdagangan makin meluas, pasaran mereka pun ramai, maka berlakulah kebiasaan utang-piutang dengan memakai riba dan jaminan barang (gadai).

B.     Pengertian Riba
Secara Lughowi (bahasa), riba memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut :
a.       Tambahan (Ziyadah), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang diutangkan. Ziyadah disini ialah tambahan atas modal, baik pertambahan ini sedikit maupun banyak.[2]
b.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Syaikh Muhammad Abduh ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan.

C.     Macam-macam Riba
Menurut Ibnu al-Jauziyah dalam kitab “I’lam al-Muwaqi’in Rab al-‘Alamin” yang dikutip oleh Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasi’ah, sedangkan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali.[3] Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah Riba jali adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba khafi adalah riba yang tersembunyi  bahaya dan mudaratnya.
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadhli, qardhi, yad, dan nasa’. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fadli, nasa’ dan yad. Adapun riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba terbagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Riba Fadhli
Yaitu tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda, misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis, misalnya beras dengan beras, uang dengan uang, emas dengan emas.
2.      Riba Qardi
Yaitu utang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seseorang berutang Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,- atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.
3.      Riba Yadh
Yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun, sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.
4.      Riba Nasa’i
Yaitu melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena dilambatkan waktu pembayaran. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika dijual tunai, dan menjual seharga Rp. 300.000,- jika diangsur (kredit).[4]

D.    Dalil Riba
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al qur’an, dan As-sunnah.
1.      Dalam Al-Qur’an Allah ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. [QS. Al-Baqarah: 275].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
2.      Dalam As-Sunnah Rasulullah saw. Bersabda :
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, dan orang tersebut mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam kali zina.”[ riwayat Ahmad].

E.     Sebab-sebab Diharamkannya Riba
1.      Riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp.950,00 maka uang senilai Rp.50,00 tidak ada imbangannya, maka uang senilai Rp.50,00 adalah riba.
2.      Dengan melakukan riba, orang menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada  kita harus bekerja dengan susah payah. Seperti orang yang memiliki uang Rp.1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan, sebesar Rp.20.000.000,00.
3.      Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara piutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.

F.      Hal-Hal yang Menimbulkan Riba
Dalam pelaksanaannya, masalah riba diawali dengan adanya rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap besar dan menggiurkan. Dalam kaitan ini Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas dan perak dengan sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah, dan yang lainnya, maka disyaratkansebagai berikut.
1.      Sama nilainya (tamsul).
2.      Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya, maupun ukurannya.
3.      Sama-sama tunai (taqabut) di majelis akad.
Berikut ini merupakan contoh-contoh riba pertukaran.
1.      Seseorang menukar langsung uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan Rp.9.950,00  uang Rp.50,00 tidak ada imbangannya atau tidak tamasul, maka uang Rp.50,00 adalah riba.
2.      Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp.100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.
3.      Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
4.      Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
5.      Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.

G.    Hukum Riba
Riba diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah seorang putera bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamau (ayat 25 pasal 22 kitab Keluaran). Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah.  Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat (ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat).
Al Qur’an menyinggung masalah riba dalam berbagai tempat dan tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode Makkah, turun firman Allah yang berbunyi :
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
            Pada periode Madina, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelas yaitu seperti tercantum dalam surat Al-Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
            Riba yang dimaksud dalam ayat diatas ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umumnya terjadi pada masyarakat Arab zaman Jahiliyah. Menurut sebagian besar ulama, bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.

H.    Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang ini masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjami merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecildari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga kecil. Sehingga mengakibatkan, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi yang terjadi berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat biasa disebut riba. Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan pula jumlah pengangguran.
Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan, bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun hubungan antar negara, aeperti Inggris dan Amerika Serikat.[5]


[1] Ahmad Ashar Basyir, Hukum Islam tentang Riba , Utang-piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1983), hlm.6 .
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 117.
[3] Hendi Suhendi, Op. cit, hlm.61.
[4] Supiana dan dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, editor Ahmad tafsir, (Bandung: Rosda Karya, 2004), cet ke-3, hlm. 123.
[5] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 64-65.