Tuesday, 14 May 2013

Imam Al Syaibani


PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM AL SYAIBANI

A.    Riwayat Imam Al-Syaibani (132 H/750 M – 189 H/804 M)
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasith, Ibu Kota Iraq pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah jazirah Arab. Di kota Kufah ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin Maghul. Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu ia berguru kepada Abu yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.[1]
Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza;i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-Muwatta pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan yang penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara.
Akibat keluasan ilmunya, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H (804M) di kota al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.[2]
B.     Guru dan kitab  Imam Al-Syaibani
1.      Guru Imam Al-syaibani :
a.       Abu Hanifah
b.      Abu Yusuf
c.       Sufyan as Sauri bin ‘Uyainah
d.      Abdurrahman Al Auza’i
e.       Malik bin Anas
2.      Kitab yang dikarang Imam Al-Syaibani
a.       Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b.      Al-Nawadir
Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). 

Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).

Al-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).

Prilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Biku yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif.

Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin, musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, keamanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai.

Al-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penaklukan wilayah yang mereka lakukan. Dia juga menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.[3]
C.    Konsep teori yang dikemukakan Imam Al-Syaibani
Pemikiran ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitab ini merupakan kitab pertama di dunia Islam yang membahas permasalahan ini. Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi dalam islam.
Hal yang dibahas Al-syaibani antara lain:
1.      Al-Kasb (kerja)
Kerja merupakan hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kehidupanya. Dan manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah. Menurut Al-Syaibani al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam aktivitas produksi.

Dalam ekonomi islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Perbedaannya adalah kalau dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat erat terkait dengan halal haramnya sesuatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam memproduksi, kita harus mengetahui apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan kepada siapa produk akan dituju. Itu semua harus kita ketahui agar terhindar dari produksi yang dilarang oleh islam.

Produksi barang atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai utilitas (nilai guna). Dalam islam, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya mengandung kemaslahatan. Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara ilmu unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Konsep maslahat merupakan kosep yang objektif terhadap prilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syari’ah yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedang kosep ekonomi konvensional menganggap bahwa suatu barang dan jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Maksudnya dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subyektif tanpa menghiraukan akhirat. Dan tidak tau halal atau haram produk tersebut.

Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan ‘Imarul Kaum, yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Asy-Syaibani menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah AWT dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ada dalil-dalil yang menegaskannya, yaitu:
a.       Firman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
b.      Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”
c.       Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a.
Lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20).[4]
2.    Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.
sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah). Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk kebaikan.[5]

3.    Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian
Menurut Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dari segihukum, Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan.
Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, akan menimbulkan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.[6]
4.    Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.
5.    Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat az-Zukhruf ayat 32
Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajad,”
Dan Allah berfirman dalam Qur’an surat al-Maidah ayat : 2
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”
Rasulullah saw bersabda:
“ sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Selain itu Al-syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.[7]




DAFTAR PUSTAKA

Azhar Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Karim, Adimarwan. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Karim, Adimarwan. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Revisi III. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Amalia, Euis. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Jakarta : Granada Press.
Sudarsono, Heri. 2002. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta : Ekonisia.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: pustaka pelajar.


[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), hlm. 231
[2] Ibid, hlm. 232
[3] Adimarwan Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Revisi III, ( Jakarta: Raya Grafindo Persada , 2001 ), hal 231 - 238
[4] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:P.T. Grafindo Persada. 2004), hal. 232-235
[5] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi,  (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006),  hal. 237-238
[6] Ibid, hal. 238
[7] Ibid, hal. 239 - 240