TEORI PERMINTAAN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL TEORI PERMINTAAN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL
TEORI PERMINTAAN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL TEORI PERMINTAAN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL Oleh: ahmad hanafi
Demand is priciple part of the market mechanism concept, which are
important in assessing an economy. The demand curve reflects behavior of
consumers that indicated the number of items to be consumed by
individual or communities. The law of demand indicated that in cateris
paribus condition, increasing of price will cause a decline in demand,
and in the other side, decreasing of price will cause an increasing in
demand. The different between demand in conventional economics and in
islamic economics concern with sharia restrictions. These restrictions
include the need to consume halal goods and must keep away from haram
goods.
Keyword : Demand in islamic economics, demand curve, the law of demand. A. Pendahuluan
Dalam kajian ekonomi secara mikro, pembahasan didasarkan pada perilaku
individu sebagai pelaku ekonomi yang berperan menentukan tingkat harga
dalam proses mekanisme pasar. Mekanisme pasar itu sendiri adalah
interaksi yang terjadi antara permintaan (demand) dari sisi konsumen dan
penawaran (supply) dari sisi produsen, sehingga harga yang diciptakan
merupakan perpaduan dari kekuatan masing-masing pihak tersebut. Oleh
karena itu, maka perilaku permintaan dan penawaran merupakan konsep
dasar dari kegiatan ekonomi yang lebih luas. “Permintaan dan penawaran
adalah dua kata yang paling sering digunakan oleh para ekonom, keduanya
merupakan kekuatan-kekuatan yang membuat perekonomian pasar bekerja.
Jika Anda ingin mengetahui bagaimana kebijakan atau peristiwa akan
mempengaruhi perekonomian, terlebih dahulu Anda harus memikirkan
pengaruh keduanya terhadap permintaan dan penawaran.”[2] Pandangan
ekonomi islam mengenai permintaan, penawaran dan mekanisme pasar ini
relatif sama dengan ekonomi konvensional, namun terdapat batasan-batasan
dari individu untuk berperilaku ekonomi yang sesuai dengan aturan
syariah. Dalam ekonomi islam, norma dan moral “islami” yang merupakan
prinsip islam dalam ber-ekonomi, merupakan faktor yang menentukan suatu
individu maupun masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya sehingga
teori ekonomi yang terjadi menjadi berbeda dengan teori pada ekonomi
konvensional. Dalam tulisan ini, penulis hanya memaparkan inti dari
permintaan dalam ekonomi konvensional dan ekonomi islam serta perbedaan
antara keduanya. B. Permintaan menurut Ekonomi Konvensional
Konsep permintaan merupakan hubungan antara jumlah barang yang diminta
(Qd) dengan harga (P) berbagai tingkat harga. Hukum permintaan (law of
demand) menerangkan bahwa dalam keadaan hal lain tetap (cateris paribus)
apabila harga naik, maka permintaan terhadap suatu barang akan
berkurang, dan sebaliknya apabila harga turun, maka permintaan terhadap
suatu barang akan meningkat. Dalam grafik diatas menunjukkan bahwa
pada saat harga turun dari P1 ke P2, maka permintaan terhadap suatu
barang meningkat dari Q1 ke Q2. Bentuk kurva permintaan diatas arahnya
turun, yaitu dari kiri atas ke kanan bawah ( downward sloping to the
right) yang menunjukkan bahwa hubungan antara harga dengan permintaan
merupakan hubungan yang terbalik (negatif). Secara matematis, hubungan antara permintaan dengan harga dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan : - Apabila kurva berbentuk hiperbola (melengkung), maka : - namun untuk menyederhanakan, garis melengkung di daerah yang penting didekati dengan persamaan garis lurus. Pada dasarnya ada tiga alasan yang menerangkan hukum permintaan seperti diatas,[3] yaitu : 1. Pengaruh penghasilan (income effect)
Apabila suatu harga barang naik, maka dengan uang yang sama orang akan
mengurangi jumlah barang yang akan dibeli. Sebaliknya, jika harga barang
turun, dengan anggaran yang sama orang bisa membeli lebih banyak
barang.
