PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM AL
SYAIBANI
A. Riwayat Imam Al-Syaibani (132 H/750
M – 189 H/804 M)
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah
Muhammad bin
al-Hasan bin Farqad
al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasith, Ibu Kota Iraq pada masa
akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di
wilayah jazirah Arab. Di kota
Kufah ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama setempat,
seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin Maghul.
Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada
Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu ia berguru kepada Abu yusuf, salah
seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat
sebagai penyebar mazhab Hanafi.[1]
Dalam menuntut ilmu,
Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi
juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke
berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk
belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah
dan Auza;i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-Muwatta
pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran
fiqihnya.
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu
telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai
peranan yang penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut
ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi,
apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi
sebagai mazhab Negara.
Akibat
keluasan ilmunya, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota
Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian
mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan
fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H (804M) di kota al-Ray, dekat
Teheran, dalam usia 58 tahun.[2]
B. Guru dan kitab Imam
Al-Syaibani
1. Guru Imam Al-syaibani :
a. Abu Hanifah
b. Abu Yusuf
c. Sufyan as Sauri bin ‘Uyainah
d. Abdurrahman Al Auza’i
e. Malik bin Anas
2. Kitab yang dikarang Imam Al-Syaibani
a. Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab
yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam
Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok
pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam
pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir
ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’
al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar
as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam
kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah
keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini
kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi
(w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab
yang berjudul al-Kafi.
b. Al-Nawadir
Kitab-kitab
yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab
yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani
tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan
terhadap masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di
Riqqah (Irak).
Ar-Radd
‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang
Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum
dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya
setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini
melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi
oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan
dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala
Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani).
Al-Syaibani
telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab
(book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak
membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu
transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu
tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha
dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).
Prilaku
konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma
(charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk
transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order),
syirkah (partnership), dan mudharabah. Biku yang ditulis Al-Syaibani ini
mengandung tinjauan normative sekaligus positif.
Dan buku
al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup
semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin,
musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang
tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang
musyrik, keamanan
mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-kuda
perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan
perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh
musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran
perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan
musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai.
Al-Syaibani
bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan
Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum
yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penaklukan wilayah yang mereka lakukan. Dia
juga menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun al-Rayid
terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar
hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap
buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi
hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan
negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah
seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.[3]
C. Konsep teori yang dikemukakan Imam
Al-Syaibani
Pemikiran
ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang
lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang
pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian
mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya
serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitab ini merupakan kitab pertama di
dunia Islam yang membahas permasalahan ini. Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani
sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi dalam islam.
Hal yang dibahas Al-syaibani antara lain:
1.
Al-Kasb
(kerja)
Kerja
merupakan hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia.
Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi
kehidupanya. Dan manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah. Menurut
Al-Syaibani al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui
berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam
aktivitas produksi.
Dalam
ekonomi islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.
Perbedaannya adalah kalau dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang
menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena
aktivitas produksi sangat erat terkait dengan halal haramnya sesuatu barang
atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan
jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam
memproduksi, kita harus mengetahui apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara
memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan
kepada siapa produk akan dituju. Itu semua harus kita ketahui agar terhindar
dari produksi yang dilarang oleh islam.
Produksi
barang atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai
utilitas (nilai guna). Dalam islam, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya
mengandung kemaslahatan. Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan hanya dapat
dicapai dengan memelihara ilmu unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Konsep
maslahat merupakan kosep yang objektif terhadap prilaku produsen karena
ditentukan oleh tujuan (maqashid) syari’ah yaitu memelihara kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat. Sedang kosep ekonomi konvensional menganggap
bahwa suatu barang dan jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Maksudnya dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh
keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subyektif tanpa menghiraukan akhirat. Dan
tidak tau halal atau haram produk tersebut.
Dalam
pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan
‘Imarul Kaum, yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.
Asy-Syaibani menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan
ibadah kepada Allah AWT dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ada
dalil-dalil yang menegaskannya,
yaitu:
a. Firman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
b. Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”
c. Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab
r. a.
Lebih
mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya
lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt
di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan
orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui
firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan
Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20).[4]
2. Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al
Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya,
sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa
apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas
pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah
lebih baik bagi mereka.
sifat-sifat
fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi
meminta-minta (kafalah). Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya
berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya
hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk
kebaikan.[5]
3. Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian
Menurut Al-syaibani, usaha-usaha
perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan,
pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi
tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut
usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian
tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain.
Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat
menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian
merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dari segihukum, Al-Syaibani membagi
usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.
Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang
mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan
jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur
berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam
kesengsaraan.
Barbagai
usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu
mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan
orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, akan menimbulkan kebinasaan bagi dirinya dan
tanggungannya.[6]
4. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang
tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum
,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain mengatakan bahwa kempat
hal ini adalah tema ekonomi.
5. Spesialisasi dan Distribusi
Pekerjaan
Al-syaibani
menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia
tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak
akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan
manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT
memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu
diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi
akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat
bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat
az-Zukhruf ayat 32
Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka
atas
sebagian yang lain beberapa derajad,”
Dan Allah berfirman dalam Qur’an surat al-Maidah ayat :
2
Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”
Rasulullah
saw bersabda:
“ sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama
hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Selain itu
Al-syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan
ketaatan kepada-Nya atau membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi
ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti
di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan,
yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.[7]
DAFTAR
PUSTAKA
Azhar
Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Karim,
Adimarwan. 2006. Sejarah Pemikiran
Ekonomi. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Karim, Adimarwan. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Revisi III. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Amalia,
Euis. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer.
Jakarta : Granada Press.
Sudarsono, Heri.
2002. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta
: Ekonisia.
Chamid,
Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:
pustaka pelajar.
[2]
Ibid, hlm. 232
[3]
Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Revisi III,
( Jakarta:
Raya Grafindo Persada
, 2001
), hal 231
- 238
[4]
Adimarwan Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:P.T. Grafindo Persada.
2004),
hal. 232-235
[5]
Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi, (Jakarta: Raya Grafindo
Persada, 2006), hal. 237-238
[6]
Ibid, hal. 238
[7]
Ibid, hal. 239 - 240