A. Musaqah
1. Pengertian Musaqah
Secara
etimologi kalimat musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang
artinya seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya ) atau
pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan
bagian tertentu dari hasil yang di urus. Secara terminologis al-musaqah didefinisikan
oleh para ulama :
a.
Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan
syarat-syarat tertentu”.
b. Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah
: “sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di
tanah di bagi menjadi lima macam :
1) Pohon-pohon tersebut berakar kuat
(tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut
tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun
2) Pohon-pohon tersebut berakar tetap
tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati
3) Pohon-pohon yang tidak berakar kuat
tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah
4) Pohon yang tidak berakar kuat dan
tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat
seperti bunga mawar
5) Pohon-pohon yang diambil hijau dan
basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang
ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya.
c. Menurut Syafi’iyah yang di maksud
dengan al-musaqah ialah : “Memberikan pekerjaan orang yang memiliki
pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan
menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu
dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.
d. Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah
itu mencakup dua masalah :
1)
Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon
anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian
tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
2)
Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut
belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya,
yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya,
yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik
menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
2.
Dasar Hukum
Musaqah
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan
pendapat oleh para ulama Fiqh, Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail: bahwa akad
Al-musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil
kerjasama ini adalah tidak sah, karena Al-musaqah seperti ini termasuk mengupah
seseorang dengan imbalan sebagaian hasil yang akan dipanen dari kebun.
Dalam
hal ini ditegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artinya: “Siapa yang memiliki
sebidang tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan jangan
diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan
dipanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. (H.R.
al-Bukhori dan Muslim).
Jumhur
ulama fiqh mengatakan: bahwa akad Al-musaqah itu dibolehkan. Dasar hukum
yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a. Dari Ibnu Umar:
“Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar
dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)”
(H.R Muslim).
b.
Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW
telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar
agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan
setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
c. “Bahwa Rasulullah Saw, melakukan
kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka
mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (H.R. Muttafaqun
‘alaih).
3.
Rukun-rukun
Musaqah:
a. Obyek Musaqah
b.
Pekerjaan yang berhubungan dengan
musaqah
c.
Sifat Pekerjaan yang ada dalam musaqah
Para ulama sepakat bahwa musaqah
dibolehkan menggunakan segala sesuatu yang telah disepakati dari bagian-bagian
buah. Mereka juga sepakat bahwa tidak diperbolehkan dalam musaqah untuk
mensyartkan adanya manfaat tambahan, seperti salah seorang dari keduanya
mensyaratkan kepada mitranya tambahan dirham ataupun dinar.[2]
d.
Tenggang Waktu
Adapun pensyaratan waktu dalam musaqah
ada dua macam yaitu: waktu yang disayaratkan agar dibolehkannya musaqah dan
waktu yang merupakan syarat sahnya akad dan hal tersebut terbatas jangka
waktunya.
Adapun waktu
yang disayaratkan agar akadnya dibolehkan: para sahabat sepakat bahwa musaqah
dibolehkan sebelum nampaknya kelayakan buah.[3]
4. Syarat-syarat musaqah:
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon,
dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil
bersama.
d.
Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan
akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh
sampai akhir.
5. Habis waktu Musaqah
Menurut ulama
Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:
a. Habis waktu
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b. Meninggalnya
salah seorang yang akad
c. Membatalkan,
baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat musaqah selesai jika habis waktu.
B. Muzara’ah dan
Mukhabarah
1. Pengertian Muzara’ah
Menurut etimologi, muzara`ah adalah wazan “mufa’alatun”
dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu
al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya
adalah modal.
Muzara’ah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Muzara’ah
adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau pengelolaan kebun dan sejenisnya.
Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada petani agar diusahakan, dan hasil dari
pertanian itu dibagi antara kedua belah pihak. Muzara’ah berasal dari kata
az-zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan
menumbuhkan.
Sedangkan
Muzara’ah menurut ulama fiqih salaf dimuka, adalah perjanjian kerjasama antara
pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari
hasil pertanian yang sedang diusahakan. Kebanyakan fuqaha menyatakan bahwa
perjanjian muzara’ah hukumnya tidak boleh, sebab petani penggarap belum
jelas akan mendapatkan hasil dari pekerjaannya itu.
Dari
arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa muzara’ah adalah bentuk kerjasama
dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal
ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan
lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau
upah dari penggarapan tersebut.
2. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya
pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam
Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan
ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam
Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha
mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan
asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya
masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung
kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari
kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak
sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman
tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak
menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.[4]
3.
Dasar Hukum
Muzara’ah Dan Mukhabaroh
Dalam menentukan dasar hukum muzaroah dan mukhobaroh ini
para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama melarang paroan tanah ataupun
ladang. Dasar hukum yang digunakan adalah:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling
banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk
kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah
itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah
SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)[5]
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk
melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi,
Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun
dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).[6]
Ulama’ tersebut berpendapat bahwa Hadits yang melarang
tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu,
mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan
cara adil.
Adapun Menurut Imam Syafi’i, Hukum muzaraah adalah bathil
atau tidak sah dikarenakan bibit dari pertanian tersebut dari pemilik tanah dan
pekerjanya mendapatkan separuh dari hasil panen. Menurut beliau muzaraah ini
bisa sah dengan syarat Pemilik tanah yang sekaligus pemilik benih tadi
mendapatkan 2/3 dari hasil panen atau lebih dan pekerjanya mendapatkan 1/3.[7]
4. Yang tidak
diperbolehkan dalam Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang
tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang
petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian
wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita,
“Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan
tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan
sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw
melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’,
“Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa
dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut
adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram
memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di
dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya
kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab
Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya
menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang
(gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan
yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada
bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang
demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat
dijamin, maka tidak dilarang.”[8]
5. Syarat
Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah dan hendaknya bagian tersebut
adalah hasil yang diperoleh dari tanah tersebutseperti sepertiga,
seperempat atau lebih dari hasilnya.[9]
6. Habis Waktu
Muzara’ah
Beberapa hal
yang menyebabkan muzara’ah habis:
a. Habis
mujara’ah.
b. Salah seorang
yang akad meninggal.
c. Adanya uzur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Adzim bin Baidawi, op cit.
Ahmad
bin Muhammad Ad-Dzibbi, Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, (Beirut, Dar
Kutub Al-Imamiyah, 2004.
Saleh
al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta, Gema Insani, 2005).
Abdul
Adzim bin Badawi, Al-wajiz, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2007).
Ibid.
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2007).
[7] Ahmad bin Muhammad
Ad-Dzibbi, Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, (Beirut, Dar Kutub
Al-Imamiyah, 2004), hlm. 92