2. Pengaruh substitusi (substitution effect) Jika
harga suatu barang naik, maka orang akan mencari barang lain yang
harganya lebih murah tetapi fungsinya sama. Pencarian barang lain itu
merupakan substitusi.
3. Penghargaan subjektif (Marginal Utility)
Tinggi rendahnya harga yang bersedia dibayar konsumen untuk barang
tertentu mencerminkan kegunaan atau kepuasan dari barang tersebut. Makin
banyak dari satu macam barang yang dimiliki, maka semakin rendah
penghargaan terhadap barang tersebut. Ini dinamakan Law of diminishing
marginal utility. Perubahan pada tingkat harga akan memindahkan
titik permintaan dalam suatu kurva permintaan, sedangkan perubahan pada
faktor selain harga (misalnya pendapatan) akan menggeser kurva
permintaan Selain harga barang itu sendiri, faktor – faktor yang mempengaruhi terhadap permintaan antara lain: 1. Harga barang lain.
Permintaan akan dipengaruhi juga oleh harga barang lain. Dengan catatan
barang lain itu merupakan barang substitusi (pengganti) atau pelengkap
(komplementer). Apabila barang substitusi naik, maka permintaan terhadap
barang itu sendiri akan meningkat. Sebaliknya, apabila harga barang
substitusi turun, maka permintaan terhadap barang itu sendiri akan
turun.
2. Tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan konsumen
akan menunjukkan daya beli konsumen. Semakin tinggi tingkat pendapatan,
daya beli konsumen kuat, sehingga akhirnya akan mendorong permintaan
terhadap suatu barang.
3. Selera, kebiasaan, mode Selera,
kebiasaan, mode atau musim juga akan memengaruhi permintaan suatu
barang. Jika selera masyarakat terhadap suatu barang meningkat,
permintaan terhadap barang itu pun akan meningkat.
4. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk mencerminkan jumlah pembeli. Sifat hubungan jumlah
penduduk dengan permintaan suatu barang adalah positif, apabila jumlah
penduduk meningkat, maka konsumen terhadap barangpun meningkat.
5. Perkiraan harga dimasa dating
Apabila kita memperkirakan harga suatu barang di masa mendatang naik,
kita lebih baik membeli barang tersebut sekarang guna menghemat belanja
di masa mendatang, maka permintaan terhadap barang itu sekarang akan
meningkat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara
permintaan dan perkiraan harga di masa mendatang adalah positif. C. Permintaan menurut Ekonomi Islam
Menurut Ibnu Taimiyyah, permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap
sesuatu, yang digambarkan dengan istilah raghbah fil al-syai. Diartikan
juga sebagai jumlah barang yang diminta[4]. Secara garis besar,
permintaan dalam ekonomi islam sama dengan ekonomi konvensional, namun
ada prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh individu
muslim dalam keinginannya. Islam mengharuskan orang untuk
mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib. Aturan islam melarang
seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat
dimana apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh
terhadap nya muslim tersebut. Di saat darurat seorang muslim dibolehkan
mengkonsumsi barang haram secukupnya. Selain itu, dalam ajaran
islam, orang yang mempunyai uang banyak tidak serta merta diperbolehkan
untuk membelanjakan uangnya untuk membeli apa saja dan dalam jumlah
berapapun yang diinginkannya. Batasan anggaran (budget constrain) belum
cukup dalam membatasi konsumsi. Batasan lain yang harus diperhatikan
adalah bahwa seorang muslim tidak berlebihan (israf), dan harus
mengutamakan kebaikan (maslahah). Islam tidak menganjurkan
permintaan terhadap suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan dan
kemubadziran. Bahkan islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nisab,
untuk menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infak dan
shadaqah. D. Permintaan Terhadap Barang Halal Permintaan
terhadap barang halal sama dengan permintaan dalam ekonomi pada
umumnya, yaitu berbanding terbalik terhadap harga, apabila harga naik,
maka permintaan terhadap barang halal tersebut berkurang, dan
