Pages

Sunday, 9 June 2013

Hawalah dan Syuf’ah


A.      Pengertian Hawalah
              Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain[1]
            Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
              Batasan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada A bahwa ia memiliki piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada A dan ia dapat menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu menyepakati perjanjian hawalah dahulu.[2]
B.       Landasan syariah Akad Hawalah
              Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Hawalah dibolehkan berdasarkan :
1.      As-Sunnah.
Rasulullah SAW bersabda : ” Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima” H. R. Ahmad dan Abi Syaibah. Karena itu menurut Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak penagihannya wajib menerima akad hawalah. Hanya saja jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini mempunyai kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti.
2.      Ijma
             ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban financial.[3]
C.      Rukun Hawalah
              Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada 6 macam yaitu:
1.         Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang)
2.         Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang)
3.         Muhal alaih (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan)
4.         Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang)
5.         Piutang Muhil pada Muhal alaih
6.         Shighot
              Dalam contoh di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A dan Muhal alaih adalah C. Dalam akad hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui dengan mengucapkan ” Kami setuju”. Dengan demikian akad hawalah tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.[4]
D.      Jenis-jenis Hawalah
              Ada dua jenis hawalah yaitu :
1.         Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
2.         Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
             Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
             Hawalah Haq
             Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
             Hawalah Dayn
             Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
E.       Aplikasi dalam perbankan
              Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal – hal berikut :
a.       Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.       Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah . hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.
F.       Manfaat  Hawalah
       Akad Hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan diantaranya :
a.       Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan
b.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
c.       Dapat menjadi salah satu fee-based/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah
       Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.

G.      Akad hiwalah berakhir
Akad hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut[5] :
1.         Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap
2.         Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua
3.         Jika pihak kedua meninggal dunia sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua
4.         Pihak kedua menghibahkan atau menyedekakahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga
5.         Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar hutan gyang dialihkan tersebut
6.         Menurut madzab hanafi hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit atau meninggal dunia dalam keadaan pailit
Sedangkan menurut madzab maliki, syafi’I dan hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratna sudah dipenuhi amka akad hiwalah itu tidak dapat berakhir dengan alasan mengalami pailit
H.      Definisi Syuf’ah
              Menurut bahasa, syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti dhamm’ percampuran’. syuf’ah sendiri merupakan praktik yang popular di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman Jahiliah, seseorang yang ingin menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang dijualnya. Kemudian ia menjualkan kepadanya dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonanya disebut syafi’.
              Menurut syariat, syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh syafi’, sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai dan sistem pembayaran oleh pembeli lain.
I.         Landasan Hukum Syuf’ah
              Dasar hukum syuf’ah adalah Sunnah, dan umat Islam telah sepakat akan pensyariatannya. Bukhari meriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah bahwa Rasulullah saw. Menatapkan syuf’ah untuk barang yang pembagian kepemilikannya belum jelas. Apabila telah ada batasannya secara jelas dan dapat dibedakan, maka tidak lagi berlaku syuf’ah.
J.        Hikmah Syuf’ah
              Islam mensyariatkan syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan. Hak kepemilikan syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lain yang baru saja ikut serta.
              Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang dimaksud dengan mudharat adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baru yang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemudharat adalah risiko persekutuan.
K.      Syarat-Syarat Syuf’ah
              Adapun syarat-syarat syuf’ah adalah sebagai berikut :
1.         barang yang disyuf’ahkan adalah harta tak bergerak, seperti tanah atau rumah, sedangkan yang berkaitan dengan harta tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu, atap sumah. Semua contoh tersebut yang tarmasuk dalam penjualan pada saat dialihkan kepemilikannya.
2.         pihak pembeli secara syuf’ah adalah mitra dalam barang kongsian tersebut. Disyaratkan pula bahwa perkongsian mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak ada batasan yang jelas antara hak milik keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
3.         barang syuf’ah hilang status kepemilikannya melalui transaksi penjualan, atau transaksi lain yang semakna dengan “penjualan”, seperti pernyataan sebagaimana jalan damai atau adanya faktor jinayat yang mengharuskan penjualan dengan cara penggantian tertentu, karena semua itu pada hakikatnya merupakan transaksi penjualan. Dengan demikian, tidak ada syuf’ah untuk barang yang berpindah kepemilikan melalui transaksi selain jual beli, seperti barang yang dihibah tanpa ganti, diwariskan.
4.         bagi pihak syafi’, diharuskan untuk bersegera. Maksudnya, apabila pihak syafi’ mengetahui adanya penjualan, maka wajib baginya meminta bagian dengan segera sepanjang memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi gug ur.Apabila syafi’ tidak meminta haknya dengan segera atau mengulur waktu permintaan, maka itu akan menimbulkan mudharat bagi pihak pembeli. Di akan merasa bahwa kepemilikannya terhadap barang yang dijual belum bersifat tetap sehingga barang itu tidak dikelola atau dikembangkan, karena khawatir akan tersia-sia usahanya dan takut diambil dengan cara syuf’ah.
5.         syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan. Lalu syafi’mengambil syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu mislian, atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
L.       Tindakan Pihak Pembeli
              Pihak pembeli berhak melakukan tarnsaksi apa pun atas barang yang telah dibelinya sepanjang syafi’ belum menerima syuf’ahnya, karena ia bertindak terhadap hal miliknya sendiri. Apabila pihak pembeli menjualnya lagi, maka syafi’ berhak mendapatkan barang tersebut melalui salah satu dari dua penjualan itu.
              Jika pihak pembeli menghibahkan, mewakafkan, menyedekahkan, atau menjadikannya sebagai sumbangan dan seumpamanya, maka tidak ada syuf’ah, karena akan menimbulkan kemudharatan akibat pelepasan kepemilikan tanpa ada pengantian. Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.
              Akan tetapi, jika transaksi pihak pembeli itu dilakukan setelah syafi’ mengambil bagian syuf’ah, maka transaksi itu batal dan tidak sah, lantaran adanya hak pemindahan milik kepada syafi’ dengan permintaan.
M.     Pembeli Mendirikan Bagunan Sebelum Hak Syuf’ah
              Apabila pihak pembeli mendirikan bagunan atau menanam pohon pada bagian syuf’ah sebelum ditentukan  bagian syuf’ah-nya, kemudian syafi’ meminta hak atas syuf’ah, maka menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, “Syafi’ harus mengganti nilai bangunan serta nilai pohon apabila dalam keadaan tercabut atau rusak.”
              Imam Malik mengatakan, “Tidak ada syuf’ah, kecuali pihak pembeli memberikan senilai apa yang telah ia bangun dan tanami.”


[1] Agustianto. Hiwalah/Hawalah. Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan Universitas Paramadina. Jakarta. 2008
                   [2]  http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/15/hawalah/

[3] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Beirut : Darul-Fikr, 1989), vol.VI, hlm : 4189
[5] M. Ali hasan, berbagai macam transaksi dalam islam  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 225

No comments:

Post a Comment