A. Kewenangan Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang
beragama Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai
lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana
ditegaskan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islammengenai ‘perkara tertentu’
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu”
merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana
disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Penghapusan kata “perdata” disini
dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi
pengadilan agama.[1]
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu
kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan
pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.[2] Dengan
kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan
antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan
Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan
Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan
dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No.
7 Th. 1989.[3]
B. Pengertian Ekonomi
Syari’ah dan Macam-macamnya
Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam, yaitu ekonomi
berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah.Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah
yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah,
reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah,
pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis
syari’ah.
Ekonomi Syari’ah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia
dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.[4]
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya
tidak diubah dalam UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989
tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:
- Bank syari’ah
- Lembaga keuangan
mikro syari’ah
- Asuransi syari’ah
- Reasuransi syari’ah
- Reksadana syari’ah
- Obligasi syari’ah dan
surat berharga berjangka menengah syari’ah
- Sekuritas syari’ah
- Pembiayaan syari’ah
- Pegadaian syari’ah
- Dana pensiun lembaga
keuangan syari’ah, dan
- Bisnis syari’ah
Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut
dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan
11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya
yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata antara lain yang menunjukkan
bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai
contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi
syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan
pengertian ekonomi syari’ah.
Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut penjelasan pasal tersebut di
atas antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang
beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh
nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dan atau bank-bank
konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka dengan sendirinya terikat
dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun
dalam hal penyelesaian perselisihannya.[5]
C. Terjadinya Sengketa
Ekonomi Syari’ah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank
syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap
perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
- Kelalaian Bank untuk
mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah
- Bank mengurangi
nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
- Nasabah melakukan
kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut
syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan
lain-lain
- Pengadilan agama
berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan
wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni:
- Sengketa di bidang
ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah
dengan nasabahnya,
- Sengketa di bidang
ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
- Sengketa di bidang
ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad
perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan
adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan
Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif
kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).[6]
D. Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah
- Perdamaian (Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan
perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian,
prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali
kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala
persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura)
untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah
yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi
persoalan para pihak dapat diselesaikan.
- Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal
keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak,
juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator).
Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri
ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/
sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
- Lembaga Peradilan
Syari’ah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989
tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga
Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan
wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49).
Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan
penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu)
dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga
peradilan (qadha).[7]
Contoh Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah
Contoh sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank
syari’ah. Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual
beli) kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan.
Kedua bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit
kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah
satu bank syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut
fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah
tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai
kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah
tidak bersedia membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah
baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank
Syari’ah memilih untuk diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa
mendapatkan keuntungan sekitar Rp 250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum
Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI
dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam
kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.[8]
[1] Jaenal
Aripin, Peradilan Agama dalam
Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2008) hlm. 343
[2] Roihan
A Rosyd, Hukum Acara Peradilan
Agama, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003) hlm. 25-27
[3] Abdullah
Tri Whyudi, Peradilan Agama di
Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 87
[5] Ahmad
Mujahidin, Prosedur
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 18-19.
[8] Ahmad
Mujahidin, Prosedur
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 42
No comments:
Post a Comment