Pages

Tuesday, 26 November 2013

ISLAM DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI


Ketika berbicara mengenai ekonomi islam maka akan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Al-qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah sebagai penjelasan dari Al-qur’an yang di dalamnya terdapat penjelasan praktis menyeluruh termasuk di dalamnya penjelasan tentang prinsip-prinsip ekonomi.Pemikiran merupakan hasil dari pikiran manusia. Sedangkan ajaran-ajaran Al-qur’an dan sunnah menuntun manusia untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan pemikiran mereka termasuk dalam masalah ekonomi. Inilah yang menjadikan sumber dari pemikiran ekonomi masyarakat Islam. Cendekiawan muslim menerima ajaran-ajaran ekonomi Al-qur’an sebagai dasar dan titik awal. Kemudian mereka menggunakan akal pikiran mereka dengan meberapkan prinsip-prinsip yang berasal dari sumber-sumber dasar untuk memecahkan beberapa masalah yang muncul dalam ekonomi. Dan mereka tidak pernah ragu untuk mengambil manfaat dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber dasar.
Konsep dan teori Ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon ilmuwan terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu tertentu, jadi Pemikiran Ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.Fokus perhatian Rasul dan Khulafa’ ar-Rasyidin dalam bidang ekonomi adalah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadailan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan.Inilah obyek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
M. Nejatullah Siddiqi meguraikan sejarah ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut.
A.    Fase Pertama (abad 1 –5 H)
Dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Perkembangan pemikiran ekonomi yang terkait dengan mashlahah (utility) difokuskan pada manfaat yang akan diperoleh manusia jika manusia mengaplikasikannya dalam kehidupan berekonomi dan sebaliknya, yang terkait dengan mafsadah (disutility) fokus pada kerugian yang akan ditimbulkan jika manusia mengaplikasikan dalam berekonomi.
Sedangkan kontribusi yang diberikan oleh tasawwuf terhadap pemikiran ekonomi adalah keajegannya dalam menjadi mitra yang baik dan saling menguntungkan, melarang kerakusan dan menolak akan kekayaan duniawi yang berlebihan. Sementara itu, para filosof muslim dengan tetap berasaskan pada Al-qur’an dan Sunnah dalam pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (366-322 SM) yang memfokuskan pembahasan ekonomi padasa’adah dalam arti luas.[1]
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain :[2]
a.       Zaid bin Ali.
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa tranksaksi secara kredit meruapakan transaksi yang wajar dan dibenarkan selama transaksi tersebut dilakukan karena saling ridha diantara kedua belah pihak.
b.      Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang pedagang dari Kufah.yang ketika itu merupakan pusat aktifitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya,salah satu transaksi yang sangat popular adalah salam ,yaitu menjual barang akan dikirim kemudian sedangkan pembayaran di lakukan secara tunai pada waktu yang di sepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan.Ia menghilangkan perselisihan ini dengan cara merinci lebih khusus apa yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad,seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c.       Abu Yusuf
Abu Yusuf telah meletakkan prinsip – prinsip yang jelas, yang berabad – abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi  sebagai canons of taxation.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian,ia menyarankan agar petugas pajak di beri gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan tindak penindasan.
Abu Yusuf menentang penetapan harga, dan menyarankan pengendalian harga (tas’ir).
Kekuatan utama Abu Yusuf adalah masalah keuangan publik.Terlepas dari prinsip – prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban Negara islam terhadap kesejahteraan rakyatnya.Ia memberikan saran tentang cara – cara meperoleh sumber belanjaan jangka panjang ,seperti mebangun jembatan dan bendungan serta saluran – saluran besar dan kecil
d.      Muhammad bin Hasan Al – Syaibani.
Risalah kecilnya yang berjudul al – kitab fi ar – Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga.Iajuga menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. Al syaibani mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijaroh (sewa-menyewa), tijaroh (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shinaa’ah (industri)[3],cukup menarik untuk di catat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang terbaik,padahal masyarakat  lebih tertarik berdagang dan berniaga pada saat itu.Dalam risalah yang lain yakni kitab al-asl,Al-saibani telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi hasil.
