A.
Pengertian Asuransi
Asuransi pada awalnya merupakan konsep persiapan
yang dibuat sekelompok orang yang menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu
yang tidak dapat diduga. Apabila sesuatu kerugian itu menimpa salah seorang
dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan
ditanggung bersama oleh mereka.
Menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian mendefinisikan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Sedangkan dalam pasal 246 KUHD, disebutkan bahwa
“asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu[2]
Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya
tiga unsur pokok dalam asuransi yaitu bahaya yang dipertanggungkan, premi
pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Bahaya yang
dipertanggungkan sifatnya tidak pasti terjadi. Premi pertanggungan pun tidak
mesti sesuai dengan yang tertera dalam polish. Jumlah uang santunan atau ganti
rugi sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih besar daripada premi yang
dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
B.
Operasional Asuransi
Operasional perasuransian secara umum meliputi
beberapa operasional antara lain sebagai berikut : [3]
1.
Aqad
-
Aqad juga merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya
suatu transaksi. Demikian halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan
peserta harus jelas. Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong
menolong (Takaful)
-
Syarat dalam transaksi jual beli
adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang dijual belikan, pada
asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang diperoleh, yang dipersoalkan
adalah berapa premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi. Padahal
hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan
diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan
tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah SWT yang tahu kapan kita
meninggal.
-
Dengan demikian aqad jual beli
dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah karena tidak jelas (Gharar).
Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polish (pada Product
Saving) atau berapa besar yang diterima pemegang polish (pada Product
Non Saving)
2.
Gharar
a.
Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang yang akibatnya
tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling kita takuti. Apabila tidak
lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar.
Oleh karena itu, ulama berpendapat
bahwa aqad jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah
cacat secara hukum.
b.
Pada asuransi konvensional,
terjadi karena tidak adanya kejelasan masud
alaih (sesuatu yang di-aqad-kan).
Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau
kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa
lama kita harus membayar (karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan
meningal). Karena tidak lengkapnya rukun dari aqad maka terjadi gharar oleh
karena itu para ulama berpendapat bahwa aqad
dalam jual beli atau aqad pertukaran
harta benda dalam hal ini cacat secara hukum.
c.
Dalam asuransi yang menggunakan
prinsip syari'ah mengganti aqad tadi
dengan niat tabarru’, yaitu suatu niat
tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat
musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita
atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat
musibah.
3.
Tabarru’
a.
Tabarru’ berasal dari kata tabarra,
yatabarru, tabarruan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang
menyumbang disebut mutabarri
(dermawan). Niat tabarru’ merupakan
alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru’
bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan
dana yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang
mendapat musibah.
b.
Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang terkena
musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh
sesama Takaful untuk saling
tolong-menolong.
4.
Maisir
a.
Islam menghindari adanya
ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui informasi oleh peserta tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang akan dikonsumsinya.
b.
Dalam mekanisme asuransi syari'ah
keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah.
Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam
mekanisme asuransi konvensional, masisir
sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5.
Riba
a.
Keberadaan asuransi syari'ah yang
paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan dalam asuransi
konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari praktek yang
dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional
menginventasikan dananya dengan bunga.
b.
Dengan demikian asuransi
konvensional selalu melibatkan diri dalam riba.
Demikian pula dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung
keuntungan didepan. Sedangkan Takaful
menyimpan dananya di bank berdasarkan syari'ah dengan sistem mudharabah
6.
Dana Hangus
Dalam asuransi
konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period,
maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan atau
asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka premi
yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
C.
Hukum Per-Asuransi-an
Ada berbagai pendapat mengenai hukum dari
perasuransian, setidaknya ada 2 pandangan besar mengenai hukum dari asuransi
yaitu :
1.
Haram, diantara para ulama yang
mengatakan bahwa asuransi adalah haram antara lain Yusuf al Qardawi, Sayyid
Sabiq, Abdullah al Qadili, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad
Zarqa, dan Muhammad Nezatullah Siddiqi, mereka mengatakan bahwa dalam sistem
operasional perasuransian terdapat tiga unsur yang diharamkan dalam Islam,
yaitu; gharar, maisir dan riba. [4]
Walupun demikian sebagian dari
mereka
2.
Boleh, para ulama yang membolehkan
adanya asuransi mengatakan bahwa jika dalam asuransi tersebut tidak mengandung
unsur gharar, maisir dan riba maka transaksi –asuransi- yang
dilakukan tetap sah
D.
Perbedaan Asuransi Syari'ah
(asuransi yang diperbolehkan) dengan Asuransi Konvensional (yang masih
diragukan kebolehannya)
1.
Keberadaan dewan pengawas syariah
(DPS) dalam asuransi syari'ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan
mengawasi manajemen, produk serta kebajikan investasi serta kebajikan investasi
supaya senantiasa sejalan dengan syari'at islam.
2.
Prinsip asuransi syari'ah adalah takafuli (tolong menolong) sedangkan
prinsip asuransi konvensional tadabuli
(jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.
Dana yang terkumpul dari nasabah
perusahaan asuransi syari'ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syari'ah dengan
sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi
dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.
Premi yang terkumpul diperlakukan
tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah
untuk mengelolanya. Sedangkan asuransi konvensional, premi menjadi milik
perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan
kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5.
Untuk kepentingan pembayaran klaim
nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’
seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila
ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana
pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6.
Keuntungan investasi dibagi dua
antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan
prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi knvensional, jika tidak ada klaim,
nasabah tidak mendapatkan apa-apa.[5]
Perbedaan asuransi syari'ah dan asuransi konvensional
dapat dilihat dalam tabel berikut ini[6]
Keterangan
|
Asuransi Syari'ah
|
Asuransi Konvensional
|
Pengawasan Dewan Syari'ah (PDS) 7
|
Adanya Dewan Pengawas Syari'ah. Fungsinya mengawasi produk yang
dipasarkan dan investasi dana
|
Tidak ada
|
Aqad
|
Tolong menolong (Takafuli)
|
Jual beli
|
Investasi dana
|
Investasi dana berdasarkan syari'ah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah)
|
Investasi dana berdasarkan bunga
|
Kepemilikan dana
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan
milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi
milik perusahaan, perusahaan bebas menentukan investasinya.
|
Pembayaran klaim
|
Dari rekening tabarru’
(dana kebijakan) seluruh peserta ; sejak awal telah diikhlaskan oleh peserta
untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.
|
Dari rekening dana perusahaan
|
Keuntungan (profit)
|
Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan
prinsip bagi hasil
|
Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan
|
Daftar Pustaka
Dewi, Gemala. Aspek-aspek
Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group. 2004
Sudarsono, Heri. Bank
dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi. Yogyakarta: EKONSIA,
Kampus Fakultas Ekonomi UII. 2003
Suwitro, Warkum. Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta:
Raja Grafindo Persada 1997
sumber : http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2014/04/asuransi-syariah-dan-asuransi.html
[1]
Gemala Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syari’ah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 181
[2]
Bisa anda lihat di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246
Tentang perasuransian
[3]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas
ekonomi UII, 2003), hal. 74
[4] Gharar artinya transaksi yang
dilakukan masih belum jelas, sedangkan Maisir adalah transaksi yang
dijalankan mengandung unsur judi, Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[5] Warkum Suwitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan
Takaful di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
[6]
Gemala Dewi, SH., LL.M., Op.cit, hal. 138
No comments:
Post a Comment