Ketika berbicara mengenai ekonomi islam maka akan
kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Al-qur’an sebagai firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah sebagai penjelasan dari
Al-qur’an yang di dalamnya terdapat penjelasan praktis menyeluruh termasuk di
dalamnya penjelasan tentang prinsip-prinsip ekonomi.Pemikiran merupakan hasil
dari pikiran manusia. Sedangkan ajaran-ajaran Al-qur’an dan sunnah menuntun
manusia untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan pemikiran mereka termasuk
dalam masalah ekonomi. Inilah yang menjadikan sumber dari pemikiran ekonomi
masyarakat Islam. Cendekiawan muslim menerima ajaran-ajaran ekonomi Al-qur’an
sebagai dasar dan titik awal. Kemudian mereka menggunakan akal pikiran mereka
dengan meberapkan prinsip-prinsip yang berasal dari sumber-sumber dasar untuk
memecahkan beberapa masalah yang muncul dalam ekonomi. Dan mereka tidak pernah
ragu untuk mengambil manfaat dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan
sumber-sumber dasar.
Konsep dan teori Ekonomi dalam Islam pada hakikatnya
merupakan respon ilmuwan terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu
tertentu, jadi Pemikiran Ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.Fokus perhatian
Rasul dan Khulafa’ ar-Rasyidin dalam bidang ekonomi adalah tertuju pada
pemenuhan kebutuhan, keadailan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan.Inilah
obyek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
M. Nejatullah Siddiqi meguraikan sejarah ekonomi
Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan
fase stagnasi, sebagai berikut.
A.
Fase Pertama (abad 1 –5
H)
Dikenal sebagai fase
dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha diikuti oleh sufi dan
kemudian oleh filosof. Perkembangan pemikiran ekonomi yang terkait
dengan mashlahah (utility) difokuskan pada manfaat yang akan
diperoleh manusia jika manusia mengaplikasikannya dalam kehidupan berekonomi
dan sebaliknya, yang terkait dengan mafsadah (disutility) fokus
pada kerugian yang akan ditimbulkan jika manusia mengaplikasikan dalam
berekonomi.
Sedangkan kontribusi yang
diberikan oleh tasawwuf terhadap pemikiran ekonomi adalah keajegannya dalam
menjadi mitra yang baik dan saling menguntungkan, melarang kerakusan dan
menolak akan kekayaan duniawi yang berlebihan. Sementara itu, para filosof
muslim dengan tetap berasaskan pada Al-qur’an dan Sunnah dalam pemikirannya,
mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (366-322 SM) yang
memfokuskan pembahasan ekonomi padasa’adah dalam arti luas.[1]
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi
Islam pada fase pertama ini antara lain :[2]
a.
Zaid bin Ali.
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling
terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid
bin Ali berpandangan bahwa tranksaksi secara kredit meruapakan transaksi yang
wajar dan dibenarkan selama transaksi tersebut dilakukan karena saling ridha
diantara kedua belah pihak.
b.
Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang
pedagang dari Kufah.yang ketika itu merupakan pusat aktifitas perdagangan dan
perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya,salah satu
transaksi yang sangat popular adalah salam ,yaitu menjual barang akan dikirim
kemudian sedangkan pembayaran di lakukan secara tunai pada waktu yang di
sepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah
kepada perselisihan.Ia menghilangkan perselisihan ini dengan cara merinci lebih
khusus apa yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam
akad,seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat
pengiriman.
c.
Abu Yusuf
Abu Yusuf telah meletakkan prinsip – prinsip yang jelas, yang
berabad – abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons
of taxation.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian,ia menyarankan agar
petugas pajak di beri gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk
mencegah korupsi dan tindak penindasan.
Abu Yusuf menentang penetapan harga, dan menyarankan pengendalian
harga (tas’ir).
Kekuatan utama Abu Yusuf adalah masalah keuangan publik.Terlepas
dari prinsip – prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban Negara islam terhadap
kesejahteraan rakyatnya.Ia memberikan saran tentang cara – cara meperoleh
sumber belanjaan jangka panjang ,seperti mebangun jembatan dan bendungan serta
saluran – saluran besar dan kecil
d.
Muhammad bin Hasan Al –
Syaibani.
Risalah kecilnya yang berjudul al – kitab fi ar –
Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga.Iajuga menguraikan
perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka
berderma dan tidak suka meminta-minta. Al syaibani mengklasifikasikan jenis
pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijaroh (sewa-menyewa), tijaroh
(perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shinaa’ah (industri)[3],cukup
menarik untuk di catat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan
yang terbaik,padahal masyarakat lebih tertarik berdagang dan berniaga
pada saat itu.Dalam risalah yang lain yakni kitab al-asl,Al-saibani telah membahas
masalah kerja sama usaha dan bagi hasil.