sebaliknya, dengan asumsi cateris paribus. Apabila pilihan konsumen pada barang halal dan halal, maka kurva permintaannya sebagai berikut [5]: E. Permintaan Barang Halal dalam Pilihan Halal-Haram
Apabila menghadapi pilihan antara barang halal dan haram, maka optimal
solutionnya adalah corner solution, yaitu keadaan dimana kepuasan
maksimal terjadi di kurva indiferen dengan konsumsi barang haramnya di
titik 0. Dengan kata lain, gunakan anggaran untuk mengkonsumsi barang
halal seluruhnya. Apabila Y adalah barang haram dan X adalah barang
halal, maka optimal solution nya adalah pada titik dimana konsumsi
barang haram berada di titik O. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) dalam
kitab Majmu’ Fatawa menjelaskan, bahwa hal-hal yang mempengaruhi
terhadap permintaan suatu barang antara lain: 1. Keinginan atau
selera masyarakat (Raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda
dan selalu berubah-ubah. Di mana ketika masyarakat telah memiliki selera
terhadap suatu barang maka hal ini akan mempengaruhi jumlah permintaan
terhadap barang tersebut. 2. Jumlah para peminat (Tullab) terhadap
suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang menginginkan suatu barang
semakin banyak, maka harga barang tersebut akan semakin meningkat. Dalam
hal ini dapat disamakan dengan jumlah penduduk, di mana semakin banyak
jumlah penduduk maka semakin banyak jumlah para peminat terhadap suatu
barang. 3. Kualitas pembeli (Al-Mu’awid). Di mana tingkat pendapatan
merupakan salah satu ciri kualitas pembeli yang baik. Semakin besar
tingkat pendapatan masyarakat, maka kualitas masyarakat untuk membeli
suatu barang akan naik. 4. Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap
suatu barang. Apabila kebutuhan terhadap suatu barang tinggi, maka
permintaan terhadap barang tersebut tinggi. 5. Cara pembayaran yang dilakukan, tunai atau angsuran. Apabila pembayaran dilakukan dengan tunai, maka permintaan tinggi. 6. Besarnya biaya transaksi. Apabila biaya transaksi dari suatu barang rendah, maka besar permintaan meningkat. D. Perbedaan Teori Permintaan Konvensional dengan Permintaan Islami
Definisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap permintaan,
antara permintaan konvensional dan islam mempunyai kesamaan. Ini
dikarenakan bahwa keduanya merupakan hasil dari penelitian kenyataan
dilapangan (empiris) dari tiap-tiap unit ekonomi. Namun terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya, diantaranya :
1. Perbedaan utama antara kedua teori tersebut tentunya adalah mengenai
sumber hukum dan adanya batasan syariah dalam teori permintaan Islami.
Permintaan Islam berprinsip pada entitas utamanya yaitu Islam sebagai
pedoman hidup yang langsung dibimbing oleh Allah SWT. Permintaan Islam
secara jelas mengakui bahwa sumber ilmu tidak hanya berasal dari
pengalaman berupa data-data yang kemudian mengkristal menjadi
teori-teori, tapi juga berasal dari firman-firman Tuhan (revelation),
yang menggambarkan bahwa ekonomi Islam didominasi oleh variabel
keyakinan religi dalam mekanisme sistemnya. Sementara itu dalam ekonomi
konvensional filosofi dasarnya terfokus pada tujuan keuntungan dan
materialme. Hal ini wajar saja karena sumber inspirasi ekonomi
konvensional adalah akal manusia yang tergambar pada daya kreatifitas,
daya olah informasi dan imajinasi manusia. Padahal akal manusia
merupakan ciptaan Tuhan, dan memiliki keterbatasan bila dibandingkan
dengan kemampuan 2. Konsep permintaan dalam Islam menilai suatu
komoditi tidak semuanya bisa untuk dikonsumsi maupun digunakan,
dibedakan antara yang halal maupun yang haram. Allah telah berfirman
dalam Surat Al-Maidah ayat 87, 88 :
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Oleh karenanya dalam teori permintaan Islami membahas permintaan barang
halal, barang haram, dan hubungan antara keduanya. Sedangkan dalam
permintaan konvensional, semua komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi
atau digunakan.
