. Teori
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah
adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber
daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Arsyad, 1999 : 108).
Pembangunan
regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama
kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi,
penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor
returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari
daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.
Pembangunan
ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan
pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan
kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005 dalam Manik,
2009 : 32).
Pertumbuhan
ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan
yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value
added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).
Perhitungan
pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga berlaku. Namun agar dapat
melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, harus
dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Pendapatan
wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di
daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti
secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu
wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah
tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian
pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar
wilayah.[1]
Ada beberapa teori pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis
Ekspor; (2) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (3) Teori Pusat
Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model
Interregional.
1. Teori Basis Ekspor
Teori Basis Ekspor (Export Base
Theory) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan kemudian dikembangkan
oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan
yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan
service (non-basis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya
tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus
berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan
non-basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu
sendiri.
Teori basis ekspor menggunakan dua
asumsi, yaitu, Asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya
unsur eksogen (independent) dalam pengeluaran, artinya semua unsur
pengeluaran lain terikat (dependent) terhadap pendapatan. Secara tidak
langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor
saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain
terikat oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila
pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah bahwa
fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan
berpotongan.
Beberapa hal penekanan dalam model
teori basis ekspor yaitu, antara lain :
a.
Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk
dapat tumbuh dengan cepat, sebab faktor penentu pertumbuhan daerah adalah keuntungan
komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh daerah tersebut;
b. Pertumbuhan
ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan
memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor;
c. Ketimpangan
antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing
daerah.
Model teori basis
ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sebagai
berikut :
a. Menurut
Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu
daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil
apabila dibandingkan dengan total pendapatan.
b. Ekspor
jelas bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada
banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti :
pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas
tenaga kerja.
c. Dalam
melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh
adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata
untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila nilai multiplier
dari tahun ke tahun.
d. Beberapa
pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi
maka masalah time lag (masa tenggang) harus diperhatikan.
e. Ada kasus
dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil.
Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam
kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan lainnya.
Harry W. Richardson
dalam bukunya Elements of Regional Economics (Tarigan, 2005 : 56)
memberi uraian sebagai berikut:
dimana :
Yi =
pendapatan daerah
Ei =
pengeluaran daerah
Mi = impor
daerah
Xi = ekspor
daerah
2. Teori
Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori pertumbuhan
jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955
(Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah
perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan
dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor
itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan
kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang
lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk
perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus
bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut
akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara
keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor- sektor adalah membuat
sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung. menggabungkan kebijakan
jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait akan mampu
membuat perekonomian tumbuh cepat.
Selain itu perlu
diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi (Schumpeter dan ahli lainnya) yang
mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship)
dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan
mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan
kerja yang bertambah setiap tahunnya.
3. Teori Pusat
Pertumbuhan
Teori Pusat
Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat
menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara
sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat
untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu
teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan
wilayah dan perkotaan terpadu.
Dalam suatu wilayah,
ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut
dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat
pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya,
daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang
(hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.Keuntungan
berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor
skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of
localization) (Tarigan, 2005 : 159). Economic of scale adalah
keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga
produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economic
of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat
berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar
kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan
listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media
untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.
Hubungan antara kota
(daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat dibedakan sebagai
berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling menguntungkan atau saling
mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di
belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi dimana daerah kota
(daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah
belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di
daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota (daerah
yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang
lebih terbelakang.
Pusat pertumbuhan
harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur
pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan
daerah belakangnya (Tarigan, 2005 : 162).
4. Teori Neoklasik
Teori Neoklasik (Neo-classic
Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964), kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam negara yang sedang
berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan
kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence),
sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka
perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence).
Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum
lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan
belum dapat terjadi.
Teori ini
mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang
menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan
teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam
pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap
pertumbuhan regional.
5. Model Kumulatif
Kausatif
Model kumulatif
kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar Myrdal
(1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini
menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread
Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan
yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin.
Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap
produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Namun
Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada back
wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut
terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai
nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk
daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan
pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin
menonjol.
6. Model
Interregional
Model ini merupakan
perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor yang bersifat
eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu sendiri tanpa
memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan dampak dari
daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional (Tarigan,
2005 : 58).
Dalam model ini
diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran pemerintah dan investasi juga
bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari
beberapa daerah yang berhubungan erat. Dengan memanipulasi rumus pendapatan
yang pertama kali ditulis Keynes, oleh Richardson merumuskan model
interregional ini menjadi :
dimana :
Yi =
regional income
Ci =
regional consumption
Ii =
regional investment
Gi =
regional government expenditure
Xi =
regional exports
Mi =
regional import
Sumber-sumber
perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat berasal dari :
a. Perubahan
pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan pengeluaran pemerintah,
b. Perubahan
pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu
sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor,
c. Perubahan
salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat konsumsi marjinal,
koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marjinal).
B. Ketimpangan Pembangunan
Daerah dan Penyebabnya
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi
daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity). Peningkatan
pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu
daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan
bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di negara-negara
berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada
tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati
sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati
secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah
terjadi ketimpangan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk ketimpangan dalam
pembangunan daerah yaitu: Distribution income disparities atau ketimpangan
distribusi pendapatan penduduk, dan Regional Income Disparities atau ketimpangan
pendapatan antar daerah. Faktor – faktor penyebab ketimpangan antara lain:[2]
1. Konsentrasi kegiatan ekonomi
Konsentrasi
kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu factor
yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi yang
daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat,
sedangkan daerah yang tingkat ekonominya rendah cenderung pertumbuhan
ekonominya lebih rendah
2. Alokasi
investasi
Distribusi investasi langsung baik
luar negeri maupun dalam negeri mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena dengan
adanya investasi langsung, daerah bisa membangun sarana dan prasarana penunjang
pertumbuhan ekonomi misalnya jalan dan transportasi.
3. Mobilitas
antar factor produksi
Kehadiran buruh migrant kelas bawah
adalah tanda semakin majunya suatu Negara, ini berlaku baik bagi migrant legal
dan illegal, ketika sebuah Negara semakin sejahtera, lapisan lapisan
masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tingi .
4. Perbedaan
sumber daya alam
Dasar pemikiran klasik mengatakan
bahwa daerah yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dengan daerah yang
sedikit memperoleh sumber daya alam. Tapi tanggapan ini belum tentu benar
karena tanpa dukungan sumber daya manusia dan teknologi yang ada daerah
tersebut tidak dapat dikelola dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Chapter II, (repository.usu.ac.id)
Rozie, Pembangunan Ekonomi Daerah, (http://lumanyun.blogspot.com/2011/10)