Secara umum,Pandangan-pandangan Al – syaibani yang tercermin dari berbagai karyanya cenderung berkaitan dengan aktifitas perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu.
e.       Ibnu Miskawaih
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkaid dengan aktifirtas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang .Ia manyatakan bahwa manusia mahluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri,untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia bekerja sama  dan saling membantu dengan sesamanya.Oleh karena itu ,mereka akan menuntut kompensasi yang pantas. Dalam hal ini dinar akan menjadi suatu penilaian dan penyeimbang di antara keduanya. Ia menegaskan bahwa logam yang dapat di jadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat di terima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak rusak, dikehendaki orang dan fakta orang menyukainya.
B.     Fase Kedua (abad 11 – 15 H).
Fase ini dikenal dengan fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.Para cendikiawan Muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis Nabi.Pada saatyang bersamaan,di sisi lain,mereka menhadapi realitas politik yang di tandai oleh dua hal: pertama, disentregrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbagi kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak Rakyat, kedua Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa di kalangan para pengusaha diiringi dengan dekadensi Moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dengan si miskin[4]. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain :
a.       Al-Ghozali.
Fokus utama perhatian al-Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat dan tabi’in serta pandangan para sufi terdahulu seperti Junaid al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishr dan Harist bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT.Seluruh aktivitas kehidupannya, termasuk ekonomi, harus dilaksanakn sesuai dengan syari’ah Islam.Ia tidak boleh bersidat kikir dan di sisi lain tidak boleh bersifat boros.
Al-Ghazali berpendapat bahwa penguasa harus menjamin kesejahteraan dan kenyamanan warganya, apabila ada diantara rakyatnya  yang kekuarangan dan kurang mampu dalam membiayai kehidupannya, maka para penguasa hendaknya memberikan pertolongan. Dalam hal pajak, al-Ghazali menoleransi pengenaan pajak jika pengeluaran utnuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang telah tersedia.Bahkan, jika hal yang demikian itu terjadi maka Negara diperkenankan melakukan pinjaman.
b.      Ibnu Taimiyah.
Focus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral dan bagaiamana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syari’ah Islam. Ia juga mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi individu dalam konteks hidup bermasyarakat, seperti akad dan upaya menaatinya, harga yang wajar dan adil, pengawasan pasar, keuangan Negara, dan peranan Negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam transaksi ekonomi, focus perhatian Ibnu Taimiyah tertuju pada keadilan yang hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesediaan menyepakati dari semua pihak.
c.       Al-Maqrizi.
Al-Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan.Selain kelangkaan pangan secara alami oleh kegagalan hujan, Al-Maqrizi Mengidentifikasikan tiga sebab dari peristiwa ini ,yaitu korupsi dan administrasi yang buruk,beban pajak yang berat terhadap para pengarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.Al-Maqrizi menegaskan bahwa uang emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang yang dapat di jadikan standar nilai sebagaimana yang telah di tentukan syariah,sedangkan penggunaan fulus sebagai mata uang dapat menimbulkan kenaikan harga-harga.Menurut Al-maqrizi,fulus dapat di terima sebagai mata uang jika di batasi penggunaanya,yakni hanya untuk transaksi yang bersekala kecil.
C.    Fase ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini di kenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluatkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing mashab.Namun demikian, terdapat sebuah garakan pembruan selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan al-hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini antara lain diwakili oleh shah wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani (w.1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M) dan Muhammad Iqbal (w. 2357 H/1938 M).


[1]ibid
[2] Ibid., hlm. 12
[3]Pembahasan lebih lanjut lihat Lectures on Islamic Economic, Papers and Proceedings on an International Seminar on “Teaching Islamic Economics for University Teachers”, edited by Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awan, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, IDB, 1992), hlm. 72
[4]Ibid., hlm. 75

No comments:

Post a Comment