3. Dalam motif permintaan Islam menekankan pada
tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang tersebut sedangkan motif
permintaan konvensional lebih didominasi oleh nilai-nilai kepuasan
(interest). Konvensional menilai bahwa egoisme merupakan nilai yang
konsisten dalam mempengaruhi seluruh aktivitas manusia.
4.
Permintaan Islam bertujuan mendapatkan kesejahteraan atau kemenangan
akhirat (falah) sebagai turunan dari keyakinan bahwa ada kehidupan yang
abadi setelah kematian yaitu kehidupan akhirat, sehingga anggaran yang
ada harus disisihkan sebagai bekal untukkehidupan akhirat. E. Kesimpulan
Perbedaan yang menjadi asumsi dasar konsep permintaan baik konvensional
maupun Islami memiliki keterkaitan langsung terhadap implementasi
konsep permintaan tersebut. Perbedaan yang perlu diperhatikan terutama
pada permintaan dalam islam adalah sumber hukum dan adanya batasan
syariah, sudut pandang barangnya, motif dari permintaan dan tujuannya.
Dengan asumsi bahwa tidak ada hubungan keterkaitan antara permintaan
dalam ekonomi konvensional dengan permintaan dalam ekonomi islam, maka
kita harus memilih salah satu dari keduanya. Oleh karenanya penulis
mengharapkan bahwa permintaan dalam eonomi islam ini benar-benar bisa
diaplikasikan oleh kita sehingga tercipta perekonomian masyarakat yang
islami. DAFTAR PUSTAKA Adiwarman Karim; Ekonomi Mikro Islami. IIIT Indonesia. Jakarta. 2003 ______________; Ekonomi Islam, Suatu kajian Kontemporer. Gema Insani Press. Jakarta. 2001 T. Gilarso SJ ; Pengantar ilmu Ekonomi Mikro. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2003 Rahardja dan Manurung; Uang, perbankan dan ekonmi moneter. Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. 2004. N. Gregory Mankiw; Principle of Microeconomics. jilid 1. edisi terjemahan. Erlangga. Jakarta. 1998. Syafi’i Antonio; Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Gema Insani Press. Jakarta. 2001.
Teori Produksi Dalam Ekonomi Islam BAB I PENDAHULUAN
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan
Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Semua sumberdaya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah
SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara
sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan
oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan
ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional.
Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang
bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi
yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi
manusia sebagai hamba Allah SWT. Al-Qur’an juga telah memberikan
tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan
semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan
mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi
kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini
adalah adanya aktifitas produksi.[1] BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam
bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan
ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu
mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina
itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut
adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam
waktu yang terbatas). Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan
produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki
tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai
sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama
islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari dua pengertian
diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang
digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk
menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi. Produksi
adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya
adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai
kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa
dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah
substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya
mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi
(ekstraktif). Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke
tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar
bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan
memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau
mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan
melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan
sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu
yang baru3.
Tujuan Produksi Dalam konsep ekonomi
konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba
sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi
konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah
yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan
utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah
dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam
konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang
diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan
berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi
rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan. Keberkahan ini dapat
dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan
produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan
menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka
panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena
meningkatnya permintaan.[2] Berkah merupakan komponen penting dalam
mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun
pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi,
sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.
Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang
dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat
baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang
ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun
penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka
waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang
baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan
menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal
logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan
memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.
