A.
Pengertian Hawalah
Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca
fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil
yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan).
Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari
tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah
pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain[1]
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah
adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar
hutang).
Batasan
ini dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang
kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih
menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya
dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada
A bahwa ia memiliki piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada
A dan ia dapat menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu
menyepakati perjanjian hawalah dahulu.[2]
B.
Landasan
syariah Akad Hawalah
Pengalihan
penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum
Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum
Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Hawalah dibolehkan berdasarkan :
1. As-Sunnah.
Rasulullah SAW bersabda : ” Menunda-nunda
pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan
apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang
mampu, hendaklah ia menerima” H. R. Ahmad dan Abi Syaibah. Karena itu
menurut Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak
penagihannya wajib menerima akad hawalah. Hanya saja jumhur ulama tidak
mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini mempunyai
kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu kewajiban yang
harus diikuti.
2. Ijma
ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah
dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah
perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban financial.[3]
C.
Rukun Hawalah
Menurut
madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan
qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama
rukun hawalah ada 6 macam yaitu:
1.
Muhil (orang yang memindahkan
penagihan yaitu orang yang berhutang)
2.
Muhal (orang yang dipindahkan hak
penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang)
3.
Muhal alaih (orang yang
dipindahkan kepadanya objek penagihan)
4.
Muhal bih (hak yang dipindahkan
yaitu hutang)
5.
Piutang Muhil pada Muhal alaih
6.
Shighot
Dalam
contoh di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A dan Muhal alaih adalah C. Dalam
akad hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan
hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak
penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui
dengan mengucapkan ” Kami setuju”. Dengan demikian akad hawalah tersebut dapat
dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.[4]
D.
Jenis-jenis Hawalah
Ada dua jenis hawalah yaitu :
1.
Hawalah Muthlaqoh terjadi jika
orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua)
mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga
ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan
hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang
kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi
dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai
kafalah.
2.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jika
Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir
punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
Ketiga
madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada
muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu
piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang.
Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang
tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika
piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang
lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada
hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah
diterangkan di depan.
E.
Aplikasi dalam perbankan
Kontrak hawalah dalam
perbankan biasanya diterapkan pada hal – hal berikut :
a.
Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.
Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
c.
Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan
hawalah . hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak
hawalah.
F.
Manfaat Hawalah
Akad Hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan
keuntungan diantaranya :
a. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan
simultan
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
c. Dapat menjadi salah satu fee-based/sumber
pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah
Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah
adalah adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi
kewajiban hawalah ke bank.
G. Akad hiwalah berakhir
Akad hiwalah berakhir jika
terjadi hal-hal berikut[5] :
1.
Salah satu pihak yang melakukan
akad tersebut membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap
2.
Pihak ketiga melunasi hutang yang
dialihkan kepada pihak kedua
3.
Jika pihak kedua meninggal dunia
sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua
4.
Pihak kedua menghibahkan atau
menyedekakahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada
pihak ketiga
5.
Pihak kedua membebaskan pihak
ketiga dari kewajiban untuk membayar hutan gyang dialihkan tersebut
6.
Menurut madzab hanafi hak pihak
kedua tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit atau meninggal
dunia dalam keadaan pailit
Sedangkan
menurut madzab maliki, syafi’I dan hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku
tetap karena persyaratna sudah dipenuhi amka akad hiwalah itu tidak dapat
berakhir dengan alasan mengalami pailit
H. Definisi Syuf’ah
Menurut
bahasa, syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti dhamm’ percampuran’.
syuf’ah sendiri merupakan praktik yang popular di kalangan orang-orang Arab.
Pada zaman Jahiliah, seseorang yang ingin menjual rumah atau kebun didatangi
oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang
dijualnya. Kemudian ia menjualkan kepadanya dengan memprioritaskan yang lebih dekat
hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonanya disebut syafi’.
Menurut
syariat, syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh syafi’, sebagai pengganti
dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai
dan sistem pembayaran oleh pembeli lain.
I.
Landasan Hukum Syuf’ah
Dasar hukum syuf’ah adalah Sunnah,
dan umat Islam telah sepakat akan pensyariatannya. Bukhari meriwayatkan dari
Jabir ibn Abdullah bahwa Rasulullah saw. Menatapkan syuf’ah untuk barang yang
pembagian kepemilikannya belum jelas. Apabila telah ada batasannya secara jelas
dan dapat dibedakan, maka tidak lagi berlaku syuf’ah.