Secara umum,Pandangan-pandangan Al – syaibani yang tercermin dari
berbagai karyanya cenderung berkaitan dengan aktifitas perilaku ekonomi seorang
muslim sebagai individu.
e.
Ibnu Miskawaih
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkaid dengan aktifirtas
ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang .Ia manyatakan bahwa manusia
mahluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri,untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
manusia bekerja sama dan saling membantu dengan sesamanya.Oleh karena itu
,mereka akan menuntut kompensasi yang pantas. Dalam hal ini dinar akan menjadi
suatu penilaian dan penyeimbang di antara keduanya. Ia menegaskan bahwa logam
yang dapat di jadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat di terima secara
universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak rusak,
dikehendaki orang dan fakta orang menyukainya.
B.
Fase Kedua (abad 11 – 15
H).
Fase ini dikenal dengan
fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.Para
cendikiawan Muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana
umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Al-Qur’an
dan hadis Nabi.Pada saatyang bersamaan,di sisi lain,mereka menhadapi realitas
politik yang di tandai oleh dua hal: pertama, disentregrasi pusat
kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbagi kerajaan ke dalam beberapa kekuatan
regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak
Rakyat, kedua Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa di
kalangan para pengusaha diiringi dengan dekadensi Moral di kalangan masyarakat
yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya
dengan si miskin[4].
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain :
a.
Al-Ghozali.
Fokus utama perhatian al-Ghazali tertuju pada perilaku individual
yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat
dan tabi’in serta pandangan para sufi terdahulu seperti Junaid al-Baghdadi,
Dzun Nun al-Mishr dan Harist bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya, seseorang harus
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban
beribadah kepada Allah SWT.Seluruh aktivitas kehidupannya, termasuk ekonomi,
harus dilaksanakn sesuai dengan syari’ah Islam.Ia tidak boleh bersidat kikir
dan di sisi lain tidak boleh bersifat boros.
Al-Ghazali berpendapat bahwa penguasa harus menjamin kesejahteraan
dan kenyamanan warganya, apabila ada diantara rakyatnya yang kekuarangan
dan kurang mampu dalam membiayai kehidupannya, maka para penguasa hendaknya
memberikan pertolongan. Dalam hal pajak, al-Ghazali menoleransi pengenaan pajak
jika pengeluaran utnuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas
negara yang telah tersedia.Bahkan, jika hal yang demikian itu terjadi maka
Negara diperkenankan melakukan pinjaman.
b.
Ibnu Taimiyah.
Focus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi
moral dan bagaiamana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syari’ah
Islam. Ia juga mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
perilaku ekonomi individu dalam konteks hidup bermasyarakat, seperti akad dan
upaya menaatinya, harga yang wajar dan adil, pengawasan pasar, keuangan Negara,
dan peranan Negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam transaksi ekonomi, focus perhatian Ibnu Taimiyah tertuju pada
keadilan yang hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesediaan
menyepakati dari semua pihak.
c.
Al-Maqrizi.
Al-Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan
harga-harga yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan.Selain
kelangkaan pangan secara alami oleh kegagalan hujan, Al-Maqrizi Mengidentifikasikan
tiga sebab dari peristiwa ini ,yaitu korupsi dan administrasi yang buruk,beban
pajak yang berat terhadap para pengarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.Al-Maqrizi
menegaskan bahwa uang emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang yang dapat
di jadikan standar nilai sebagaimana yang telah di tentukan syariah,sedangkan
penggunaan fulus sebagai mata uang dapat menimbulkan kenaikan
harga-harga.Menurut Al-maqrizi,fulus dapat di terima sebagai mata uang jika di
batasi penggunaanya,yakni hanya untuk transaksi yang bersekala kecil.
C. Fase ketiga
Fase ketiga yang dimulai
pada tahun 1446 hingga 1932 masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad
(independent judgement) yang mengakibatkan fase ini di kenal juga sebagai fase
stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para
pendahulunya dan mengeluatkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi
masing mashab.Namun demikian, terdapat sebuah garakan pembruan selama dua abad
terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan al-hadist nabi sebagai
sumber pedoman hidup. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini antara
lain diwakili oleh shah wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani
(w.1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M) dan Muhammad Iqbal (w. 2357
H/1938 M).
[1]ibid
[2] Ibid., hlm. 12
[3]Pembahasan lebih lanjut lihat Lectures
on Islamic Economic, Papers and Proceedings on an International Seminar on
“Teaching Islamic Economics for University Teachers”, edited by Ausaf Ahmad dan
Kazim Raza Awan, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, IDB, 1992),
hlm. 72
[4]Ibid., hlm. 75