B. Faktor Produksi Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada
filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi
memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan
syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang
dapat digunakan. Dengan kata lain, factor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam : a. Faktor produksi tenaga kerja b. Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong c. Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, factor produksi modal yang memerlukan
perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system
bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas
bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari
faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua
persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang
terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal
sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena
kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran
besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.[3] Kegagalan ini
disebabkan oleh adannya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga
adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara
merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya
yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat
melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk
barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan.
Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi
sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan
dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik
perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk
melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas
hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat
pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan
mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat
hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya
tetap kering. Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah
meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk
menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih
besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat
rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan
mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih
besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat
secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Produksi Dengan Tekhnologi Konstan
Konsep produksi yang sesuai dengan nilai islam adalah konsep yang
menganggap bahwa tekhnologi berproduksi adalah konstan, tekhnologi yang
memanfaatkan sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga manusia mampu
meningkatkan harkat kemanusiaannya. Permasalahan produksi bukanlah
mencari tekhnologi berproduksi sedemikian rupa sehingga memberikan
keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis output apa, dari berbagai
kebutuhan manusia, yang bisa di produksi dengan tekhnologi yang sudah
ada sehinga memperoleh mashlahah maksimum.
C. Pola Produksi
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations)
itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi
tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand
conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai
landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang
kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas
arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada
output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat
menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan. Dari sudut pandang
fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan
suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk
menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah
(value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas
produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas
produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi,
bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi? Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi. 1. Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu
produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi
masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi
perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi) 2. Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor
intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor
modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern
meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market
share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi. 3.
Kapan produksi dilakukan Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi
kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan. 4. Mengapa suatu produk diproduksi a. Alasan ekonomi b. Alasan kemanusiaan c. Alasan politik 5. Dimana produksi itu dilakukan a. Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi b. Murahnya sumber-sumber ekonomi c. Akses pasar yang efektif dan efisien d. Biaya-biaya lainnya yang efisien 6. Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come 7. Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu
Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa
jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi
tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori
produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
D. Etika Produksi
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral
sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya
dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika
sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya
tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara
filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas.
Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika
deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif
menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui
motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku
manusia. Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha
menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan
apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika
(metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa
yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai
untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan
makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk
membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Apa yang mendasari para
pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak
pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari
atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai
pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu
organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur
yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi ke arah etika dan
moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika
perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu
organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial
pembuat keputusan. Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak
dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan
kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak,
Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan
(keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya
merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada
segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai
pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi
ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi,
konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam bukunya
yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada
sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:
a. Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada
niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun
niat kita sepenuhnya secara sempurna. b. Niat baik yang diikuti
tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak
dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal. c. Islammemberikan
kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindakberdasarkan apapun
keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan. d. PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
e. Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas
secara langsung bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan
mengenai jumlah. f. Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap
etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri
sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam. g. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an danalam semesta.
h. Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam
mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi
aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah
godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya
kepada Allah SWT.
BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi.
Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi
berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa
yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada
merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada
misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau
mengeksploitasi (ekstraktif). Dalam konsep ekonomi konvensional
(kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya,
berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan
produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi
konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah
memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada
dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan
dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
B. Daftar Pustaka 1. Agustianto.Etika Produksi Dalam Islam, 2. http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksidalam-islam/Aziz Budi 3. Setiawan. Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat 4. Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam 5. http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2008/04/02/meneguhkan-kembali-konsepproduksidalam-ekonomi-islam 6. Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia
7. Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics,
Irvin McGraw Hill Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an, 8. Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net 9. M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, 10. Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992), ________________________________________ [1] http://renunganislam.wordpress.com/2009/05/01/etika-produksi-dalam-islam/ [2] Husnul Khatimah, Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net [3] Abdul-Mannan
No comments:
Post a Comment