J.
Hikmah Syuf’ah
Islam
mensyariatkan syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan.
Hak kepemilikan syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat
mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lain yang baru saja ikut
serta.
Imam
Syafi’i memilih pendapat bahwa yang dimaksud dengan mudharat adalah kerugian
biaya pembagian, risiko adanya pihak baru yang ikut serta dan lainnya. Ada juga
ulama yang berpendapat bahwa maksud kemudharat adalah risiko persekutuan.
K.
Syarat-Syarat
Syuf’ah
Adapun syarat-syarat syuf’ah
adalah sebagai berikut :
1.
barang yang disyuf’ahkan adalah harta tak bergerak,
seperti tanah atau rumah, sedangkan yang berkaitan dengan harta tetap,
misalnya: tanaman, bangunan, pintu, atap sumah. Semua contoh tersebut yang
tarmasuk dalam penjualan pada saat dialihkan kepemilikannya.
2.
pihak pembeli secara syuf’ah adalah mitra dalam
barang kongsian tersebut. Disyaratkan pula bahwa perkongsian mereka lebih
dahulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak ada batasan yang jelas antara hak milik
keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
3.
barang syuf’ah hilang status kepemilikannya melalui
transaksi penjualan, atau transaksi lain yang semakna dengan “penjualan”,
seperti pernyataan sebagaimana jalan damai atau adanya faktor jinayat yang mengharuskan
penjualan dengan cara penggantian tertentu, karena semua itu pada hakikatnya
merupakan transaksi penjualan. Dengan demikian, tidak ada syuf’ah untuk barang yang
berpindah kepemilikan melalui transaksi selain jual beli, seperti barang yang
dihibah tanpa ganti, diwariskan.
4.
bagi pihak syafi’, diharuskan untuk bersegera.
Maksudnya, apabila pihak syafi’ mengetahui adanya penjualan, maka wajib baginya
meminta bagian dengan segera sepanjang memungkinkan. Jika ia telah
mengetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi
gug ur.Apabila syafi’ tidak meminta haknya dengan segera atau mengulur waktu
permintaan, maka itu akan menimbulkan mudharat bagi pihak pembeli. Di akan merasa
bahwa kepemilikannya terhadap barang yang dijual belum bersifat tetap sehingga
barang itu tidak dikelola atau dikembangkan, karena khawatir akan tersia-sia
usahanya dan takut diambil dengan cara syuf’ah.
5.
syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah
harga sesuai yang telah diakadkan. Lalu syafi’mengambil syuf’ah harga yang
sama, apabila jual beli itu mislian, atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
L. Tindakan Pihak Pembeli
Pihak pembeli berhak melakukan tarnsaksi apa pun atas barang
yang telah dibelinya sepanjang syafi’ belum menerima syuf’ahnya, karena ia
bertindak terhadap hal miliknya sendiri. Apabila pihak pembeli menjualnya lagi,
maka syafi’ berhak mendapatkan barang tersebut melalui salah satu dari dua
penjualan itu.
Jika pihak pembeli menghibahkan, mewakafkan, menyedekahkan,
atau menjadikannya sebagai sumbangan dan seumpamanya, maka tidak ada syuf’ah,
karena akan menimbulkan kemudharatan akibat pelepasan kepemilikan tanpa ada
pengantian. Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.
Akan tetapi, jika transaksi pihak pembeli itu dilakukan
setelah syafi’ mengambil bagian syuf’ah, maka transaksi itu batal dan tidak
sah, lantaran adanya hak pemindahan milik kepada syafi’ dengan permintaan.
M. Pembeli Mendirikan Bagunan
Sebelum Hak Syuf’ah
Apabila pihak pembeli mendirikan bagunan atau menanam
pohon pada bagian syuf’ah sebelum ditentukan
bagian syuf’ah-nya, kemudian syafi’ meminta hak atas syuf’ah, maka
menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, “Syafi’ harus mengganti nilai bangunan
serta nilai pohon apabila dalam keadaan tercabut atau rusak.”
Imam Malik mengatakan, “Tidak ada syuf’ah, kecuali
pihak pembeli memberikan senilai apa yang telah ia bangun dan tanami.”
[1] Agustianto. Hiwalah/Hawalah.
Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan Universitas Paramadina.
Jakarta. 2008
[3] Wahbah
az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa
Adillatuhu (Beirut : Darul-Fikr, 1989), vol.VI, hlm : 4189
[5] M. Ali
hasan, berbagai macam transaksi dalam islam
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 225